Sejarah Krisis Penyitaan AS, Akar Resesi Hebat

- 3,8 juta properti disita selama krisis penyitaan AS antara 2007 dan 2010.
- Kredit berlebihan, kebijakan moneter ekspansif, dan sekuritisasi utang menjadi akar masalah krisis penyitaan.
Jakarta, IDN Times - Periode antara 2007 dan 2010 tercatat sebagai masa krisis penyitaan properti yang meningkat drastis di pasar perumahan Amerika Serikat (AS).
Dilansir Investopedia, situasi ini dijelaskan sebagai salah satu aspek utama dari krisis keuangan global dan Resesi Hebat (Great Recession) yang terjadi pada era tersebut.
Sejumlah faktor disebut menjadi pemicunya. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah perpanjangan kredit hipotek hingga skema sekuritisasi utang.
1. Dampak krisis menyebabkan 3,8 juta properti disita

Proses penyitaan (foreclosure) sendiri dijelaskan sebagai langkah hukum yang diambil pemberi pinjaman ketika seorang pemilik rumah gagal membayar cicilan pokok dan bunga hipoteknya.
Kegagalan bayar dalam masa tenggang memberi hak kepada pemberi pinjaman untuk mengambil alih properti, mengusir pemilik rumah, dan menjual aset tersebut. Selama krisis berlangsung, tercatat 3,8 juta penyitaan terjadi antara 2007 dan 2010.
Akar masalahnya diyakini berasal dari kemerosotan pasar perumahan pada awal 2007 yang kemudian berkembang menjadi krisis penuh setelah kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008.
2. Sederet akar masalahnya

Kredit yang berlebihan
Kebijakan moneter ekspansif Federal Reserve AS yang menghasilkan suku bunga terlalu rendah, ditambah kebijakan properumahan pemerintah, disebut menciptakan ledakan (boom) pembelian rumah pada tahun 2000-an.
Hal ini dilaporkan menyebabkan pengawasan proses underwriting (penjaminan emisi) menjadi tidak memadai.
Pemberi pinjaman yang berorientasi pada komisi diduga secara gegabah menyalurkan hipotek subprime (berisiko tinggi). Pinjaman ini seringkali memiliki persyaratan predatoris dan diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dengan kelayakan kredit yang minim.
Proses ini juga difasilitasi oleh inovasi sekuritisasi utang yang memungkinkan pemberi pinjaman melimpahkan risiko ke investor dan terus menyalurkan kredit.
Akibatnya, volume utang hipotek melonjak tajam melampaui Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal pertama 2008. Padahal, sebelumnya rasio utang hipotek terhadap PDB bertahan di kisaran 30 persen hingga 60 persen selama abad ke-20.
Sekuritisasi utang
Bank-bank hipotek dilaporkan sering mengambil biaya jasa lalu segera menjual pinjaman tersebut ke lembaga keuangan lain. Lembaga-lembaga ini disebut sering lalai dan gagal melakukan uji tuntas (due diligence) yang sesuai atas pinjaman yang dibeli.
Hipotek-hipotek itu kemudian disekuritisasi menjadi mortgage-backed securities (efek beragun hipotek) dan instrumen kompleks lainnya. Saat itu, instrumen ini diyakini sebagai alat yang memadai untuk mengelola risiko gagal bayar.
Namun, skema tersebut terbukti gagal menjadi alat manajemen risiko, terutama ketika harga rumah anjlok dan gagal bayar meluas. Lebih lanjut, proses sekuritisasi ini dalam banyak kasus telah mengaburkan jejak kepemilikan pinjaman antara peminjam dan pemegang utang.
Peningkatan penyitaan
Ketika Federal Reserve mulai memperketat moneter pada tahun 2006, masalah di industri perumahan mulai terlihat. Kondisi kredit yang lebih ketat mempersulit penyaluran hipotek berisiko dan membuat cicilan hipotek berbunga mengambang (adjustable rates) menjadi tidak terjangkau.
Antara 2006 dan 2008, tingkat tunggakan pinjaman rumah dilaporkan meningkat lebih dari dua kali lipat dan terus naik hingga 2010. Bank mendapati diri mereka kewalahan menghadapi lonjakan penyitaan yang tidak dapat diproses secara efisien.
Perusahaan jasa hipotek juga diketahui memproses pinjaman dalam jumlah besar tanpa tinjauan yang memadai, padahal sebelumnya gagal bayar diyakini hanya akan menjadi peristiwa individual atau lokal.
Proses sekuritisasi yang tergesa-gesa selama masa boom perumahan juga dituding menyebabkan buruknya pencatatan kepemilikan hipotek. Pencatatan menjadi sangat ceroboh hingga bank tidak yakin apakah mereka benar-benar memiliki hipotek yang disita.
Bahkan, ditemukan kasus bank menyita pinjaman yang bukan milik mereka secara sah. Fenomena robo-signers, di mana karyawan menandatangani dokumen dalam jumlah besar tanpa verifikasi, memperburuk masalah.
Kombinasi dokumen yang tidak akurat dan lonjakan gagal bayar nasional menciptakan masalah meluas, termasuk bank yang menyita properti yang salah atau salah menghitung nilai rumah.
3. Resolusi krisis lewat kesepakatan nasional

Penyelesaian krisis ini akhirnya tercapai pada tahun 2012. Pemerintah AS dilaporkan mencapai kesepakatan dengan lima perusahaan jasa hipotek terbesar, yaitu Ally (dulu GMAC), Bank of America, Citi, JPMorgan Chase, dan Wells Fargo.
Perjanjian yang dikenal sebagai Kesepakatan Hipotek Nasional (National Mortgage Settlement) itu mengharuskan kelima perusahaan membayar lebih dari 50 miliar dolar AS dalam bentuk denda dan bantuan konsumen.
Peminjam yang terdampak krisis menerima bantuan berupa pengurangan pokok pinjaman atau program pembiayaan kembali (refinance) untuk pinjaman underwater (nilai utang lebih tinggi dari nilai rumah).
Hal ini memungkinkan mereka menghindari penyitaan. Kesepakatan itu juga mewajibkan adanya perombakan sistem pelayanan pinjaman di bank-bank tersebut.
Selain itu, peminjam yang telah kehilangan rumah mereka akibat penyitaan oleh bank-bank tersebut berhak atas pembayaran langsung. Total pembayaran yang digelontorkan mencapai 1,5 miliar dolar AS untuk 750 ribu orang, atau rata-rata sekitar 2.000 dolar AS per orang.

















.jpg)