Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sebuah Penantian

http://hdwallpapersrocks.com

Pagi ini terlihat biasa-biasa saja. Setelah membangunkan anak-anaknya agar bersiap pergi ke sekolah, Alyssa kembali ke kamarnya untuk mandi lalu membuat sarapan.

Ia melirik ke arah tempat tidurnya. Aldo tidak ada di sana. Sudah biasa. Aldo bahkan tidak pulang untuk beberapa hari ini.

Setelah hari-hari melelahkannya bekerja di kantor sekaligus mengurus dua anaknya yang masih kecil, Alyssa berharap sosok suami yang menghiburnya begitu ia sampai di rumah. Tapi, harapan tetap harapan. Suaminya belum muncul sejak kejadian dua minggu lalu.

Alyssa menghela napas berat mengingat kejadian tersebut. Aldo dikabarkan menggelapkan uang perusahaan sebesar lima belas miliar dan sampai sekarang keberadaannya tidak diketahui. Dia bahkan tidak pernah menghubungi Alyssa untuk sekadar menanyakan kabarnya setelah kepergiannya tersebut.

Alyssa tidak pernah menyangka kalau suaminya bisa berbuat seperti itu. Selama ini dia tidak pernah menyadari masalah apa atau urusan apa yang sedang dihadapi suami tercintanya itu. Alysaa merasa ia tidak mengenal suami yang telah hidup bersamanya selama delapan tahun itu dengan baik.

Aldo adalah sosok suami dan ayah yang hebat. Dia begitu sempurna di mata Alyssa. Alyssa begitu memujanya dan Aldo memang layak mendapatkan itu, sebelum kasusnya terbongkar. Alyssa jadi sering berbohong kepada anak-anaknya yang bertanya keberadaan ayahnya. Dan anak-anaknya juga merasa risih atas kehadiran para wartawan yang berjaga di depan rumah mereka.

Terdengar suara ketukan dari luar kamarnya. Alyssa menengok lalu dengan cepat menghapus air matanya yang dengan seenaknya turun dari pipinya. Ini tidak benar. Dia tidak seharusnya menangis saat keadaan sedang seperti ini. Dia harus menenangkan suasana. Lagi-lagi Alyssa menghela napas berat, seakan-akan beban seluruh umat manusia ditaruh di atas pundaknya.

“Ma..”

Alya. Itu adalah suara Alya, anak bungsunya. Suasana hati Alyssa berubah menjadi senang hanya dengan mendengar suara dari anaknya tersebut. “Ya, masuk aja.”

Pintu besar itu dengan perlahan bergerak ke dalam kamar. Kepala Alya melongok lalu dengan tersenyum riang memasuki kamar. Kucir kuda di kiri dan kanan kepalanya terlihat jelas bergerak-gerak.

Senyum Alyssa makin lebar mengetahui anaknya merupakan satu-dua hal yang paling berharga di dalam hidupnya. “Hai!” Alyssa langsung merentangkan kedua tangannya begitu Alya hampir sampai di dekatnya lalu memeluknya erat. “Sudah siap, nih? Pengen sarapan, ya?”

Alya tersenyum riang lagi. Ia mengangguk dengan penuh semangat. “Mama kelamaan. Bang Alvin sampai kecut, tuh mukanya.”

Alyssa balas tersenyum lalu memegang jemari kecil Alya seraya mengajaknya keluar dari kamar. “Emang iya? Masih pagi udah kecut? Gak asik banget ya bang Alvin.” Alyssa menyipitkan matanya lalu memasang wajah serius namun tetap tidak menyembunyikan senyuman di ujung bibirnya.

“Iya! Liat, tuh.” Alya menunjuk Alvin yang sudah duduk di meja makan dengan tas di bangku sebelahnya. Alya benar. Alvin duduk melamun dengan wajah yang sulit diartikan. Ia menatap piring yang kosong di depannya. Alyssa sulit membacanya, anak sulungnya ini sedang lapar atau sembelit?

Alyssa buru-buru menghampirinya, diikuti dengan langkah kecil Alya. “Hai, abang ganteng. Laper, ya?” Alvin menggeleng lemah. Alyssa makin mengernyitkan dahinya. “Jadi?”

“Alvin gak mau berangkat ke sekolah, ma.”

Napas Alyssa tertahan untuk sepersekian detik. Ia lalu menarik kursi ke sebelah Alvin. Alya terus asik memakan roti yang sebelumnya telah ia oleskan selai kacang. “Kenapa? Harus sekolah, dong.” Alyssa memaksakan untuk tersenyum. Alvin tidak pernah berniat membolos dari sekolah. Ini kali pertama Alyssa mendengarnya.

Alvin menatap wajah Alyssa. “Temen-temen Alvin bilang kalau mereka dilarang main sama Alvin. Alvin jadi gak punya temen.” Alvin membuang pandangannya dari Alyssa. Ia ganti menatap adiknya.

Alyssa meringis. Kekhawatirannya tentang hal ini akhirnya terjadi juga. “Alasan mereka apa ngejauh dari Alvin?”

Alvin mengangkat bahunya. Sungguh, Alyssa merasa lega setelah melihat jawaban Alvin. Karena dari dalam lubuk hati Alyssa, dia tidak ingin Alvin mengetahui masalah yang dialami oleh ayahnya. Jangan sampai anak-anaknya mendengar tentang hal ini.

“Alvin gak usah sedih. Harus tetap berangkat ke sekolah supaya jadi anak pintar. Alvin ke sekolah kan niatnya untuk menuntut ilmu, urusan teman itu urusan belakangan. Alvin kan ganteng dan baik, jadi pasti banyak yang mau berteman sama Alvin.” Alyssa mengusap rambut anak sulungnya itu sambil terus tersenyum.

“Bang Alvin temenan sama Alya aja. Ntar pas jam istirahat abang samperin Alya ke kelas trus kita istirahat bareng, deh.” Alya menjawab riang.

“Tuh, masih ada Alya, kok. Sekolah, ya. Mama bikinin omelette, deh.” Alyssa membujuk Alvin sekali lagi yang akhirnya dibalas dengan anggukan pelan.

***

Saya izin gak masuk hari ini, lagi kurang enak badan. Tolong sampaikan pada Pak Atmaja.

Pesan terkirim. Alyssa memijat pelipisnya. Urat-urat di dalam sana seperti mau keluar. Alyssa baru saja mengantarkan anak-anaknya berangkat ke sekolah.

Alyssa menyalakan televisi dan lagi-lagi ia melihat wajah suaminya. Pihak kepolisian masih terus mencari keberadaan Aldo. Alyssa langsung mematikan televisi yang sebelumnya menyala tadi.

Alyssa tidak habis pikir mengapa Aldo tidak pernah menceritakan hal ini sebelumnya. Tiba-tiba saja air mata Alyssa terjatuh lagi. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat rapuh untuk menanggung semua masalah yang dihadapinya.

Kring kring...

Alyssa melirik ponselnya. Ada yang menelepon dan tentu saja langsung diangkat oleh Alyssa. “Assalamualaikum..”

Hening.

“Assalamualaikum?” Alyssa berucap sekali lagi seraya mengernyitkan dahinya.

Lagi-lagi hening. Alyssa baru saja ingin memutuskan sambungan telepon tersebut tepat ketika orang di seberang sana berdeham lalu bersuara. “Waalaikumsalam.”

Deg.

Alyssa terkejut. Itu adalah suara Aldo.

Share
Topics
Editorial Team
Habibah Abdaliah
EditorHabibah Abdaliah
Follow Us