[PUISI] Ritus Monolog

Pada persimpangan jalan bersama peluh duniawi
Puan terhempas dalam ruang kontemplatif
Hilir sunyi membasahi gelisah yang berpadu-padu
Meski kelu di ujung lidah, Puan memulai ritus monolognya
Puan membiarkan dirinya meraup sisa-sisa kekosongan ini
Bersama sabda Tuhan, dia hendak menyamai jurang cahaya dalam gelap
Tak puas, Puan leburkan tafsir dirinya dalam sinar-Nya yang terkatup
Tapi, lagi-lagi yang tak berujung adalah jarak
Mungkinkah, meniti langkah itu perkara mudah?
Belum selesai, Puan biarkan tangan yang berbicara
Kiranya bisa menjadi pelipur lara
Meski semu sekali pun, tetap bernilai baginya
Puan biarkan mata yang meracau
Pikirnya dia telah menemukan maknanya
Kian hari Puan menemukan arti dekat
Berusaha abai pada isi kepala
Puan percaya dirinya meski tak pernah paham tentangnya
Entah berapa kata yang tak kunjung terucap
Entah berapa menit yang terbuang dalam dekap sunyinya
Puan merasa telah mendapat jawaban yang terlewatkan
Menakzimkan alam dan kuasa Tuhan
Puan menyelaraskan diri dengan berpasrah pada-Nya
Kepingan air mata yang tertumpah ruah
Dalam sujud kecup bersama kening
Puan tahu dirinya akan biarkan Dia yang menilai