Riuh Putusan MK soal Klaim Asuransi, AAJI: Pembatalan Polis Tak Separah Itu

- Jumlah klaim dibatalkan pada periode tersebut sekitar 3.833 polis yang artinya persentase pembatalan kurang dari 1 persen dari total klaim.
- AAJI memperingatkan bahwa hilangnya kekuatan prinsip utmost good faith dapat memicu penilaian risiko menjadi tidak akurat, tingginya potensi moral hazard, turunnya kemampuan bayar klaim, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap industri asuransi.
- Industri bergerak, review polis hingga perlindungan konsumen.
Bogor, IDN Times - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 83/PUU-XXII/2024 yang menyasar Pasal 251 KUHD menimbulkan keriuhan dalam industri asuransi jiwa. Putusan ini menuntut adanya perubahan dalam cara industri merancang polis, khususnya pada klausul pembatalan dan disclosure data medis.
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan kedua pihak atau melalui putusan pengadilan. Ini menegaskan pentingnya asas iktikad baik dan kesetaraan antara perusahaan asuransi dan pemegang polis.
"Prinsip utmost good faith tidak hanya berlaku bagi tertanggung, tapi juga bagi penanggung, termasuk agen dan pialang,” ujar Kepala Departemen Legal Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hasinah Jusuf dalam forum Media Gathering AAJI 2025 di Bogor, Rabu (25/6/2025).
Meski demikian, dia menegaskan bahwa data riil menunjukkan pembatalan polis kurang dari 1 persen dari total klaim yang diajukan selama periode 2022–2024. Putusan MK tersebut juga membuka ruang koreksi penting terhadap praktik pembatalan klaim asuransi.
"Data AAJI menunjukkan bahwa isu ini tidak separah yang dikhawatirkan. Yang paling mendesak kini adalah merumuskan regulasi lanjutan yang menjamin keadilan dan keseimbangan hak-hak antara perusahaan dan pemegang polis," ujarnya.
1. Pembatalan polis kurang dari 1 persen

AAJI menepis anggapan bahwa pembatalan polis adalah praktik umum di industri. Hal itu berdasarkan data dari 59 perusahaan anggota AAJI.
Jumlah klaim diajukan pada rentang 2022–2024, lebih dari 66 juta polis. Jumlah klaim dibatalkan pada periode tersebut sekitar 3.833 polis yang artinya persentase pembatalan kurang dari 1 persen dari total klaim.
“Faktanya, pembatalan bukanlah praktik masif. Kami transparan bahwa mayoritas klaim tetap dibayar,” jelas Hasinah.
2. Risiko tanpa prinsip utmost good faith

AAJI memperingatkan bahwa hilangnya kekuatan prinsip utmost good faith dapat memicu empat risiko serius. Empat hal itu adalah penilaian risiko menjadi tidak akurat yakni premi jadi lebih mahal, tingginya potensi moral hazard, turunnya kemampuan bayar klaim dan hilangnya kepercayaan publik terhadap industri asuransi.
“Tanpa kejelasan dan keterbukaan data sejak awal, sistem perlindungan asuransi bisa terancam,” ujar Hasinah.
3. Industri bergerak, review polis hingga perlindungan konsumen

AAJI dan para pelaku industri merespons putusan MK dengan serangkaian langkah, di antaranya mereviu ulang klausul polis termasuk SPAJ dan formulir klaim. Perusahaan asuransi juga melakukan penyederhanaan prosedur klaim agar lebih ramah konsumen.
Langkah lainnya adalah perlindungan hukum lebih kuat bagi pemegang polis dan perusahaan, serta dorongan regulasi dari OJK agar ada standar baru pasca putusan MK.
“Kami berharap OJK segera mengeluarkan pedoman teknis agar industri tidak bingung dalam implementasi putusan ini,” tegas Hasinah.