[CERPEN] Rasanya Sesakit Itu

Rosita berbaring di kamar sambil menangis. Kesibukan di ruang tamu rumahnya begitu menyayat hati. Ia tidak menyangka bahwa rasanya akan begitu sakit.
"Lo baik-baik aja?"
Pesan itu masuk ke ponselnya. Itu pesan dari Yanti, sahabatnya. Yanti adalah orang pertama yang ia beri tahu tentang rencana lamaran adiknya, yang parahnya baru diberitahu oleh ayahnya seminggu sebelum acara.
"Sakit banget rasanya"
Rosita membalas pesan Yanti dengan air mata yang terus mengalir. Ia seakan tenggelam dalam lautan kesedihan yang dalam.
Anggap saja Rosita adalah kakak yang buruk karena tidak bisa bahagia atas lamaran adiknya. Namun apa yang sesungguhnya terjadi bisa menjadi alasan sakit hati yang dialami Rosita.
Lebaran kemarin, di usia Rosita yang kedua puluh sembilan, neneknya terus membahas soal pernikahan. Berulang kali bilang kalau Rosita sudah waktunya menikah. Sang nenek juga berniat menjodohkan Rosita dengan pria yang umurnya jauh di atasnya, membuat Rosita jengah karena sebenarnya dia masih ingin mengejar karir.
Belum berakhir urusan dengan neneknya, teman satu kantornya terus mengusiknya karena masih melajang. Rosita terus dianggap terlalu pemilih. Padahal, bagi Rosita, pernikahan adalah hal yang murni menjadi pilihannya, sekarang atau nanti. Lagipula, bukankah teman kantornya itu tidak ada urusan dengan kehidupan pribadi Rosita? Mengapa terlalu ikut campur? Toh, belum menikah bukanlah sebuah dosa.
Setelah semua itu, kabar bahwa adiknya punya kekasih yang ingin segera dinikahi, juga seakan menabur garam ke luka batinnya. Rosita semakin sakit.
"Sabar, ya, Ros! Gue nggak tahu harus ngehibur lo dengan cara gimana, tapi lo harus tahu kalau gue selalu ada buat lo. Sekarang lo tidur aja, nggak usah keluar kamar daripada lo sedih lihat rumah lo didekor buat lamaran adik lo," Yanti kembali mengirim pesan untuk menguatkan Rosita.
"Iya, thanks, ya."
Setelah membalas pesan Yanti, Rosita memutuskan untuk tidur, mencoba mengabaikan semua kesibukan di luar sana. Tapi sayangnya, perasaan tidak rela kembali menguar di benaknya. Ia ingat saat ayah dan ibunya ingin merenovasi rumah, Rosita ikut membantu biayanya, menyisihkan gajinya demi hunian yang layak untuk orangtuanya. Ternyata, setelah renovasi selesai, rumah itu digunakan untuk lamaran adiknya. Padahal orangtuanya tahu, betapa ia masih belum ikhlas kalau adiknya menikah lebih dulu.
Rosita mencoba memahami, bahwa jodoh murni urusan Tuhan. Ia mencoba lapang, tapi semua tidak semudah yang dikata orang. Rasanya sungguh sesakit itu.
Ting! Satu pesan kembali masuk ke ponselnya. Rosita pikir itu dari Yanti. Mungkin sahabatnya kembali mengirimkan pesan semangat untuknya.
"Kamu itu harus bersyukur, Ros. Kerja di bank, gajinya banyak. Kalau semisal adikmu nikah dulu, ya, harus ikhlas."
Seketika kata kasar keluar dari mulut Rosita setelah ia membaca pesan itu. Ia tak kuasa menahan kalimat caci maki yang ia tujukan pada pengirim pesan, sang nenek. Dia tahu dia salah, memaki orangtua sungguh perbuatan dosa. Dia tak akan membela diri. Tapi, sungguh, pesan singkat itu keterlaluan. Bukankah dulu beliau yang terus mengingatkan Rosita untuk cepat menikah? Bukankah beliau yang terus rusuh bilang usianya semakin tua di saat Rosita masih nyaman sendiri? Kenapa sekarang beliau seakan-akan menyalahkan Rosita yang sedih karena didahului menikah oleh adiknya?
Rosita berpikir, tak bisakah orang-orang di sekitarnya diam? Kalau tak bisa berempati lebih baik pura-pura tidak peduli. Kalau tidak bisa menjaga hati orang lain, tak perlu bersikap seakan peduli. Di kala hati Rosita rapuh seperti ini, ia tak perlu petuah, ia hanya perlu dikuatkan.
Rosita kembali mengetik sebuah pesan singkat kepada Yanti di tengah bahunya yang naik turun karena menangis.
"Rasanya sungguh sesakit itu."