RI Geber Produksi Vaksin, Kejar Target Pimpin Pasar Negara Berkembang

- Indonesia kembali menjadi tuan rumah Pertemuan Umum Tahunan (AGM) Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN).
- Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) yang menjadi salah satu partisipan dalam DCVMN ke-26 menyoroti disrupsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam industri vaksin.
- AI berperan dalam mempercepat pengembangan vaksin dan memastikan kesiapsiagaan dunia menghadapi pandemik di masa depan.
Jakarta, IDN Times - Indonesia kembali menjadi tuan rumah Pertemuan Umum Tahunan (AGM) Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN). Pertemuan produsen vaksin skala dunia itu sudah memasuki gelaran ke-26 kalinya.
PT Bio Farma (Persero) yang menjadi salah satu pendiri forum tersebut menyatakan peran Indonesia dalam jejaring produsen vaksin negara berkembang memiliki sejarah panjang dan strategis dalam memperkuat kolaborasi global untuk memperluas akses terhadap vaksin yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi masyarakat dunia.
Direktur Utama Bio Farma, Shadiq Akasya, menegaskan bahwa keterlibatan Bio Farma dalam DCVMN bukan sekadar representasi nasional, tetapi wujud kontribusi nyata Indonesia bagi kesehatan global.
“Keterlibatan Bio Farma dalam DCVMN sejak awal bukan hanya tentang representasi Indonesia, tetapi tentang kontribusi nyata dalam membangun kemandirian vaksin global. Melalui kolaborasi dan inovasi, kami berkomitmen menghadirkan solusi kesehatan yang setara dan berkelanjutan bagi semua,” ujar Shadiq dikutip Senin, (3/11/2025).
Pertemuan DCVMN ke-26 mempertemukan para produsen vaksin dan pemangku kepentingan dari negara-negara berkembang untuk membahas strategi dalam membangun ekosistem vaksin global yang lebih tangguh.
Didirikan pada tahun 2000, DCVMN menaungi 46 produsen vaksin dari 17 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin, termasuk Indonesia, India, Senegal, Brasil, dan Thailand.
1. Indonesia pimpin industri vaksin negara berkembang

Pada 2004, Bio Farma bersama anggota DCVMN lainnya berperan dalam meningkatkan akses terhadap vaksin kombinasi DPT-HepB-Hib, hasil kolaborasi transfer teknologi dengan Netherlands Vaccine Institute. Keberhasilan itu menunjukan kontribusi Bio Farma dalam jejaring DCVMN bersifat konkret dan teknis, bukan hanya simbolis.
Pada 2012, Indonesia kembali menjadi tuan rumah AGM ke-13 DCVMN di Bali, dimana Mahendra Suhardono, salah satu Direksi Bio Farma pada saat itu terpilih sebagai Presiden of the Executive Committee Member DCVMN periode 2013 - 2014.
Kepemimpinan Indonesia semakin diakui saat Bio Farma dipercaya menjabat sebagai Chair of The Board DCVMN periode 2023 - 2025, menjadikan perusahaan ini sebagai jembatan antara anggota jejaring dan arah strategis global serta simbol kapasitas Indonesia dalam memimpin industri vaksin negara berkembang.
2. Industri vaksin hadapi disrupsi AI

Dalam pertemuan tersebut, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) yang menjadi salah satu partisipan menyoroti disrupsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam industri vaksin.
Direktur Eksekutif Bidang Manufaktur dan Rantai Pasok CEPI, Amadou Alpha Sall mengatakan AI berperan dalam mempercepat pengembangan vaksin dan memastikan kesiapsiagaan dunia menghadapi pandemik di masa depan.
“Kami melihat AI sebagai pengubah permainan dalam pekerjaan kami,” ujar Sall.
Dia menyoroti tiga aspek utama dalam penerapan AI pada pengembangan vaksin, yaitu: data berkualitas tinggi, kemitraan yang kuat, dan budaya tanggung jawab global.
Sall menjelaskan, AI sangat bergantung pada arsitektur data yang unggul, yang memungkinkan perancangan antigen yang lebih baik serta penerapan yang efektif dalam proses manufaktur.
Ia menambahkan, CEPI berupaya memperkuat alat kesiapsiagaan pandemi yang mengintegrasikan AI bersama dengan pengembangan vaksin.
“Memiliki data berkualitas dan arsitektur yang tepat dengan fokus pada penerapan praktis merupakan hal yang telah kami mulai di CEPI,” tutur Sall.
Aspek kedua yaitu membangun kemitraan antara sektor publik, swasta, dan filantropi untuk mengatasi tantangan bersama dalam penelitian, pengembangan, dan produksi. Kolaborasi itu menurutnya dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mendukung penerapan AI di industri vaksin.
3. Pengelolaan risiko industri vaksin di tengah disrupsi AI

Poin terakhir yang ditekankan Sall adalah pentingnya menjaga tanggung jawab dalam mendorong inovasi. Dia menyatakan, AI menghadirkan peluang sekaligus risiko yang perlu dikelola melalui standar global yang menjunjung asas kesetaraan dan inklusivitas.
“Penting untuk memasukkan prinsip keamanan hayati (biosecurity) dan kualitas berbasis desain (quality by design) dalam setiap proyek AI untuk memaksimalkan manfaat sekaligus mengelola risikonya dengan tepat,” ujar Sall.


















