[CERPEN] Hidup Bukan Film India

“Pokoknya, kau harus pulang Man! Kau lah yang harus menyelamatkan rumah sakit yang sudah di ambang kehancuran itu!”, begitu kata Hotman, karibnya Usman dengan tegas, dalam sambungan telepon..
Usman berpikir lama, sebelum memberikan tanggapan pada Hotman. Ia teringat dulu, ayahnya, seorang dokter kandungan, yang bernama Salim. Ia lah yang membangun rumah sakit itu dari nol.
Awalnya, ayahnya membangun klinik bersalin, sambutan masyarakat sekitar cukup baik, karena ayah dan ibunya, Pak Salim dan Bu Yulia, sangat pandai bergaul dan membawa diri. Pak Salim bahkan sempat menjadi ketua pengurus mesjid di daerah itu, ia kemudian memperkenalkan manajemen modern untuk menyelenggarakan administrasi mesjid.
Ibu Yulia juga dikenal baik dan ramah pada tetangga, bahkan ia tak jarang memperlakukan tetangga yang dekat dan sering ketemu, selayaknya saudara. Usman, sebenarnya secara tidak sengaja juga membuat masyarakat Kampuang menerima keluarganya dengan baik. Ia memang dikenal tidak memilih-milih dalam berteman, siapapun yang baik padanya akan ditemani, dan dibawa main ke kamarnya, yang berada di lantai dua klinik itu.
“Masalahnya ada di ongkos, Hot, aku tidak bisa meninggalkan keluargaku begitu saja di Jogja. Ali butuh bantuanku untuk mobilitasnya, aku sehari-hari yang selama ini mengurusinya, memandikannya, mengangkatnya dari kursi roda.” Ucap Usman pada Hotman.
Ali adalah anak Usman yang paling tua, ia menderita sebuah sindrom langka, yaitu Spinal Muscular Atrophy (SMA). Hal yang membuat ototnya terus melemah dan mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Karena tidak bisa berdiri dan berjalan, maka Ali harus menggunakan kursi roda sebagai alat bantu mobilitasnya. Dengan usia yang hampir 17 tahun, dan berat badannya, maka hanya Usman lah yang selama ini kuat menggendong Ali.
Hotman kembali berkata, menanggapi, “Jika tidak kau ambil alih Man, maka semua jerih payah ayahmu selama ini akan hilang begitu saja. Rumah sakit itu akan disita oleh pengadilan, karena selama ini yang mengelola adalah Bambang, suami dariLlampir, yang terkena kasus pidana sekarang ini.”
Lampir, istri Bambang, adik Usman, beberapa waktu yang lalu dilaporkan oleh rekan bisnisnya, karena melanggar perjanjian bisnis. Sedianya, dana yang diberikan oleh rekan bisnisnya itu, adalah untuk membuka karaoke di Kampuang. Akan tetapi, setelah dana dua miliar rupiah itu masuk rekening Lampir, rencana pembangunan karaoke itu tidak kunjung terlaksana. Padahal rekan bisnisnya itu, sudah menggadaikan rumah dan tanah yang dimilikinya, untuk berinvestasi.
Usman tahu akan hal tersebut, setelah Abu Bakar, temannya, mengirimkan link media sosial dari pengacara lawan si Lampir. Awalnya, ia juga bingung, “Ada apa pula ini?”pikir Usman.
Selama ini, memang Bambang dan Lampir terkenal pelit pada keluarga dan kerabat Usman. Sebaliknya, mereka sangat pemurah terhadap keluarga Lampir, bahkan hampir semua karyawan di rumah sakit tersebut, adalah saudara atau kerabat Lampir. Ketika ibu kandung Lampir sakit, mereka langsung membawanya berobat ke Penang di Malaysia. Sementara, ketika ibu kandung Usman, Bu Yulia sakit sampai kakiya membusuk, hanya dirawat sendiri di rumah saja.
Si Bambang bilang ke Usman, kalau ibu mereka terkena diabetes, karena sering minum bergelas-gelas teh manis saat tengah malam. Usman langsung curiga mendengar keterangan Bambang ini.
Persoalannya, jika memang ibu mereka dalam kondisi demensia, atau kehilangan daya ingat, seharusnya Bambang bisa menjaga supaya ibu mereka itu tidak mengonsumsi gula dalam jumlah yang banyak. Selain itu, Bu Yulia, Usman dan adik-adik lainnya, tidak ada yang memiliki riwayat diabetes.
Dugaan Usman, Bambang dan Lampir sengaja membuat Bu Yulia terkena diabetes, untuk membunuhnya secara diam-diam. Usman paham, bahwa adiknya ini tidak akan ragu membunuh keluarganya sendiri, jika diperintah oleh istrinya. Bambang memang selalu tunduk dan takut pada istrinya. Kepribadiannya lemah, sehingga gampang ditaklukkan oleh siapa pun yang menjadi istrinya.
Usman jadi teringat pada film-film India yang biasa ditontonnya. Sebagai penggemar berat film-film Bollywood, ia sangat paham alur cerita sebagian besar film-film tersebut.
Biasanya lakon atau tokoh protagonis selalu kalah dan dizalimi terlebih dahulu dengan berbagai macam cara. Entah ia diusir dari kampung halamannya, ditipu, keluarganya disakiti dan dicelakai, dan lain-lain. Usman dan teman-temannya menamai bagian alur yang ini dengan “Lakon kalah dulu”.
Setelah kalah di awal cerita, biasanya akan terjadi tindakan balas dendam oleh lakon terhadap musuhnya, atau tokoh antagonis. Akhir film, biasanya akan selalu berisikan kisah kemenangan tokoh protagonis terhadap tokoh antagonis. Kisah kemenangan ini, selalu dibumbui dengan drama yang berlebihan, hal yang seringkali membuat Usman dan teman-temannya tertawa sendiri, karena saking lebay-nya (terlalu berlebihan).
Saat ini, Usman membayangkan bahwa dirinya bisa pulang ke Kampuang, dan seperti kisah film-film India, ia akan membalas tindakan zalim Bambang dan Lampir terhadap Bu Yulia dan keluarga mereka. Selama ini, Bambang memakan sendiri uang hasil keuntungan rumah sakit milik keluarga mereka itu. Padahal, seharusnya Bambang membagikan keuntungan tersebut untuk saudara-saudara kandungnya, yaitu Usman, Nurhayati, Nassar, dan Rohana.
Usman kemudian tersadar dan kembali ke dunia nyata, setelah melihat rekening banknya melalui aplikasi mobile banking di telepon pintar kepunyaannya. Hanya beberapa ratus ribu rupiah, dana yang tersisa di rekening banknya.
Sementara, untuk ke Kampuang bersama keluarganya, yaitu istri dan kedua anaknya, ongkos termurah sekali jalan, jika menggunakan pesawat, sekitar 6,5 juta rupiah, untuk berempat. “Kemana akan dicari sisanya ini?” ucap Usman dalam hati.
“Kau tahu Man, mengapa aku ingin kau selamatkan rumah sakit itu?” tanya Hotman tiba-tiba kepada Usman.
“Mengapa?” tanya Usman balik.
“Dulu ketika aku tidak punya apa-apa, sementara istriku harus melahirkan anak pertama kami. Ayahmu menggratiskan semua biaya perawatan dan persalinan anak dan istriku. “ Jawab Hotman dengan nada setengah bergetar.
“Aku berhutang budi pada kedua orang tuamu Man, aku ingat sekali, ketika kami akan pulang, setelah perawatan dan persalinan selesai, Ibumu memberi kami uang dalam amplop, yang tidak sedikit jumlahnya. Uang yang kami gunakan untuk bertahan hidup, sampai aku mampu memberi nafkah yang cukup untuk anak dan istriku.” jelas Hotman pada Usman.
Usman hanya terdiam, ia baru paham mengapa sahabatnya ini sangat menginginkan dirinya untuk menyelamatkan rumah sakit yang telah dibangun ayahnya ini. Akan tetapi, apa mau dikata, segala sesuatu di masa ini membutuhkan uang, lembaran-lembaran yang menghiasi dompet dan angka-angka dalam rekening bank. Sekeras apa pun hati seseorang, jika tidak ada uang, maka ia tidak akan mampu berbuat apa-apa, bahkan hanya untuk sekadar bertahan hidup.
“Begini saja Hot, jika memang Tuhan menghendaki aku ke Kampuang menyelesaikan masalah ini, maka tentulah akan dipermudah jalanku ke sana oleh-Nya. Sebaliknya, jika tidak, maka berarti takdirku bukan di sana.” ucap Usman, setelah berpikir lama.
Usman sadar bahwa hidup ini tidaklah seperti cerita film-film Bollywood yang sering ditontonnya. Semua tergantung Yang Maha Kuasa, atau Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha, dan Tuhan lah yang menjadi penentu utama.
Sama dengan Hotman, sebenarnya Usman juga ingin menyelamatkan rumah sakit itu, persoalannya, dengan kondisinya yang sekarang, teramat sulit baginya untuk mendapatkan uang jutaan. Dulu memang semua begitu mudah, ketika itu pun, ia tidak melihat ada kebutuhan untuk menyadarkan Bambang, bahwa hasil keuntungan rumah harus dibagi sesama saudara kandung.
Akhir-akhir ini, setelah Bambang juga seringkali mengaku bahwa ia juga tidak punya uang. Padahal, ia adalah pengelola rumah sakit, yang merupakan bisnis keluarga mereka, Usman jadi tidak habis pikir, mengapa bisa demikian?
Puncaknya, adalah ketika di media sosial, heboh tentang somasi terhadap Lampir istri Bambang, oleh rekan bisnisnya, yang tidak terima uangnya digelapkan. Hal yang membuat Usman paham, mengapa Bambang mengaku tidak punya uang. Dari Rohana, adiknya yang paling kecil, Usman tahu bahwa Lampir telah melarikan uang rumah sakit sebanyak 28 miliar rupiah. 20 miliar rupiah uang dari BPJS, yang dibayarkan oleh BPJS pada rumah sakit, sementara yang 8 miliar rupiah adalah uang yang harus dibayarkan oleh apotek yang dikelola rumah sakit pada perusahaan obat.
Hal yang lebih parah lagi adalah ketika Rohana memberikan informasi bahwa uang pensiun kedua orang tua mereka juga dilarikan oleh Lampir. Untuk hal ini, Annie, istri Usman sempat mengetes, dengan bertanya melalui pesan singkat di telepon pintar ke Lampir, terkait uang pensiun kedua orang tua Usman. Lampir menjawab bahwa uang itu digunakan untuk membayar gaji asisten Bu Yulia, Ibu kandung Usman. Padahal, sebelumnya, Bambang pernah memberikan keterangan melalui pesan singkat, bahwa uang pensiun itu belum sempat diurusnya, karena ia tidak paham bagaimana mengurusnya.
Dari dua informasi inilah Usman dan Annie berkesimpulan bahwa uang itu sudah dilarikan dan disalahgunakan oleh Lampir. Gaya hidup Lampir yang hedon, suka berfoya-foya dan jalan-jalan secara berombongan ke luar negeri, adalah salah satu penyebabnya. Hal inilah yang mungkin membuat uang berapa pun selalu kurang bagi Lampir.
Usman hanya bisa gregetan tanpa mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi hal ini. Ia kesal sekali dan ingin memarahi Bambang dan Lampir sebenarnya. Akan tetapi, karena uang tidak ada, semua itu hanya bisa dibayangkannya saja dalam pikiran.
Pada suatu saat di malam hari, ketika anak-anak mereka sudah tertidur lelap, Annie berkata pada Usman, “Sudahlah Yah, tidak usah ngoyo, dan terlalu dipikirkan, benar kata Ayah kemarin-kemarin, jika memang jalannya, maka akan mudah bagi kita untuk ke Kampuang menyelesaikan masalah ini, jika tidak, maka kita harus mengikhlaskan rumah sakit yang dibangun oleh orang tua Ayah dulu.”
“Iya Bunda, hatiku sudah mengikhlaskan, aku hanya berpikir, bagaimana nasib Ibu, jika rumah sakit itu tidak ada?” ucap Usman menanggapi perkataan istrinya itu.
Mereka berdua kemudian terdiam, di tengah keheningan malam yang semakin dingin.