Turki Perbanyak Impor Minyak Non-Rusia Usai Sanksi Terbaru

- SOCAR Turkey Aegean Refinery (STAR) membeli minyak dari Irak, Kazakhstan, dan negara non-Rusia lainnya. Tüpraş juga meningkatkan pembelian minyak dari Irak dan negara lain.
- Sanksi baru menyasar perusahaan minyak utama Rusia seperti Rosneft dan Lukoil. Kilang-kilang di Turki mengalihkan pemasokan minyak mentah ke negara alternatif untuk menghindari sanksi.
Jakarta, IDN Times - Kilang minyak terbesar di Turki mulai meningkatkan pembelian minyak mentah dari negara-negara non-Rusia pada Minggu (2/11/2025). Langkah ini menyusul diberlakukannya sanksi baru oleh Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Inggris terhadap ekspor minyak Rusia.
Turki, yang selama ini menjadi salah satu pembeli utama minyak Rusia, kini mengikuti jejak negara seperti India untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan minyak dari Rusia. Perubahan ini menunjukkan dampak nyata dari upaya barat dalam membatasi pendanaan perang Rusia di Ukraina.
1. SOCAR dan Tüpraş tingkatkan impor dari negara lain
SOCAR Turkey Aegean Refinery (STAR), salah satu kilang minyak terbesar di Turki, mengumumkan telah membeli empat kargo minyak mentah dari Irak, Kazakhstan, dan negara non-Rusia lainnya yang akan dikirimkan pada Desember 2025. Jumlah ini setara dengan sekitar 77 ribu hingga 129 ribu barel per hari minyak non-Rusia.
Selain SOCAR, Tüpraş sebagai operator kilang terbesar di Turki ikut memperbanyak pembelian minyak mentah jenis serupa dari luar Rusia.
“Tüpraş kini meningkatkan pembelian minyak dari Irak dan negara lain, tidak lagi bergantung pada ekspor Rusia,” kata seorang sumber industri internasional, dilansir US News.
Menjelang Oktober 2025, data perusahaan konsultan energi Kpler juga menunjukkan sebagian besar pasokan ke STAR didominasi minyak Rusia, namun tren tersebut mulai berubah setelah sanksi baru dari barat.
2. Dampak sanksi Barat pada pola impor Turki

Sanksi baru yang berlaku sejak pertengahan Oktober 2025 menyasar perusahaan-perusahaan minyak utama Rusia seperti Rosneft dan Lukoil. Tujuan sanksi ini adalah memutus pendanaan invasi Rusia ke Ukraina yang selama ini didukung dari hasil ekspor minyak.
“Turki tidak ingin mengambil risiko terkena sanksi sekunder dari AS maupun Uni Eropa,” kata seorang sumber, dilansir PA Turkey.
Hal ini memaksa kilang-kilang di Turki mengalihkan pemasokan minyak mentah ke negara alternatif agar tetap dapat melakukan transaksi bisnis dengan institusi keuangan global.
Bahkan, mulai 21 November 2025, semua lembaga di Turki dilarang bertransaksi dengan minyak Rusia yang dimiliki oleh Rosneft atau Lukoil jika ingin mengakses dolar AS dan fasilitas perbankan internasional, sehingga pengalihan pasokan pun semakin cepat terjadi.
3. Reaksi Turki terhadap perubahan pasar minyak global
Pejabat Kementerian Energi Turki menegaskan bahwa pengadaan minyak adalah keputusan bisnis, bukan kebijakan pemerintah. Namun, otoritas Turki tetap memantau dampak dinamika pasar minyak dunia terhadap stabilitas ekonomi nasional.
“Kami selalu mempertimbangkan kepentingan nasional, namun kewenangan pengadaan minyak tetap berada pada perusahaan kilang yang terdaftar secara sah di Turki," kata seorang pejabat kementerian, dilansir Oil Price.
Langkah Turki ini sekaligus menegaskan posisinya sebagai ‘transit hub’ dan pemain penting dalam rantai logistik energi global, namun juga menyoroti risiko jika sanksi barat semakin diperluas di masa mendatang.


















