Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Tarian Harapan di Atas Tanah Gersang

Ilustrasi Sumur. (unsplash.com/Maxime Bouffard)
Ilustrasi Sumur. (unsplash.com/Maxime Bouffard)

Aruna, gadis 15 tahun dengan mata sebiru telaga, menatap sumur kering di belakang rumahnya. Sudah sembilan bulan hujan tak membasahi Desa Lembah Kuning. Ayahnya, yang biasa memanggilnya "Si Penari Hujan", meninggal setahun lalu saat mencari sumber air di bukit. Ibunya, Jasmin, terbaring lemah di kamar karena sakit paru-paru akibat debu gurun yang makin menjadi.

“Nak, jangan pergi ke bukit itu lagi,” batuk Jasmin suatu sore, memegang lengan Aruna yang penuh goresan. “Kau sudah jatuh tiga kali. Bahaya…”
Aruna menggigit bibir. “Tapi, Bu… sumur tetangga juga kering. Kita harus cari mata air, atau…”
“Allah punya rencana,” bisik Jasmin, tapi Aruna melihat keraguan di matanya.

Keesokan pagi, Aruna nekat pergi dengan kaleng kosong. Di tengah bukit, ia bertemu Kinar, teman sekelasnya yang sedang menggembala kambing kurus.
“Aru, lo masih percaya ada air di sini?” tanya Kinar sambil menunjuk tanah retak.
“Aku *harus* percaya,” jawab Aruna, menahan sedih. “Kata Papa dulu, di balik batu terpanas, ada tetes embun yang menunggu waktu.”

Tiba-tiba, angin kencang menerbangkan kerudungnya. Saat mengejar, kakinya terpeleset. Kaleng kosongnya menggelinding ke jurang. Aruna menjerit, lalu menangis tersedu-sedu di antara batu-batu gersang.

Malam itu, Aruna duduk di bawah pohon kering sambil memeluk foto ayahnya. “Papa, aku gagal. Bahkan berdoa pun terasa sia-sia…”
Tiba-tiba, suara parau terdengar. “Kau tahu kenapa pohon ini bertahan, Nak?”
Aruna terkejut. Raden Sastro, kakek tunanetra penjaga makam desa, berdiri dengan tongkatnya.
“Karena… akarnya dalam?”
“Bukan. Karena ia percaya musim kemarau takkan abadi.” Raden tersenyum. “Allah tak pernah lupa janji-Nya. Tapi manusia sering lupa *cara* menunggu.”

Dua hari kemudian, Jasmin semakin parah. Dokter dari kota bilang ia butuh udara lembap. Aruna berlari ke masjid, air matanya jatuh di sajadah usang. “Ya Allah, aku tak kuat lagi. Tapi… aku tahu Kau tak akan uji hamba melebihi kesanggupannya.”

Saat keluar, Kinar menunggu dengan gerobak tua. “Ayo, kita ke gua di bukit timur! Kata Raden, dulu ada sumber air di sana.”
“Tapi itu mitos…”
“Kalo nggak dicoba, mitos tetap mitos!”

Ditemani Raden yang membawa kompas tua, mereka menyusuri lorong gelap. Aruna mengulang-ulang doa ayahnya. Tiba-tiba, Kinar terpeleset. “Aru! Ada… ada suara air!”

Dari celah batu, tetesan jernih menetes. Aruna mengulurkan tangan, lalu menangis haru. “Ini… ini nyata!”

Malam itu, hujan turun deras pertama kali dalam setahun. Warga berteriak gembira, menari di bawah rintik. Jasmin terbangun, menghirup udara segar. “Rupanya… Allah menjawab doa kita di saat kita hampir berhenti berharap,” katanya sambil memeluk Aruna.

Di depan rumah, Raden Sastro tersenyum. “Lihat, Nak. Pelangi selalu lahir setelah badai. Tapi untuk melihatnya, kau harus bertahan sampai awan berlalu.”

Aruna kini sering menari di bukit hijau yang dulu gersang, persis seperti ayahnya. Ia tahu: putus asa itu seperti kabut—menutupi mata, tapi tak pernah bisa menghentikan matahari terbit.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ahmad Baihaqi Salam
EditorAhmad Baihaqi Salam
Follow Us