[PUISI] Bisakah Aku Berhenti di Sini?

Aku tidak mau menghitung lagi, sudah angka berapa kaki ini berhenti sendiri dan membiarkannya memucat karena tak dapat memilih—selatan atau barat? Timur atau utara? Tenggara atau barat daya? Atau sebaiknya aku kabur lari secara acak dan berputar sepuluh kali sebelum menuju hilir?
Adakah kata yang pasti untuk diberikan kepada nama arah yang masih susun-menyusun dalam kepala, yang ternyata sempit sekali untuk menyimpan ingatan mengenai luka-luka yang masa lalu wariskan untuk dinikmati sebagai hidangan penutup malam dan pembuka pagi, ketika hari; lima jam, delapan jam, dua belas jam, meninggalkan aku dalam keadaan membingungkan?
Ini bukan pertama kali, aku lihat jalanan samar-samar tak memberi pilihan dan merengkuh peta perjalanan untuk dikembalikan pada muasal. Benarkah aku hanya akan tersisa nama?
Hari ini aku sampai pertigaan yang di sisi kananku sedang lampu hijau. Mempersilakan orang-orang dengan kendaraan pilihannya menuju pemberhentian akhir, sedang di sisi yang lain, aku masih berhenti.
Menghitung mundur dari detik tiga puluh yang terasa lama sekali mencapai nol. Dan—aku mulai menyadari lagi. Perjalanan ini masih berlanjut; lurus terus, belok kanan-kiri, menemui jalan yang tidak memiliki plang nama, dan apa lagi yang akan aku hadapi?
Berapa mil lagi spidometer kehidupan untuk perjalananku masih bertambah angkanya? Sedangkan tanya menjelma apa saja yang aku temui di sepanjang perjalanan. Yang satu persatu terkadang berulang-ulang minta dijawab. Bisakah aku berhenti saja saat ini? Atau, haruskah aku menunggu spidometer kehidupan ini memenuhi angka seharusnya?
Namun, Tuhan. Biarkan aku lari-lari kecil lagi dan bertemu hilir-hilir yang lain.