Escapism: Kabur dari Kenyataan dan Berlindung dalam Fantasi

Mekanisme coping stres atau tanda penyakit mental?

Pernah berandai-andai punya kekuatan super supaya bisa menghilang dari kehidupan? Atau apakah kamu pernah kepikiran untuk tinggal di suatu tempat di mana nggak seorang pun mengenalmu? Jika iya, tandanya kamu sedang mengalami escapism

Ketika menghadapi situasi yang sulit, sebagai manusia, kita tentunya memiliki kemungkinan untuk lari dari situasi atau orang-orang tertentu agar terbebas dari perasaan stres dan tertekan. Escapism adalah kecenderungan seseorang untuk melarikan diri (escape) dari kenyataan (Jouhki dan Oksanen, 2022).

Menurut beberapa penelitian, escapism tergolong jenis mekanisme coping stres yang berfokus dalam mengendalikan emosi negatif (emotional focused coping). Dengan kata lain, escapism bisa dibilang adalah suatu teknik pelarian agar kita bisa bebas dari perasaan stres tanpa harus mengatasi penyebab stres itu sendiri. 

Amanda Perl, dalam artikelnya berjudul "Anxiety and Escapism: A Post-Traumatic Stress Disorder" berpendapat kalau escapism sebenarnya adalah jenis coping yang tidak sehat. Dalam kasus maladaptif, escapism membuat kita menciptakan fantasi kehidupan lain dalam pikiran, yang mana dalam kehidupan itu kita terbebas dari emosi negatif seperti stres, cemas, gelisah dan sejenisnya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang escapism, simak ulasan dan penjelasan berikut ini, ya.

1. Penyebab escapism

Escapism: Kabur dari Kenyataan dan Berlindung dalam Fantasiilustrasi stres (pexels.com/katsmith)

Escapism muncul sebagai reaksi pertahanan diri untuk menjauh dari hal-hal yang sifatnya tidak menyenangkan. Contohnya begini, kita akan merasa tertekan dan cemas setiap kali bertemu dengan permasalahan yang kita merasa tidak mampu menanganinya.

"Duh, stres banget. Ini aja belum selesai tapi udah muncul masalah baru lagi. Aaaaaa bodo amat! Pengen ngilang aja rasanya, capek!"

Karena tidak tahan dengan rasa stres dan depresi, escapist memilih untuk lari dari masalah dengan mencari distraksi, yaitu menciptakan imajinasi kehidupan seperti kutipan di atas—berharap dirinya menghilang.

Bentuk lain dari escapism yang sering terjadi tanpa sadar yaitu lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial dan/atau game online daripada di kehidupan nyata. Escapist menjadikan media sosial sebagai tempat pelarian dari masalah di kehidupan nyata karena di sana menawarkan kenyamanan sehingga merasa bebas dari perasaan negatif.

2. Escapism dalam level adiksi

Escapism: Kabur dari Kenyataan dan Berlindung dalam Fantasiilustrasi terjebak dalam ilusi (pexels.com/zacharydebottis)

Escapism mungkin terdengar wajar. Namun, apabila terus-terusan dilakukan setiap kali menghadapi masalah, apakah itu baik? 

Escapism bisa menjadi lawan dari mindfulness. Ketika memilih untuk mencari pelarian, bisa jadi kita sebenarnya sedang mengalami denial atas apa yang menimpa kita.

Escapism membuat kita seolah baik-baik saja tanpa perlu berusaha untuk mengatasi masalah yang terjadi. Apabila telah menjadi kecanduan melalui bentuk-bentuk pelarian yang buruk, seperti suka menunda-nunda, terpaku pada media sosial sampai bahkan pada level lebih tinggi, yaitu narkoba dan alkohol, escapism sebaiknya mulai dihentikan.

Baca Juga: Ketahui Masalah Kesehatan Mental dengan metode RTT

3. Dampak keberlanjutan

Escapism: Kabur dari Kenyataan dan Berlindung dalam FantasiMencari pertolongan (pexels.com/helenlee)

Menggunakan internet sebagai tempat pelarian terlalu sering dapat memicu kesepian yang dapat disertai gangguan kompulsif. Misalnya, saat sedang sedih, escapist yang kesepian di dunia nyata akan berusaha mencari pelampiasan di media sosial. Sementara itu, seseorang yang normalnya tidak teradiksi dengan escapism, dalam situasi serupa akan memilih untuk menjalin interaksi secara langsung (face-to-face).

Ada beberapa studi yang menyebutkan bahwa escapist rentan mengalami depresi. Ini karena alih-alih mengatasi masalah yang membuatnya stres, escapist justru lebih memilih menghindarinya dengan mencari pelarian. Usaha itu mungkin akan berhasil mengusir stres dan rasa cemas, tetapi sifatnya hanya sementara. Emosi negatif itu tetap ada dan malah akan berubah menjadi gejala depresif jika terlalu lama menetap dalam diri seseorang. 

4. Unhealthy escapism vs productive escapism

Escapism: Kabur dari Kenyataan dan Berlindung dalam FantasiLonely(freepik.com/wirestock)

Berdasarkan sebuah penelitian pada tahun 2021, dalam kepribadian masing-masing orang, escapism memiliki tingkat/level yang berbeda-beda. Pada level tinggi, escapism dapat memicu gangguan mental seperti depresi berkepanjangan (unhealthy escapism).

Sebaliknya, pada level rendah, escapism ternyata dapat memunculkan kebiasaan baik yang bermanfaat (productive escapism)

1. Unhealthy escapism

Escapism yang sifatnya negatif ini dapat muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: 

  • Procastinating (menunda-nunda): Sifat menunda-nunda disebabkan karena escapist mencoba untuk menghindar dari perasaan negatif yang muncul setiap kali kembali untuk menghadapi suatu masalah. 
  • Denial (penyangkalan) dan psikosis: Dalam contoh kasus depresi setelah kematian orang tercinta, escapist yang masih pada fase denial akan menciptakan ilusi di kepalanya seolah kenyataan pahit tentang kematian orang itu hanyalah sebuah mimpi. Hal itu biasanya sudah merujuk pada gejala psikosis, yaitu suatu keadaan ketika seseorang telah terdistorsi sehingga sulit membedakan antara ilusi dan kenyataan. 
  • Addiction (kecanduan): Narkoba dan alkohol adalah tipe pelarian paling berbahaya dari escapism. Walau begitu, bentuk-bentuk pelarian lain seperti media sosial, game online, pergaulan bebas dan hal-hal lain yang juga berpotensi menimbulkan kecanduan juga sebaiknya dihindari karena dapat berdampak buruk pada kualitas hidup. 

2. Productive escapism 

Tipe escapism yang mendatangkan manfaat umumnya dapat berbentuk sebagai berikut: 

  • Membaca buku pengembangan diri.
  • Berolahraga.
  • Meditasi.
  • Berkebun.
  • Berkumpul dengan keluarga dan teman-teman terdekat.

Productive escapism berfokus pada bentuk pelarian yang sifatnya membangun. Jadi, kalau sudah kembali dari pelarian itu, kita akan memiliki energi positif dan motivasi untuk menyelesaikan masalahmu yang sebenarnya. 

5. Cara menghentikan escapism untuk kembali pada realitas

Escapism: Kabur dari Kenyataan dan Berlindung dalam Fantasiilustrasi menemukan jalan pulang (pexels.com/moeid)

Pertama, kenali dulu sebenarnya kita mencoba kabur dari hal apa atau siapa.

Kedua, dalam situasi macam apa kita selalu ingin kabur?

Ketiga, apa saja yang bisa menjadi pemicu situasi yang ingin kita hindari?

Keempat, bagaimana perasaan kita setelah kembali dari pelarian?

Dengan menjawab empat pertanyaan di atas, tingkat kesadaran kita untuk melihat masalah dari sudut pandang objektif akan makin terasah. Jadi, pada momen saat berhadapan kembali dengan masalah tersebut, kita akan mulai bertindak rasional dan tidak lagi menjadi escapist

Sering kali, kita melarikan diri karena merasa malu, takut, marah atau karena merasa gagal dalam memenuhi suatu ekspektasi. Dalam keadaan seperti itu, lebih baik berikan diri kita jeda untuk beristirahat, terutama dari media sosial.

Pilihlah bentuk escapism positif yang mendatangkan manfaat. Jika merasa gejala escapism yang kamu alami sudah melampaui ambang normal dan mengarah pada gangguan mental, jangan ragu untuk meminta bantuan tenaga ahli, ya!

Baca Juga: Dismissive Avoidant Attachment, Masalah Keterikatan dalam Hubungan

Malinna Photo Writer Malinna

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya