Harga Emas Dunia Sentuh Rekor Baru di Tengah Gejolak

- Ketegangan politik memperbesar daya tarik emas, termasuk independensi Fed diragukan oleh Trump, perang Rusia-Ukraina, dan kebijakan dagang yang berubah-ubah sehingga memicu inflasi.
- Harga emas diprediksi mencapai 3.700 dolar AS per ons pada Juni 2026
- Permintaan global atas emas dan perak semakin meningkat, sehingga vanyak bank sentral memperbesar cadangan emas dengan mengurangi obligasi pemerintah AS.
- Pergeseran tren ke emas menegaskan kekhawatiran atas stabilitas aset keuangan tradisional.
Jakarta, IDN Times – Harga emas melonjak ke rekor 3.508,50 dolar AS per ons pada Selasa (2/9/2025). Lonjakan ini dipicu aksi investor yang memburu emas sebagai aset aman di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik global. Sepanjang tahun ini, nilai emas telah naik lebih dari 30 persen dan hampir dua kali lipat sejak awal 2023.
Kenaikan harga emas juga ditopang oleh melemahnya dolar AS dan langkah sejumlah bank sentral yang menambah cadangan emas sambil memangkas kepemilikan obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Pasar kini memperkirakan peluang 90 persen bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga seperempat poin pada 17 September mendatang. Direktur riset BullionVault, Adrian Ash, menyoroti peran kebijakan Presiden AS, Donald Trump.
“Kenaikan harga emas selama beberapa bulan terakhir benar-benar disebabkan oleh Trump dan apa yang telah dilakukannya terhadap geopolitik dan perdagangan global,” katanya kepada BBC Today.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketegangan politik turut memperkuat daya tarik emas sebagai investasi stabil.
1. Ketegangan politik memperbesar daya tarik emas

Keraguan atas independensi Fed membuat emas kian menarik bagi investor. Trump beberapa kali mengkritik Ketua Fed, Jerome Powell, dan bahkan sempat berusaha menyingkirkan Gubernur Fed, Lisa Cook, dengan tuduhan penipuan hipotek. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, tetap menyatakan dukungan terhadap otonomi Fed, meski mengakui ada kesalahan yang terjadi, sekaligus membela kewenangan Trump untuk memberhentikan Cook.
Christine Lagarde, Kepala Bank Sentral Eropa (ECB), menyatakan pada Senin (1/9/2025) bahwa pelemahan independensi Fed oleh Trump akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi ekonomi global. Ia menambahkan bahwa jika Fed dipaksa untuk menanggapi politik Trump, maka hal itu akan berdampak sangat mengkhawatirkan terhadap stabilitas ekonomi di AS dan juga dunia. Peringatan tersebut menggambarkan risiko yang bisa meluas ke tatanan global.
Selain itu, perang Rusia-Ukraina dan kebijakan dagang yang berubah-ubah terus mengacaukan rantai pasok dan memicu inflasi. Analis logam mulia Standard Chartered, Suki Cooper, menilai emas semakin jadi pilihan utama.
“Emas mendapat dukungan tambahan dari pelemahan dolar AS di awal tahun sebagai aset safe havenyang disukai,” katanya.
Mark Haefele, Chief Investment Officer UBS Global Wealth Management, menyatakan bahwa ketahanan emas terhadap risiko didukung oleh meningkatnya risiko politik dan geopolitik, yang membuat emas semakin menarik karena cenderung menguntungkan di tengah ketidakpastian. Ia memprediksi bahwa harga emas dapat mencapai 3.700 dolar AS per ons pada Juni 2026, dan bahkan bisa menyentuh 4 ribu dolar AS jika situasi semakin memburuk.
Chief market analyst KCM Trade, Tim Waterer, juga memproyeksikan reli harga lebih tinggi.
“Reli emas bisa mencapai 3.600 dolar AS atau bahkan lebih tinggi pada akhir tahun jika Fed melanjutkan dengan beberapa pemotongan suku bunga dan jika kesepakatan damai Rusia-Ukraina tetap sulit dicapai,” katanya dikutip dari CNN.
Investor kini menunggu data ketenagakerjaan AS pada Jumat untuk memperkirakan arah kebijakan Fed berikutnya.
2. Permintaan global atas emas dan perak semakin meningkat

Sejumlah bank sentral di India, China, Turki, dan Polandia memperbesar cadangan emas dengan mengurangi porsi obligasi pemerintah AS sepanjang tahun ini. Laporan ECB pada Juni lalu mencatat bahwa emas bahkan telah menyalip euro sebagai aset cadangan terbesar kedua dunia setelah dolar. Analis senior Swissquote Bank, Ipek Ozkardeskaya, menilai pergeseran tren ini semakin nyata.
“Porsi US treasuries yang dipegang oleh bank sentral asing telah menurun selama lebih dari satu dekade, tetapi pergeseran ke emas dipercepat tahun ini di tengah kekhawatiran utang AS, penurunan peringkat, ketegangan perdagangan, dan risiko geopolitik,” katanya dikutip dari The Guardian.
Pergeseran ini menegaskan kekhawatiran atas stabilitas aset keuangan tradisional.
Di pasar perhiasan besar seperti China dan India, permintaan tetap tinggi meski harga emas melambung. Konsumen kini lebih banyak beralih ke produk investasi seperti emas batangan dan koin, sementara dana pensiun India juga tengah mengajukan izin untuk menanam modal di reksa dana emas. Sementara itu, harga perak turut melejit hingga 40,64 dolar AS per ons, tertinggi sejak September 2011.
Ozkardeskaya membandingkan prospek kedua logam mulia tersebut.
“Kedua logam tersebut masih memiliki ruang untuk naik,” katanya.
Ia menambahkan bahwa dengan rasio emas-perak yang masih berada di atas kisaran jangka panjang 60–80, perak dipandang memiliki potensi kenaikan lebih besar. Hal ini membuka peluang bagi perak untuk mencatat keuntungan relatif lebih tinggi dibandingkan emas.
3. Dampak lonjakan emas terhadap pasar keuangan dunia

Biaya pinjaman melonjak tajam, terlihat dari imbal hasil obligasi pemerintah Inggris tenor 30 tahun yang mencapai titik tertinggi dalam 27 tahun pada Selasa (2/9/2025). Kondisi ini memberi tekanan pada Kanselir Keuangan Inggris, Rachel Reeves, menjelang penyusunan anggaran musim gugur. Tren serupa juga terlihat di Eropa dengan obligasi 30 tahun Prancis menyentuh level tertinggi dalam 16 tahun, Jerman tertinggi 14 tahun, dan Italia tertinggi lima bulan.
Pound sterling Inggris merosot 1,2 persen terhadap dolar AS ke posisi 1,338 dolar AS, menjadi penurunan harian terdalam sejak 7 April. Pelemahan ini dipicu kegelisahan pasar usai Trump mengumumkan tarif baru terhadap mitra dagang AS. Indeks FTSE 100 di London pun jatuh 64 poin atau 0,7 persen ke 9.131 poin, menjauh dari rekor 9.357 poin yang dicapai bulan lalu. Bursa Eropa dan Wall Street juga ikut terkoreksi saat pasar AS kembali dibuka setelah libur Hari Buruh.
Managing partner SPI Asset Management, Stephen Innes, menilai situasi kali ini jauh lebih kompleks dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“September selalu menjadi bulan yang sulit bagi pasar, tetapi yang ini membawa lebih dari sekadar musiman,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini membawa pertanyaan apakah Fed akan menyerah atau justru hancur. Pernyataan tersebut mencerminkan tingginya ketidakpastian yang kini menyelimuti kebijakan bank sentral.