Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Trump Kenakan Perusahaan Bayar Rp1,66 M untuk Visa Pekerja Asing

ilustrasi visa (pexels.com/Natalia Vaitkevich)
ilustrasi visa (pexels.com/Natalia Vaitkevich)
Intinya sih...
  • Perusahaan teknologi jadi pengguna terbesar visa H-1B, Amazon dan Microsoft termasuk di antaranya.
  • Pemerintah naikkan biaya dan tinjau ulang aturan gaji, kenaikan biaya mencapai 100 ribu dolar AS.
  • Kebijakan baru pancing kontroversi dan kritik, program H-1B semakin menuai sorotan di tengah pengetatan imigrasi.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump meneken proklamasi baru yang mewajibkan perusahaan membayar 100 ribu dolar AS (setara Rp1,66 miliar) untuk mendapatkan visa H-1B bagi pekerja asing. Langkah ini merupakan bagian dari upaya memperketat kebijakan imigrasi, bersamaan dengan razia serta deportasi massal di sejumlah kota di AS.

Program H-1B sendiri pertama kali disahkan pada 1990 oleh Presiden George H.W. Bush untuk memberi kesempatan pekerja asing terampil bekerja sementara di AS. Trump menyampaikan kebijakan ini dengan penuh optimisme.

“Saya pikir mereka akan sangat senang. Semua orang akan senang,” ujarnya, dikutip dari NBC News.

Kebijakan tersebut disambut positif oleh pendukung imigrasi ketat di Kongres, tetapi menuai kekhawatiran dari perusahaan teknologi yang selama ini bergantung pada tenaga asing terampil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja.

1. Perusahaan teknologi jadi pengguna terbesar visa H-1B

ilustrasi visa (pexels.com/Natalia Vaitkevich)
ilustrasi visa (pexels.com/Natalia Vaitkevich)

Dilansir dari BBC, jumlah aplikasi visa H-1B sejak 2004 dibatasi hingga 85 ribu per tahun. Kuota itu terdiri dari 65 ribu visa baru setiap tahun fiskal ditambah 20 ribu visa untuk pemegang gelar master atau lebih tinggi, sementara universitas dan lembaga penelitian dikecualikan. Alokasi dilakukan melalui sistem lotre tanpa membedakan perusahaan maupun pelamar tertentu.

Berdasarkan data dari U.S. Citizenship and Immigration Services (USCIS), Amazon tercatat sebagai penerima terbanyak dengan lebih dari 10 ribu persetujuan, disusul Tata Consultancy Services dengan 5.500, serta Microsoft dan Meta yang masing-masing melampaui 5 ribu. Untuk tahun fiskal 2026 yang dimulai pada 1 Oktober, aplikasi H-1B turun menjadi sekitar 359 ribu, jumlah terendah dalam empat tahun. Apple dan Google juga termasuk di jajaran pengguna besar program ini.

Perusahaan besar biasanya mengajukan lebih banyak aplikasi sehingga memperoleh porsi visa yang lebih besar. Sebaliknya, institusi akademik tidak masuk lotre maupun batas kuota. Kritik muncul karena perusahaan tidak diwajibkan membuktikan bahwa pekerja domestik tidak bisa mengisi posisi tersebut. Visa H-1B awalnya berlaku tiga tahun dan bisa diperpanjang tiga tahun lagi, dengan sebagian pemegang akhirnya mengajukan kartu hijau untuk tinggal permanen.

2. Pemerintah naikkan biaya dan tinjau ulang aturan gaji

ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kenaikan biaya sebesar 100 ribu dolar AS jauh melampaui tarif saat ini yang hanya sekitar 1.000 dolar AS (setara Rp16,6 juta). Saat ini, perusahaan membayar 215 dolar AS (setara Rp3,5 juta)untuk registrasi, 780 dolar AS (setara Rp12,9 juta) untuk Formulir I-129, serta 500 dolar AS (setara Rp8,3 juta) untuk pencegahan dan deteksi penipuan. Aturan baru itu menandai perubahan terbesar sejak program H-1B dimulai.

Pemerintah juga meninjau kembali aturan gaji minimum pekerja asing. Kritikus menilai perusahaan memanfaatkan tenaga kerja asing karena upah lebih rendah, terutama di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Bloomberg melaporkan catatan yang menunjukkan pekerja domestik kerap digantikan oleh pekerja asing di sektor tersebut.

Senator Republik Jim Banks bahkan mengajukan rancangan undang-undang untuk menaikkan gaji minimum H-1B dari 60 ribu (setara Rp998 juta) menjadi 150 ribu dolar AS (setara Rp2,4 miliar). Usulan itu juga mencakup penghapusan program Optional Practical Training (OPT) dan mengganti sistem lotre dengan seleksi berdasarkan penawaran gaji tertinggi. Pada musim panas lalu, Gedung Putih sempat menyetujui konsep pemilihan berbasis gaji, meski detail implementasinya masih belum jelas.

3. Kebijakan baru pancing kontroversi dan kritik

ilustrasi demokrasi di Amerika Serikat (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi demokrasi di Amerika Serikat (pexels.com/Mikhail Nilov)

Kebijakan H-1B di bawah pemerintahan Trump semakin menuai sorotan di tengah pengetatan imigrasi dan menguatnya sentimen anti-imigran di AS. Kritikus seperti mantan penasihat Trump, Steve Bannon menilai program itu merugikan pekerja domestik, sedangkan pendukungnya seperti pengusaha Elon Musk menilai visa tersebut vital untuk menarik talenta global.

Peneliti senior di American Immigration Council, Aaron Reichlin-Melnick mengkritik keras kebijakan ini.

“Kongres hanya mengizinkan pemerintah untuk menetapkan biaya untuk memulihkan biaya peninjauan aplikasi. Tidak ada otoritas hukum untuk memaksakan biaya yang dirancang untuk membatasi penggunaan visa,” katanya.

Ia menambahkan bahwa beban 100 ribu dolar AS hampir pasti ilegal dan kemungkinan akan dibatalkan oleh pengadilan.

Co-president NumbersUSA, Jeremy Beck menilai, kebijakan ini harus dilihat lebih detail.

“Cabang Eksekutif dapat menyesuaikan biaya, biasanya melalui proses pembuatan aturan. Kami harus melihat detail yang tepat sebelum memberikan tanggapan pasti terhadap ide ini,” ujarnya kepada Newsweek.

Menurutnya, biaya tinggi bisa membatasi hanya pekerja dengan keahlian luar biasa yang direkrut sementara sampai pekerja domestik tersedia. Anggota DPR dari Partai Demokrat Washington, Pramila Jayapal, juga mengkritik keras melalui platform X.

“Ini adalah visa untuk pekerja terampil — dokter, ilmuwan, dan insinyur. Langkah ini akan merugikan inovasi AS dan memperburuk kekurangan tenaga medis yang sudah serius. Di dunia mana ini masuk akal??” tulisnya.

Komentar ini menyoroti risiko kebijakan baru terhadap sektor kesehatan dan inovasi. Sementara itu, Direktur Studi Imigrasi di Cato Institute, David Bier menyebut, kebijakan tersebut sebagai ancaman bagi masa depan.

“Administrasi yang paling anti-imigrasi legal dalam sejarah Amerika terus mengancam kemakmuran dan kebebasan AS. Tindakan ini akan membunuh visa H-1B dan melarang beberapa karyawan dengan nilai tertinggi di Amerika. Benar-benar tidak dapat dipahami,” tulisnya di X.

Pernyataan ini memperlihatkan betapa terbelahnya publik AS dalam menanggapi kebijakan Trump terkait program H-1B.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in Business

See More

5 Kelebihan Swiss yang Menjadikannya Safe Haven Investor Dunia

20 Sep 2025, 19:25 WIBBusiness