The Fed Naikkan Suku Bunga, 4 Dampak Ini Bakal Dirasakan Ekonomi RI

Jakarta, IDN Times - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) pada Rabu (15/6/2022). Kenaikan itu tercatat merupakan yang terbesar sejak 1994.
Kenaikan suku bunga tersebut tentu akan berimbas ke perekonomian sejumlah negara, tanpa terkecuali Indonesia. Lalu apa saja dampak yang dirasakan? Berikut ulasannya.
1. Keluarnya modal asing di pasar surat utang

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed akan membuat keluarnya modal asing di pasar surat utang. Penyebabnya, spread antara Yield SBN dan Yield Treasury di tenor yang sama semakin menyempit.
"Investor asing cenderung memindahkan dana ke instrumen yang lebih memberikan bunga tinggi," kata Bhima kepada IDN Times, Senin (20/6/2022).
2. Terjadi penyempitan likuiditas

Kedua, lanjut Bhima, terjadi penyempitan likuiditas karena bank dalam posisi mengejar pertumbuhan kredit yang tinggi pascapandemik melandai tapi terhalang oleh kenaikan tingkat suku bunga.
Perebutan dana antara pemerintah dan bank dalam menjaga tingkat pembiayaan defisit anggaran akan membuat dana deposan domestik berpindah ke SBN.
"Crowding out sangat membahayakan kondisi likuiditas disektor keuangan," ujarnya.
3. Kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang

Ketiga, kenaikan suku bunga The Fed rentan diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Menurut Bhima, tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan bunga pinjaman.
"Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya," imbuh Bhima.
4. Terjadinya pembengkakan biaya impor bahan baku dan barang konsumsi

Terakhir, Bhima menuturkan bakal terjadi imported inflation akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indeks dollar mengalami kenaikan 8,7 persen secara year-to-date menjadi ke level 104,6.
"Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur," tuturnya.