Bagaimana menurutmu? Apakah cerita ini relate dengan kehidupanmu sebagai seseorang yang memiliki sahabat? Pernahkah kamu mengalami konflik serupa? Bagaimana ending dari konflik yang kamu miliki?
[CERPEN] Persimpangan Persahabatan

- Persahabatan lima sahabat SMA diuji oleh konflik yang mengancam kebersamaan mereka.
- Jeje dan Cinta terlibat dalam konflik hebat akibat kesalahpahaman tentang hubungan Vicky dan Santi.
- Konflik berhasil diselesaikan melalui komunikasi, pemahaman, dan kepercayaan, memperkuat ikatan persahabatan mereka.
Masa-masa SMA memang memiliki banyak cerita. Terlebih lagi cerita persahabatan dan percintaan. Aku sendiri telah merasakannya. Drama dan konflik yang mengubah cara pandang hidupku. Pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan!
Bangku pojok di kelas pinggir lantai dua itu milik kami berlima. Segudang keseruan, drama, kerja keras, bahkan waktu istirahat pun kami habiskan di sana. Di antara semua lingkaran meja di kelas, suara tawa kami selalu jadi yang paling terdengar.
Aku yang paling sering pergi ke kantin dan kembali membawa makanan titipan dari mereka berempat. Wina yang selalu ingin ikut aku ke manapun aku pergi. Cinta dan Jeje yang selalu siap menghidangkan bumbu gosip di pagi hari. Sedangkan Putri si pengamat dalam diam.
Cerita-cerita yang mengalir di antara kami, bersama makanan yang baunya mengisi satu ruangan, menyempurnakan kehangatan.
“Mie instan siapa itu? Baunya enak banget!” teriak seseorang dari sebrang kelas. Biasanya, setelah itu meja kami akan perlahan dipenuhi anak-anak yang ikut bergabung menyantap makanan bersama.
Namun, beberapa minggu terakhir, suasananya sedikit renggang. Tawa dan kebersamaan kami hari ini tak seramai kemarin. Bahkan tak ada satu pun yang berani buka suara mengenai keributan tak kasat mata yang tengah terjadi.
Semua ini berawal di suatu pagi, ketika persahabatan kami mulai goyah diterpa gelombang pasang. Gelombang yang dengan cepat meluluhlantahkan kesederhanaan yang selama ini kami nikmati.
Pada saat itu jam menujukkan pukul 06.25 pagi. Lima menit lagi gerbang akan segera ditutup, dan aku masih belum sampai di sekolah. Sudah menjadi kebiasaan burukku datang sekolah last minute.
Tak jarang aku melewatkan perkumpulan atau obrolan teman-temanku yang sudah lebih dulu sampai di sekolah. Walaupun begitu, biasanya aku akan tetap bergabung bersama mereka dan mengobrol sampai guru datang.
“Munafik, lo! Cewek gila!”
Jantungku langsung berdegup kencang setelah mendengar teriakan dari lantai dua. Suara ribut pagi-pagi di koridor IPS. Asal suaranya tidak asing. Itu Cinta, temanku.
Apa yang terjadi? Bahkan suara teriakan mereka terdengar dari koridor lantai satu. Aku lantas berlari secepat mungkin ke lantai dua dimana kelasku berada
“Gue gak punya niat lain selain ngungkap kebusukan cowok lu itu, Cin. Buka mata lo lebar-lebar. Dia gak pantes buat lo,” sautan Jeje ikut memenuhi satu ruangan. Mereka berdua bertengkar hebat bahkan sampai jambak-jambakkan.
Aku yang baru sampai di kelas, langsung mencuri celah untuk bisa ke belakang. Wina dan Putri sudah memegangi tangan Jeje dan Cinta, mencoba menenangkan mereka. Mereka berempat sudah dikerubungi oleh orang-orang yang ingin tahu apa yang terjadi.
Wajah bingungku tergambar jelas. Aku menatap Wina meminta penjelasan suasana yang sedang terjadi. Wina hanya menjawab “Santi kirim foto Jeje dan Vicky habis makan bareng semalam.”
Aku terkejut setengah mati mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Wina. Namun, di satu sisi aku menolak percaya kalimat itu sepenuhnya.
Jeje bukanlah tipe orang yang suka merebut pacar orang, apalagi Vicky adalah pacar temannya sendiri. Bahkan Jeje sangat tidak suka kepada Vicky. Ia adalah orang pertama yang mendukung putusnya hubungan Cinta dan Vicky.
Adu mulut masih berlanjut antara Cinta dan Jeje. “Gue benci sama lo! Lo gak pantes punya temen kayak kita. Kita semua udah baik sama lo, tapi lo gak tahu diuntung!” Cinta kembali meneriaki Jeje.
Jeje berusaha membela dirinya, tetapi suaranya bergetar. Ia tak mampu menahan air mata untuk tidak keluar dari matanya. Matanya pun memerah.
“Vicky itu gak baik buat lo−”
“KALAU EMANG LO MAU VICKY, REBUT AJA SEKARANG,” Teriak Cinta sambil mendorong Jeje dengan kasar. Putri buru-buru menarik dan menahan tangan Cinta.
Mendengar teriakan Cinta, Jeje lantas ikut menjawab dengan nada yang lebih tinggi. “CINTA, LO UDAH BUTA CINTA SAMA VICKY!”
“LO DIAM!”
Sekelas langsung hening. Orang-orang tak berani membuka mulut mereka. Masih tak henti cacian dari Cinta kepada Jeje. Jeje yang terdiam, hatinya terguncang. Ia rasanya tak mampu membalas ucapan Cinta.
“Air mata lo palsu,” ucap Cinta, dingin. “Mending lo pergi. Gue muak liat wajah orang munafik. Gue gak sudi nganggep lo temen,” ia menatap Jeje sinis.
Aku, Wina, dan Putri yang mendengar hal itu sontak terkejut. Cinta benar-benar sudah keterlaluan. Pernyataannya dapat menyakiti hati Jeje.
“Cinta, cukup! Lo keterlaluan.” Wina yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara.
Entah mengapa, jantungku terasa sakit. Kepalaku tak berhenti berdenyut. Seperti ada yang menusuk dari berbagai sisi. Ada sesuatu yang terasa runtuh. Seperti rasa tidak siap menghadapi kenyataan yang saat ini terjadi.
Ucapan Cinta membuat Jeje benar-benar terdiam kaku selama beberapa detik. Ia tertunduk. Jeje mengambil tasnya dengan kasar. Matanya mulai berkaca-kaca. “Gue harap lo gak nyesel ngomong gitu, Cin.”
Ia membanting pintu saat keluar kelas, meninggalkan keheningan yang mencekik. Semua mata tertuju ke kami berempat. Putri melotot kearah mereka, memberi isyarat agar mereka menundukkan pandangan.
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul. “Jeje keluar dari grup WhatsApp,” Ucap Wina. Kami berlima segera mengecek ponsel masing-masing. Benar saja, Jeje sudah keluar dari grup WhatsApp kita berlima. Tiang persahabatan kami sudah roboh.
“Biarin. Gak nyusahin gue buat ngeluarin dia.”
Cinta berjalan ke mejanya. Duduk dengan emosi yang masih menyala. Kami bertiga juga kembali ke meja masing-masing. Tidak ada yang berani membuka obrolan terlebih dahulu.
Kami semua terdiam. Firasat buruk mulai menghantui pikiranku. Ketakutanku perlahan terjadi.
Hari-hari setelahnya bagaikan neraka. Kami yang biasa bertukar cerita dan kabar di grup WhatsApp, kini sunyi tanpa notifikasi. Bahkan di sekolah kami terpecah.
Tak ada lagi pagi cerah dengan obrolan ringan di antara kami berlima. Bangku-bangku yang biasa kita susun berlima pun kini hanya menyisakan empat bangku saja. Masih ada berisik, tetapi yang terdengar hanyalah dari empat orang sahabat.
Jeje memisahkan diri dari kami. Ia duduk bersamaku di bagian belakang, sedangkan Putri, Wina, dan Cinta tetap di meja masing-masing. Aku seperti berdiri di atas dua perahu yang semakin menjauh. Persahabatan kami semakin keruh.
Sudah 3 hari sejak kejadian itu. Tanpa mereka ketahui, bukan hanya persahabatan ini yang mulai retak, tetapi juga hatiku. Bahkan, kepalaku tak henti-hentinya memutar kembali kejadian dan rasa sakit yang terlalu membekas.
Aku harus bagaimana? Kenapa bisa begini? Mana yang perlu aku bela? Aku perlu melakukan sesuatu.
Merasa perlu menyudahi konflik diantara kami, aku memutuskan untuk menjadi penengah. Aku harus mengetahui cerita dari kedua sisi terlebih dahulu secara personal lalu menyatukan kita semua kembali seperti semula.
Aku pun mendatangi Jeje yang tengah mengisi botol minumnya di galon koridor belakang sekolah. Awalnya ia memang menolak, namun setelah ku bujuk, Jeje akhirnya mau bercerita. Aku menyimak dengan benar cerita Jeje.
“Vicky itu bukan sama gue, Ra…” suaranya lirih. “Vicky sama Santi.”
Aku mendongak cepat. Wajahku spontan mendekat ketika mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan Jeje.
“Gue mergokin mereka pelukan di ujung jalan gak jauh dari tempat makan itu di hari yang sama dan sempet gue foto juga,” katanya sambil menunjukkan layer ponselnya. Aku tetap diam menyimak sampai Jeje menyelesaikan ceritanya.
“Gue emang lagi makan sendiri di tempat makan itu. Gue gak tahu ada Vicky dan Santi disana. Vicky tiba tiba-tiba datang bawa piring dan duduk didepan gue. Sebelum gue sempet bangun, Santi ambil foto kita berdua,” lanjutnya.
Raut mukanya berubah. Jeje memegang kedua tanganku, berharap aku akan percaya dengan ucapannya. “Gue langsung pergi, Ra. Gue kata-katain dia, habis itu pergi.”
Penjelasan panjang dari Jeje ditambah bukti foto itu terdengar masuk akal di telingaku. Santi memang sempat diisukan dekat dengan Vicky, tetapi tiba-tiba saja Vicky memberikan hadiah kepada Cinta. Seperti berusaha menutup isu itu sebelum membuat Cinta berapi-api.
Sepertinya memang benar, Cinta sudah dibutakan oleh cintanya kepada Vicky.
Aku memeluk Jeje yang tiba-tiba saja sudah berlinang air mata. Aku tersenyum untuk menenangkan dia. "Gue akan berusaha jelasin ini semua ke Cinta. Lo tenang aja."
Setelah aku mencerna kembali sambil mengumpulkan niat, malam harinya aku pun menelepon Cinta. Kembali ku coba membuka topik obrolan yang enggan dibahas Cinta.
“Gak, Ra. Gue lagi gak mau bahas ini lagi,” sesuai dugaanku, ia langsung memotong omonganku ketika aku menyebut nama Jeje.
“Lo harus denger penjelasan dari Jeje dulu, Cin. Gue tadi habis ngobrol sama dia dan−“
“Lo sekarang di pihak Jeje, Ra?”
Aku menyangkal dengan cepat. Sepertinya pikiran Cinta masih kalang kabut. Keheningan terjadi diantara kita berdua.
“Vicky bilang kalau Jeje yang ngajak dia ketemu, makan bareng, bahkan suruh Vicky buat putusin gue. Gue langsung percaya karena dari dulu Jeje memang paling gak suka sama hubungan gue, Ra,” jawaban Cinta memecah keheningan diantara kita berdua di ujung telepon.
Aku menarik napasku dalam, berusaha menenangkan emosiku agar bisa menjelaskan kepada Cinta dengan jelas.
Setelah ku ceritakan semuanya kepada Cinta, ia hanya bisa tertegun. Terlebih lagi ketika dia melihat foto dari Jeje. Emosinya hampir naik kembali. Tetapi, dengan cepat aku menyuruhnya tenang.
Terasa dengan jelas Cinta yang sedang bimbang dalam memproses penjelasan yang baru saja ia terima. “Kepala gue pusing, Ra. Gue.. butuh istirahat,” tuturnya.
Aku paham betul bagaimana kepribadian sahabatku. Meski Cinta seorang yang terang-terangan dan emosian, ia tentu mengecualikan semua itu kepada sahabatnya. Jeje masih ia anggap sahabat dalam lubuk hatinya yang paling dalam.
Aku berdeham kecil sebelum akhirnya mematikan telepon kita pada malam itu. Aku harus memberikan ia waktu untuk menenangkan dirinya. Jangan sampai kamu memaksakan Cinta, Ra. Jangan sampai kamu malah kehilangan dia.
Sepertinya Cinta memang membutuhkan waktu lebih untuk berpikir dan menenangkan emosinya. Pada hari setelah percakapanku dengan Cinta, ia terlihat menghindari pembahasan mengenai Jeje. Dia masih enggan menyudahi drama ini.
Tetapi, hari demi hari Cinta sudah mulai ceria lagi. Memang belum sepenuhnya pulih, tapi ia perlahan kembali seperti Cinta yang dulu. Kini kami mulai duduk di pojokan lagi. Walau hanya berempat, tapi itu lebih baik daripada tidak.
Bagaimana dengan Jeje? Ia masih menyendiri di kelas. Tidak ada siapa pun yang berani mendekatinya, kecuali aku. Aku masih berusaha bersikap netral. Kadang aku mengajaknya ke kantin atau mengerjakan tugas bersama.
Bukan tanpa alasan, aku tahu bukan Jeje atau Cinta yang bersalah. Aku hanya masih menunggu waktu untuk Cinta mau tenang. Terlebih, aku tak ingin kehilangan satu pun sahabatku.
Beberapa hari kemudian, Cinta tiba-tiba saja menarikku ke mejanya. Ia mengatakan bahwa ia sudah siap berbaikan dengan Jeje setelah semua hal yang sudah ia pikirkan matang-matang.
“Bantu gue ya, Ra. Gue takut awkward sama Jeje,” pintanya kepadaku sambil sedikit tertawa.
Wajahnya terlihat berharap agar aku bisa membantunya. Ini lah yang sudah aku tunggu-tunggu dalam beberapa hari terakhir. Sudah cukup waktu yang ku berikan untuk Cinta bisa mendinginkan kepala. Aku pun mengangguk, mengiyakan apa yang Cinta pinta.
Tak lama, Jeje sampai di kelas. Aku mendatangi mejanya. Memulai pembahasan yang sudah direncanakan dengan Cinta tadi.
“Je, gue rasa udah lama kita diem-dieman kayak gini. Gue gak nyaman sama pertemanan kita yang kayak gini.”
Jeje enggan mengangkat kepalanya. Ia masih fokus memainkan ponselnya. “Je…” panggilku, lembut. Dia masih saja berpura-pura tidak menyadari kehadiranku di depannya.
Cinta dan yang lain menghampiri kami berdua. “Je, gue… gue minta maaf. Gue udah tau yang sebenarnya."
Jeje yang semula acuh terhadapku, kini ia menghentikkan jemarinya. Ia terlihat menelan ludah ketika mendengar suara Cinta di sampingnya.
"Gue salah. Gue asal mojokkin lu tanpa denger penjelasan dari lu, Je,” suara Cinta sayup-sayup terdengar. Ia gemetar. “Gue minta maaf, Je...”
Tangis Cinta perlahan meluap. Kami semua termasuk Jeje tidak menyangka ia akan menangis. Jeje menoleh ke arah Cinta. Sebentar ia terdiam sebelum kemudian berdiri dan memeluk Cinta.
Memang masih terasa canggung, tetapi ia sudah memaafkan Cinta. Jeje juga meminta maaf tidak berusaha menjelaskan kepada Cinta.
"Gue juga, Cin. Gue yang justru harus minta maaf. Maafin gue, ya, Cin," ia memeluk Cinta dengan erat. Pelukannya dibalas oleh Cinta. Kita berlima saat itu menjadi tontonan satu kelas.
Aku, Wina, dan Putri ikut saling berpelukan di situ. Semuanya saling mengucapkan kata maaf. Ternyata, mereka juga merasa bersalah karena tidak bisa menjadi penengah di antara Jeje dan Cinta.
Semua orang tiba-tiba bertepuk tangan dan bersorak. Aku dan yang lain saling tertawa satu sama lain.
“Selesai juga ya drama kita,” Wina terkekeh kecil.
“Habis ini gue akan putusin Vicky hari ini. Good bye, buaya.” Tawa kita semua pecah. Akhirnya aku bisa mendengar lagi tawa dari kita berlima.
Sepulang sekolah, Cinta akhirnya memutuskan Vicky tanpa banyak kata-kata. Jeje senang bukan main. Ialah orang pertama yang akan berteriak senang jika mereka putus, dan hal itu sekarang terjadi. Kami berlima pulang bersama dengan hati yang puas.
"Untuk ngerayain putusnya Cinta dan si hati busuk, gue akan traktir kalian!" Jeje menggandeng bahu Cinta dan Putri dengan wajah sumringah.
Tak mau kalah, Cinta juga ingin merayakan keberhasilannya. "Gue yang harusnya traktir kalian! Ayo ke rumah gue, gue akan masak buat kita semua," ucapnya dengan wajah yang tidak semurung kemarin.
Kami berlima berjalan bersama ke rumah Cinta dengan hati yang lega. Akhirnya, drama kita sudah selesai. Kesederhanaan kami telah kembali.
Aku belajar sesuatu yang penting di persahabatan ini. Persahabatan yang kuat bukanlah yang tidak pernah memiliki konflik, tetapi yang mampu bertahan dan memperbaiki diri setelah badai menerpa.
Dan sebagai seorang teman, kadang peran terbaik bukan memilih sisi, tetapi berusaha memahami dan menjembatani. Karena kebenaran seringkali tidak hitam atau putih, tetapi ada di area abu-abu yang hanya bisa diterangi dengan komunikasi dan kepercayaan.
Kami berlima akhirnya lulus, tidak hanya dengan ijazah, tetapi dengan ikatan yang telah diuji dan ternyata mampu bertahan. Bangku pojok di kelas lantai dua itu kini menyimpan cerita kami. Cerita tentang persahabatan, kesalahpahaman, dan bagaimana sebuah hati yang tulus bisa menyatukan kembali lima sahabat sejati.


















