[CERPEN] Revolusi Butuh Kamu, Coy

A heart that's full up like a landfill
A job that slowly kills you
Bruises that won't heal
You look so tired, unhappy
Bring down the government
They don't, they don't speak for us
I'll take a quiet life
A handshake of carbon monoxide
Lagu “No Surprises” dari lantunan suara Thom Yorke, vokalis grup musik Radiohead, mengalun pelan dari telepon seluler milik Usman. Setelah mencoba mencari dan mengingat, akhirnya dia temukan judul lagu yang didengarnya sore tadi di sebuah warung kopi pinggir lalan.
Usman teringat sahabatnya Gide yang telah dipanggil Yang Maha Kuasa, sekitar 8 tahun yang lalu. Hepatitis C yang menggerogoti tubuhnya, selama kurang lebih 13 tahun, akhirnya membuatnya harus kehilangan nyawa.
Lagu tadi, dulu biasanya sering mereka berdua dengarkan di kos Gide, setelah mengerjakan tugas kuliah dan tugas organisasi mereka. Segelas kopi dan berbatang-batang rokok, menemani mereka mendengarkan “No Surprises”.
Gide dan Usman sama-sama menggemari Radiohead, Usman semenjak SMA (Sekolah Menengah Atas) sudah mendengarkan lagu-lagu Radiohead seperti “Creep”, “High and Dry”, “Fake Plastic Trees”, dan lainnya. Selain itu, mereka, Usman dan Gide, juga kagum dengan sosok Thom Yorke, yang seorang aktivis sosial, kemanusiaan, dan lingkungan. Yang bersangkutan kerap dicari polisi, karena terlibat dalam berbagai protes.
Mereka bertemu dan menjadi akrab, pada hari pertama Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) Fakultas Filsafat UGM (Universitas Gadjah Mada). Mereka berdua kemudian tergabung dalam kelompok studi Ideologila, yang sering mendiskusikan berbagai tema sosial kerakyatan, terkadang agak kekiri-kirian.
Gide selain aktivis mahasiswa, ternyata juga seorang aktivis partai kiri, yaitu Partai Bintang Gerigi (PBG). Ia telah bergabung dengan partai itu semenjak masih di bangku Sekolah Teknik Menengah (STM). Nama lengkapnya, Andreas Gideamus, tapi ia lebih dikenal dengan nama panggilan, Gide.
Usman terkenang saat ia mengunjungi kamar kos Gide di pinggir jalan Gejayan. Di dalam kamar itu, di balik pintu kamar, tergantung kaos PBG. Kaos inilah yang dipinjamnya, dan dipakainya saat mengikuti Latsar DEMA (Dewan Mahasiswa) UGM, yang sedikit beda haluan dengan PBG.
Beberapa bulan setelah itu, akibat kegigihan Riar, aktivis PBG juga, yang mendatangi Usman dan mengajaknya berdiskusi di kamar kosnya, setiap hari, Usman akhirnya mengisi formulir Calon Anggota (CA) PBG, pada tahun 2000. Setelah itu, Usman ditugaskan menjadi anggota salah satu organisasi mahasiswa dan rakyat, yaitu Komite Pembebasan Mahasiswa dan Rakyat (KPMR).
Ketika KPMR dilebur ke dalam organisasi Liga Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi (LPMD), Usman ditugaskan untuk duduk di struktur pimpinan organisasi tersebut, di komisariat UGM. Akan tetapi, karena saat itu di Komisariat UGM, yang CA PBG, hanya dia dan Gide, maka tugas Usman jadi agak sulit, tambahan lagi, pada saat Koferensi Komisariat, Gide menghilang, entah ke mana. Untungnya, berkat kengototan Usman, Gide berhasil menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjend) LPMD Komisariat UGM, walaupun yang bersangkutan tidak mengikuti Konferensi.
Karena itulah, Usman memutuskan pergi ke Bekasi, mencari Gide dan menjemputnya, supaya bisa bertugas sebagai Sekjend LPMD Komisariat UGM. Walaupun sebenarnya, Usman sama sekali tidak tahu di mana rumah Gide di Bekasi, ia tetap nekat, naik kereta ekonomi dari Jogja ke Bekasi, guna mencari Gide.
Sesampainya di Bekasi, untungnya Gide sudah menunggu di stasiun kereta. Memang malam sebelumnya, Usman sudah menelpon Gide untuk mengabari bahwa ia akan ke Bekasi untuk menjemput Gide. Akan tetapi, Usman sebenarnya tidak begitu yakin, bahwa Gide akan mau ditemui. Tenyata sedikit agitasi dari Usman lewat telepon di bilik Wartel (Warung Telekomunikasi), tentang revolusi, membuat Gide berkenan untuk menunggunya di stasiun.
“Revolusi butuh kamu coy”, begitu kata-kata Usman untuk memompa semangat Gide.
“Ok coy[ Coy = Kawan, bahasa gaul masa itu.], kutunggu kamu di Bekasi ya”, jawab Gide dengan semangat.
Dengan menaiki bus umum, mereka menuju rumah Gide dari stasiun kereta. Di sana, Usman baru paham bahwa Gide ternyata sehari-harinya hanya di rumah bersama pembantu rumah tangga, perempuan, yang umurnya tidak beda jauh dengannya. Mereka terlihat sangat akrab. Selain itu, Gide, saat itu tengah hanyut dalam asap rokok daun jagung. Usman bahkan sempat ditawari, tetapi ia menolak, Usman tidak mau kecanduan, karena barang tersebut cukup langka dan sulit didapat. Ia memilih untuk merokok biasa saja.
Mereka kembali ke Jogja dengan menumpang kereta kelas bisnis, yang tempat duduknya lebih nyaman daripada kereta ekonomi. Usman jadi tertidur lelap dibuatnya, sehingga tidak sadar kalau dompetnya beserta isinya raib diambil pencuri, entah siapa orangnya. Anehnya tas Gide yang berisikan setengah kilo rokok daun jagung, aman tak disentuh oleh si pencuri.
Hal inilah yang membuat Usman sempat mencurigai Gide. Persahabatan mereka sempat menjadi renggang setelah itu. Tepatnya, setelah Gide menawari rekening banknya, sebagai rekening tujuan pengiriman uang dari orang tua Usman, yang biasanya mengirim beberapa bulan sekali.
Kali pertama, uang kiriman orang tua Usman, masih diberikan Gide padanya, kali kedua, Gide menyangkal bahwa orang tua Usman, sudah mengirimkan uang lewat rekeningnya. Padahal, uang tersebut, memang sudah dikirimkan oleh orang tua Usman, hanya saja Gide menggunakannya untuk membeli rokok daun jagung. Untungnya beberapa bulan kemudian, hubungan mereka membaik kembali, yaitu setelah Gide mengakui kesalahannya dan mengungkapkan niatnya, untuk mengembalikan uang milik Usman yang telah dipakainya tersebut.
Setelah itu, lama mereka tak bersua. Baru pada awal tahun 2003, mereka bertemu lagi. Saat itu, Gide terlihat lebih sering tersenyum lebar. Terkadang sering menyanyi dan berjoget sendiri.
Usman saat itu masih belum sadar, kalau Gide tengah mengalami problem kejiwaan yang cukup berat. Baru setelah Gide masuk penjara, karena melayangkan tinjunya pada personil Brimob (Brigade Mobil), yang sebelumnya menabraknya dengan motor trail, Usman paham, bahwa Gide ketika itu tengah depresi berat, akibat ulah calon istrinya, yang meninggalkannya untuk menikah dengan laki-laki lain.
Setelah keluar dari penjara, Gide menjadi sangat pendiam. Hanya mau bicara, kalau benar-benar perlu saja, atau untuk menjawab pertanyaan orang. Gide sempat memberi tahu Usman, bahwa dia saat itu menderita hepatitis C, sehingga tidak bisa untuk makan dan minum dengan piring dan gelas yang sama, bersama orang lain, karena akan menulari yang bersangkutan. Hebatnya, dalam kondisi tersebut, Gide berhasil lulus sarjana, dengan topik skripsi yang terbilang sulit, yaitu tentang filsafat matematika.
Setelah lulus, mereka, Usman dan Gide, tidak saling kontak lagi. Akan tetapi, saat Usman menempuh studi pascasarjana di kampus yang sama, ia sempat berbincang dengan Jono, teman seangkatannya di jenjang sarjana dulu. Jono yang orang Jogja, bilang bahwa temannya, yang kebetulan satu penjara dengan Gide, pernah memberi tahu dirinya, bagaimana kelakuan Gide di penjara.
Para penghuni penjara, ternyata menganggap Gide itu tidak waras. Menurut kesaksian teman Jono, Gide itu sudah kehilangan rasa malunya, selayaknya orang gila. Ketika ada biduan dangdut, yang bertubuh dan berpakaian seksi diundang menyanyi di penjara, Gide dengan santainya memelorotkan celananya dan masturbasi di depan orang banyak.
Hal inilah, yang membuat Usman berkesimpulan bahwa seharusnya Gide tidak dipenjara, karena dengan kondisi kejiwaannya tersebut, tindakan pemenjaraan terhadap Gide, adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum. Akan tetapi, sayangnya pihak keluarga Gide, memutuskan untuk tidak melayangkan gugatan untuk itu, khususnya setelah Gide bebas, setelah dipenjara selama beberapa bulan.
Pada tahun 2014, entah bagaimana, Usman bertemu lagi dengan Gide, di kampus tempat Usman mengajar sebagai dosen. Mereka mengobrol di kantin, sembari minum kopi, bersama teman Usman, yang juga dosen dan Kaprodi (Ketua Program Studi) di kampus tersebut.
“Aku ingin ikut kelasmu Man”, ucap Gide pada Usman, setelah mereka mengobrol cukup lama.
“Boleh saja kalau aku”, Usman kemudian bertanya pada Pak Herman, Kaprodi, yang mengobrol bersama mereka. “Bagaimana pak, boleh tidak?”.
“Silakan, tidak apa-apa kok”, jawab Pak Herman dengan ramah.
Akan tetapi, karena hari sudah malam, dan Gide ternyata ada keperluan mendadak, ia tidak bisa ikut kelas Usman, yang diselenggarakan malam hari. Setelah itu, mereka tidak berkomunikasi selama beberapa bulan.
Pada saat, Usman sedang bertugas sebagai Staf Ahli Legislatif, dalam sebuah rapat lembaga di sebuah hotel, Gide tiba-tiba menelepon. Usman tidak bisa mengangkat telepon sebenarnya, karena sedang bekerja, mencatat, untuk bahan laporan hasil rapat. Akan tetapi, setelah berkali-kali ditelepon, akhirnya Usman minta izin ke toilet, untuk mengangkat telepon Gide.
Di toilet, ia mencoba menjelaskan pada Gide, bahwa ia sedang bertugas dalam rapat legislatif. Gide tetap mendesak supaya mereka bisa bertemu, karena besoknya, ia harus pergi ke Medan, untuk mengobati penyakitnya yang sudah cukup parah.
Usman meminta maaf, karena tidak bisa memenuhi permintaan Gide. Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Setelah itu, Usman menutup telepon, dan kembali mengikuti rapat. Beberapa saat kemudian mata Usman mengalami pendarahan, pembuluh darah matanya pecah, akibat tekanan darahnya yang naik melebihi batas normal.
Keesokan harinya, Usman minta izin pulang ke Jogja, untuk berobat. Di sebuah kedai kopi di Bandara Halim, ia menelepon Gide.
“Coy, maaf aku tidak bisa bertemu kamu semalam, karena sedang bekerja, sekarang juga tidak bisa, aku harus pulang ke Jogja, pembuluh darah mataku pecah”. Begitu kata Usman pada Gide dalam telepon.
“Ya sudah coy, tidak apa-apa, kapan-kapan saja kalau ada kesempatan, kita bertemu lagi”, jawab Gide, dengan tidak bersemangat.
***
Dua tahun kemudian, bulan April tahun 2016, dari sebuah status media sosial teman Usman, Barid, ia mengetahui bahwa Gide telah meninggal dunia, dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Usman sangat sedih dan shock. Ia menyesal, tidak bisa bertemu Gide dua tahun yang lalu, sebelum yang bersangkutan pulang ke Medan.
Usman mengungkapkan rasa dukanya yang mendalam di status media sosial Barid. Ia kemudian termenung sendirian di kamar kosnya di Batam, mengenang persahabatannya dengan Gide.
“Maafkan aku ya De, belum bisa jadi teman yang baik untukmu, semoga Tuhan memberikan surganya untukmu ya coy”. Ucap Usman lirih.
Yogyakarta, 15 Mei 2024