Lawan Dominasi China, Trump Perintahkan Penambangan Laut Dalam

- Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mempercepat penambangan laut dalam demi melawan dominasi China.
- Tambang laut dalam akan menyumbang 300 miliar dolar AS dan menciptakan 100 ribu pekerjaan, tapi dampaknya terhadap lingkungan belum bisa diprediksi.
- Greenpeace USA menolak keras kebijakan tersebut karena dianggap melewati proses PBB dan merusak ekosistem laut.
Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perintah eksekutif besar-besaran untuk mempercepat praktik penambangan laut dalam. Langkah ini dilakukan demi melawan dominasi China dalam rantai pasok mineral penting secara global. Pemerintah AS akan mempercepat izin tambang nikel, tembaga, dan logam tanah jarang di perairan AS dan internasional.
Trump menyebut tindakan ini penting bagi kepentingan keamanan nasional dan ekonomi AS. Menurutnya, itu ditujukan untuk menyaingi pengaruh China dan menguatkan posisi perusahaan AS.
“AS memiliki kepentingan inti dalam mempertahankan kepemimpinan di bidang teknologi dan sumber daya mineral dasar laut,” kata Trump pada Kamis (24/4/2025) dalam perintah tersebut, dikutip dari CNBC Internasional, Jumat (25/4/2025).
Gedung Putih memperkirakan tambang laut dalam akan menyumbang 300 miliar dolar AS (sekitar Rp5 kuadriliun) dan menciptakan 100 ribu pekerjaan dalam sepuluh tahun.
1. Penambangan laut dalam pakai mesin berat angkat nodule logam

Dilansir dari Al Jazeera, Jumat (25/4/2025), penambangan laut dalam dilakukan dengan menggunakan mesin berat yang mengambil nodul logam dari dasar laut. Nodul seukuran kentang ini berada di kedalaman 4 ribu sampai 6 ribu meter. Di dalamnya terkandung mangan, besi, kobalt, tembaga, dan nikel.
Logam-logam itu dipakai di berbagai industri mulai dari pertahanan, energi, teknologi, hingga dirancang untuk baterai kendaraan listrik dan turbin angin. Praktik ini dipandang potensial mengurangi ketergantungan pada tambang darat berskala besar. Namun, ilmuwan memperingatkan dampaknya terhadap lingkungan masih belum sepenuhnya bisa diprediksi.
Kelompok lingkungan hidup menyebut aktivitas ini tidak bisa dilakukan secara berkelanjutan dan akan menghancurkan ekosistem laut. Beberapa spesies bahkan bisa punah karena terganggu habitatnya.
2. Greenpeace nilai langkah AS langgar proses internasional

Penolakan keras datang dari Greenpeace USA setelah Trump menandatangani perintah ini. Mereka menilai langkah tersebut melewati proses PBB dan mengabaikan prinsip kerja sama multilateral. Arlo Hemphill dari Greenpeace menyampaikan pernyataan pedas terhadap kebijakan ini.
“Kami mengecam upaya pemerintah ini untuk meluncurkan industri perusak ini di wilayah Pasifik dengan melewati proses PBB,” kata Hemphill.
Ia menyebut tindakan ini sebagai penghinaan terhadap kerja sama global dan mempermalukan negara-negara yang menolak praktik ini.
Hemphill juga menyatakan pemerintah AS tidak punya hak untuk memberi izin secara sepihak terhadap industri yang bisa merusak warisan bersama umat manusia.
3. Otoritas laut internasional kebut aturan sebelum akhir 2025

Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) tengah berpacu menyusun regulasi penambangan laut dalam sebelum aktivitas ini dimulai. Badan PBB ini dibentuk melalui Konvensi Hukum Laut 1982 dan mengatur 54 persen wilayah lautan dunia. Meskipun AS belum meratifikasi perjanjian itu, pemerintahnya tetap bertindak secara sepihak.
Sekretaris Jenderal ISA Leticia Carvalho mengatakan pihaknya yakin bisa mencapai kesepakatan regulasi pada akhir 2025. Sementara itu, tekanan meningkat setelah Trump memerintahkan percepatan izin di wilayah internasional dalam waktu 60 hari.
Langkah ini diperkirakan memicu ketegangan geopolitik, terutama karena AS menolak mengikuti proses yang sudah disepakati secara global. Negara-negara seperti Norwegia, India, dan Polandia pun kini berpihak pada China dalam menolak kebijakan Trump.