[CERPEN] Para Pahlawan di Gerbong Sesak

Aku mematikan kamera dan memasukkannya ke dalam tas. Jakarta sudah cukup memberi cahaya dan bayangan untuk hari ini. Sekarang saatnya pulang. Namun, seraya melirik jam tangan, aku tahu apa yang menungguku. Dari jauh pun, aku sudah bisa melihatnya: lautan manusia yang berbondong-bondong masuk Stasiun Sudirman.
Jam pulang kerja bukanlah waktu ideal untuk naik KRL. Namun, apa boleh buat, sepertinya aku terlalu menikmati hari hingga lupa waktu. Aku lantas masuk dan mulai mengikuti arus, menunggu kedatangan kereta tujuan Bogor bersama ribuan orang lain. Saat kereta akhirnya tiba, rasanya seperti pertarungan hidup dan mati. Setiap orang merangsek dan mendesak, mencari celah untuk masuk. Tak boleh kalah, apalagi pasrah.
Di dalam gerbong, aku berdiri tanpa jarak dengan orang-orang di sekitarku. Kontak fisik tak bisa ditawar meski kami tidak pernah saling kenal. Seraya kereta berjalan, aku mulai memindai sekeliling. Rasanya pasti ada ratusan orang di gerbong ini. Tua, muda, semua berbagi udara yang sama. Mata-mata lelah menatap kosong ke luar jendela, sebagian lagi terpaku pada ponsel di tangan. Telingaku menangkap bisik-bisik obrolan yang dipaksakan untuk melawan lelah. Bahasa tubuh mereka lantang bercerita: ini bukan hanya tentang pulang, tapi tentang bertahan.
Aku tahu, bagi mereka, naik KRL bukan soal pilihan. Ini satu-satunya cara memastikan angan sederhana mereka tetap tercapai. Tetap bisa pulang sebelum larut demi makan malam di rumah bersama orang tersayang. Aku bukan bagian dari rutinitas mereka, hanya pemburu gambar yang kebetulan bersinggungan. Karena itu, di antara desakan dan guncangan, aku merasa kecil. Bukan karena ruang sempit, tapi karena menyadari beban yang mereka pikul lebih berat.
Aku tak memotret apa pun di dalam sini. Tidak hanya karena aku sulit bergerak, tapi juga karena aku menyadari bahwa kamera secanggih apa pun tak akan mampu menangkap getar ini. Getar yang hanya bisa dirasakan dengan berdiri di sini, diapit harapan dan realitas. Setiap menit berlalu dengan pertanyaan dalam benak, "Berapa lama lagi? Berapa stasiun lagi?" Namun, setiap orang bersepakat dalam diam bahwa ini bukan saatnya mengeluh. Sabar bukan hanya kunci, tapi satu-satunya opsi.
Kereta terus melaju, senja mulai berganti malam. Sebentar lagi, aku akan sampai di tujuanku. Namun, entah kenapa, aku belum rela meninggalkan gerbong ini, orang-orang ini. Aku masih ingin tahu kisah mereka, mimpi-mimpi mereka, dan alasan mereka membuka mata setiap pagi meski tahu dunia tak segan menyakiti.
Tak lama berselang, kereta melambat dan berhenti di Stasiun Depok, stasiun terdekat dari rumahku. Aku keluar bersama arus manusia yang masih terburu-buru. Untungnya, aku tak dikejar urgensi yang sama. Aku menepi ke bangku panjang di peron, duduk diam seperti penonton yang enggan ikut bermain.
Aku sudah sering berada di stasiun ini. Namun, kali ini terasa berbeda. Aku tidak mengeluarkan kamera, tidak sibuk mencari sudut yang fotogenik. Aku hanya ingin meresapi setiap momen dan menyimpannya dalam hati. Orang-orang masih berlalu-lalang. Mataku menangkap wajah-wajah lelah, pakaian kerja yang lusuh, dan langkah cepat yang rindu istirahat. Aku tahu, mereka melakukan ini setiap hari. Sesekali berharap esok lebih manis meski nyatanya kadang justru lebih sadis. Namun, mereka bertahan, tak bergeming, menolak padam.
Saat itulah, aku tersadar. Di gerbong sesak itu, aku berdiri bersama para pahlawan. Mereka bukan latar belakang di foto yang biasa kuambil. Merekalah tokoh utamanya. Aku membayangkan mereka berjalan pulang sembari mengingat untuk siapa mereka berjuang: anak-anak yang butuh masa depan, orangtua yang senyumnya dirindukan, kekasih yang setia menanti dilamar. Mungkin mereka pernah jatuh, pernah dipaksa mengeluh. Namun, mereka bangkit, lagi dan lagi, meski dengan memar di sekujur badan. Jakarta, kau tak akan mampu membuat mereka menyerah karena bahasa mereka adalah perlawanan.
Sambil tersenyum, aku bangkit dan berjalan ke luar stasiun. Hari ini terasa panjang, tetapi langkahku justru lebih ringan. Kalau bisa berbicara kepada para pahlawan itu, aku ingin berterima kasih. Terima kasih telah mengajarkanku arti perjuangan. Kita tak saling mengenal wajah dan mungkin takkan pernah lagi berjumpa. Namun, aku yakin kita akan tetap gagah dan menjadi pahlawan untuk yang tercinta.