Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Di Kedai Kopi yang Selalu Pahit

pixabay.com
pixabay.com

Seharusnya aku tidak berada di sini. Di kedai kopi yang tidak pernah selamat dari orang-orang yang mencari kedamaian dalam kepahitan secangkir kopi. Terlebih aku merasa sangat menyesal mengajaknya ke tempat ini. Seorang laki-laki yang kehadirannya tidak pernah kurasakan didalam hati. Entah. Bukannya aku tidak mau mempersilakannya masuk, tetapi hati selalu punya caranya sendiri untuk memilih siapa yang boleh bertamu.

Dia tidak pernah menolak menemaniku di sini untuk sekadar berbagi kebisuan dan meneguk secangkir kopi. Sedangkan dia hanya memesan coklat panas dan bercerita tentang segala hal yang aku tidak mengerti. Banyak sekali yang aku tidak mengerti darinya, mulai dari cerita tentang beberapa partai politik yang sedang mengusung calon pemimpin yang baru, atau tentang nilai amnesti pajak di Indonesia. Tetapi aku selalu mendengarkan semua ceritanya.

Dia seorang pengacara yang berbakat. Sudah banyak kasus yang diselesaikannya, tapi dia tidak pernah bisa menyelesaikan kasus kekosongan dalam hatiku. Bahkan hanya untuk mengisinya saja, dia tidak bisa.

"Ordernya yang seperti biasa, Pak? Hot coffee latte dan hot chocolate?" waiters dikedai kopi itu mendatangi meja kami disebelah pojok dekat jendela dengan tidak membawa apapun karena sudah tau apa yang akan dipesan.

"Iya mbak seperti biasa". Dia menjawabnya dengan singkat. Aku selalu duduk menghadap jendela dan dia duduk di hadapanku. Dan seperti biasa, nada bicaranya tidak pernah sehangat chocolate yang dia minum. 

"Aku lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini, ada satu klien aku yang kasusnya berat. dan maaf aku belum sempet baca tulisan kamu yang di blog".  

"Iya gak papa."

"Jadi klien aku difitnah menggelapkan uang perusahaan, kamu tau nominalnya berapa? 50 Milyar." Dia terus bercerita, dan tidak menanyakan tujuanku mengajaknya kesini. 

"Hot coffee latte dan hot chocolate nya, Pak. Jika ada yang ingin dipesan lagi silakan panggil saya. Terima kasih." Waiters tadi sudah menghidangkan pesanan kami dengan sedikit basa basi. 

"iya, terima kasih, Mba"

"Oiya, tadi aku cerita sampe mana?"

"Emmmm, aku lupa. minum dulu hot chocolate-nya." Bahkan aku tidak menyimak dengan  baik semua perkataannya. Lalu dia mengangkat cangkir yang berisi hot chocolate itu dan langsung meminumnya sampai tersisa setengah.  

Tiba-tiba pandanganku terbagi ke meja disebelah kanan. Ada perempuan bertubuh kurus tinggi dan memiliki rambut panjang yang indah dengan laki-laki yang memakai kemeja biru dengan lengan kemeja yang digulung sampai sikut. Mereka terlihat begitu bahagia, mereka seperti menertawakan banyak hal yang sudah mereka lewati dan saling berbagi cerita satu sama lain. Tidak seperti aku yang hanya bisa mendengarkan saja tanpa diberikan kesempatan untuk menyampaikan apapun.

Sudah hampir satu jam, dan masih dengan cerita yang sama. Ragaku masih terlihat menemaninya disini, tapi aku memikirkan hal yang lain. Aku jadi ingat dengan semua cerita yang terpaksa aku akhiri waku itu, lelaki yang tidak pernah bosan membaca semua tulisan-tulisan di blog pribadiku dan selalu memberi tanggapan yang aneh tentang apa yang aku tulis. Dia tidak menyukai sastra sama seperti kebanyakan laki-laki lain, namun dia selalu berusaha untuk menyukainya.

Aku selalu bertukar banyak cerita dengannya, seperti tentang tulisan-tulisan di blog pribadiku atau tentang skripsi yang sedang membuatku pusing tujuh keliling saat itu. Dia juga melakukan hal yang sama, sekalipun ada beberapa cerita yang sepertinya masih dia simpan sendiri. Membicarakan pertandingan El Clasico adalah salah satu perdebatan yang paling menarik saat bertemu, dimana aku selalu membicarakan tentang kehebatan Messi di Barca dan dia selalu menjagokan CR7 di klub kesayangannya Madrid.

Namun cerita itu tidak sempurna. Aku menyadarinya saat aku melihatnya dengan perempuan lain, mungkin perempuan itu adalah kekasihnya atau mungkin sama sepertiku yang bukan siapa-siapa. Bagaimana mungkin hati ini sudah dijatuhkan tanpa memiliki satu sama lain, memiliki yang diartikan sebagai ikatan sepasang kekasih. Aku menyerah atau mungkin aku sudah kalah, aku hanya ingin untuk mengakhiri semuanya tanpa berpikir apakah aku bisa mengusirnya dari dalam hati ini atau tidak. Sampai akhirnya aku bertemu dengan laki-laki ini yang duduk bersamaku di kedai kopi ini. 

"Kopi kamu udah dingin tuh".  katanya sambil meneguk hot chocolate terakhirnya dan mengagetkan aku yang sedang memikirkan banyak hal. 

"Ya.. aku. mmm kepala aku sakit, aku mau pulang." Jawabku yang terlalu gugup, kemudian mengambil cangkir kopi dan meneguknya walau sudah dingin.

"Yaudah kalo gitu, aku anterin kamu pulang dan kamu harus istirahat ya... jangan begdang terus" katanya sambil tersenyum dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum juga.

Mungkin ini salah, dengan membiarkan seseorang hadir tanpa memastikan terlebih dahulu apakah seseorang itu mampu mengisi kekosongan yang ada atau tidak. Atau aku terlalu banyak salah melangkah? Mencintai tanpa memiliki satu sama lain, atau dekat tapi tidak saling mengikat?

Aku masih mencintainya.

Share
Topics
Editorial Team
Piani
EditorPiani
Follow Us