[PUISI] Dia Ingin Cinta, Tapi Trauma Diterimanya

Bermula ketika hembusan hangat angin Yogyakarta membelai senja, membawa kenangan manis yang tak berhenti berkelana
Berlanjut pada selimut kabut Bromo memeluk fajar, mencoba mengenal satu kata beringingan dengan nama
Berujung riuhnya nada kebun raya, menyisakan haru biru mengetuk pilu antara kita
Aku memang sedang mencari sosok sepertimu, dan semesta mempertemukan
Aku bertemu kamu dengan sengaja, namun tanpa duga
Waktu itu, kita adalah dua insan muda penuh rasa ingin tahu
Kau hadir, dan aku sapa dengan gemetar gembira
17 September malam, berteman manisnya ronde hangat dan daging cincang yang terbungkus kulit kenyal kesukaanmu
Nikmatnya kita bagi di antara tawa di Surabaya, betapa cepat perasaan tumbuh saat tak dijaga
Kumainkan gawai sentuh berlayar tipis dengan pena canggihmu, kuajaknya menari—kadang lirih, kadang deras—senantiasa mengiringi rindu yang tumbuh tanpa permisi.
Katamu, aku manis. Kamu juga manis, balasku, bahkan segar seperti semangka!
Kulit luarmu tampak kokoh, hijau getir, pelindung daging merah penuh air di dalamnya.
Tapi getir hijau itu terasa hambar, begitu rapi tersembunyi.
Bodohnya aku, terlalu terbuai hingga tersesat dalam bayang-bayang hijau-merahmu (semangka)
Semua tampak indah, sempurna, hingga percikan api itu meledak,mengubah segalanya menjadi abu, dan kau yang dulu manis, kini baru pahit terasa.
Aku paham, selama ini ternyata hanya kulit hijaumu yang kubaca.
Merah manis dagingmu membutakanku.
Aku salah menilai, aku keliru, percaya pada janji yang kau ucapkan, memandangmu sebagai satu-satunya, tapi kau acuhkan aku, tinggalkan luka.
Bohong jika aku tidak kehilanganmu saat asmaraku sedang dalam puncaknya.
Kuakui awal waktu itu, hati sedang tak lagi berharap cinta,
Namun kau pergi saat aku paling mencinta, meninggalkan luka yang dalam, tak terhingga.
Lihat aku sekali lagi—
akulah yang dulu kau luluhkan dengan harap,
akulah yang percaya, sebab kau mengejarku penuh niat seperti kau menjalani hobi joggingmu dengan sepatu kebanggaan. Kau telah menunjukkan bahwa cintamu tak seperti yang lain.
Kasihmu melegakan, namun penerimaanmu atas diriku mengerikan
Salahkah watakku yang tak bisa menjadi bayanganmu?
Kini, aku masih belajar bertahan tanpa gemetar,
belajar tertawa tanpa bayangmu menyusup dalam celah,
dan perlahan, aku menulis ini
bukan untukmu, tapi untuk jiwaku yang sedang berusaha sembuh atas trauma yang kita bangun bersama.