[PUISI] Dua Puluh Empat Jam Lalu

Kepedihan ini menyeruak seiring dinginnya larut malam yang kian membeku
Keceriaanku bak mayat bintang yang mengambang dalam semesta hampa, dingin dan redup dan nestapa
Dua puluh empat jam yang lalu tepat ku dengar nyata suaramu,
Suara yang mendayu-dayu, bagai kotak musik tua yang rapuh
Langkah yang terpapah dan tubuh yang lelah, bagai cendana yang menua dan nyaris rebah
Dua puluh empat jam yang lalu, jari-jarimu masih sehangat perapian di tengah gelap pekat
Yang malam ini membeku di kala kutatap lekat
Kutundukkan dalam-dalam, tiap-tiap memori yang berputar bagai lagu-lagu dalam piringan hitam.
Sang pelipur lara, terdiam kaku dalam onggokan tanah merah.
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.