Benarkah Kita Tidak Bisa Berbicara jika Kehilangan Lidah?

Pada kondisi medis tertentu, kita bisa saja kehilangan lidah. Entah karena kanker, penyakit lain, maupun kecelakaan dapat memaksa manusia untuk memotong salah satu organ penting di mulut kita ini, entah itu sebagian ataupun seluruhnya. Dengan pernyataan tersebut, tentunya ada satu pertanyaan besar yang timbul di pikiran kita, yakni apakah kehilangan lidah akan mempengaruhi hidup manusia, khususnya dalam hal berbicara?
Ternyata ada sejumlah fakta di balik pertanyaan ini. Mulai dari pandangan ahli hingga pengalaman langsung dari orang-orang yang sudah menjalani operasi pemotongan lidah bisa jadi rujukan bagi kita untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Nah, kali ini, yuk, kita cari tahu soal pengaruh kehilangan lidah terhadap kehidupan manusia. Langsung simak ulasan lengkapnya di bawah ini, ya!
1. Anatomi dan sederet fungsi lidah

Sebelum membahas soal dampak dari pemotongan atau kehilangan lidah pada manusia, baiknya kita ketahui lebih dulu soal anatomi dan apa saja fungsi-fungsi lidah. Organ ini merupakan sekumpulan otot dan saraf yang tidak memiliki tulang sama sekali. Akan tetapi, pangkal lidah tersambung dengan sebuah tulang bernama hyoid yang terletak pada bagian tengah leher manusia.
Dilansir Cleaveland Clinic, warna merah muda yang ada pada lidah disebabkan oleh lapisan mukosa. Secara umum, lidah terbagi atas enam bagian yang berbeda, yaitu badan lidah, dorsum lidah, ujung dan tepi lidah, bawah lidah, punggung lidah, serta pangkal lidah. Masing-masing bagian tersebut memiliki bagian lain lagi serta fungsi yang berbeda-beda.
Badan lidah terdiri atas dua per tiga dari total keseluruhan panjang lidah. pada bagian ini terdapat dua bagian lain, yakni tepi dan punggung lidah. Kemudian, ada dorsum lidah. Bagian ini terletak di antara badan lidah dengan pangkal lidah yang ditandai dengan garis cekungan yang disebut sulkus terminalis.
Tepi dan ujung lidah bisa disebut juga dengan nama apex. Bagian ini terletak pada ujung depan dan sisi-sisi lidah. Dari bagian-bagian yang lain, tepi dan ujung lidah inilah yang paling fleksibel. Bergerak ke kiri, kanan, atas, maupun bawah dapat dilakukan dengan mudah. Bagian bawah lidah berfungsi untuk mengarahkan dan mengarahkan makanan menuju tenggorokan ketika makan. Selain itu, bawah lidah bisa juga memindahkan air liur.
Bagian punggung lidah disebut sebagai papilae yang terlihat memiliki bintik-bintik kecil sehingga membuat tekstur unik pada lidah. Nah, papilae kemudian terbagi lagi pada beberapa bagian. Filiform pada bagian tepi, foliate pada bagian tengah, fungiform pada bagian depan, dan circumvallate pada bagian belakang.
Terakhir, bagian pangkal lidah terletak pada ujung rongga mulut yang membuatnya tak bisa dilihat dari luar mulut. Bagian ini punya proporsi sekitar sepertiga dari keseluruhan panjang lidah. Ia merupakan bagian dari orofaring yang juga mencakup dinding tenggorokan, amandel, serta langit-langit lunak.
Kita tentunya sudah tahu betul kalau lidah merupakan organ tubuh yang bertanggung jawab untuk indera pengecap. Manis, asin, pahit, asam, dan umami atau gurih jadi lima rasa utama yang bisa lidah kita identifikasi. Pada dasarnya, lidah mampu mengecap rasa karena adanya ribuan sensor kecil pada bagian papilae yang disebut kuncup perasa atau taste buds. Dilansir Columbia University, tiap kuncup perasa ini terdiri atas 50—100 sel perasa yang mengandung molekul bernama reseptor. Nantinya, rasa yang terkecap oleh lidah akan langsung menuju otak karena lidah langsung terhubung dengannya.
Selain untuk mengecap rasa dari hal-hal yang masuk ke mulut, lidah juga memiliki berbagai fungsi lainnya. Seperti yang sudah disebutkan, lidah membantu proses menelan makanan yang sudah dikunyah agar bisa menuju tenggorokan. Bagi bayi, otot-otot pada lidah pun berfungsi untuk membantunya saat sedang menyusu pada ibunya. Kemudian, pada sistem pernafasan pun lidah juga memiliki peran karena membantu jalur nafas tetap terbuka sehingga kita dapat tetap bernafas dengan baik.
Tak berhenti sampai di situ, lidah pun juga membantu kita saat berkomunikasi. Sebab, berkat organ inilah kita bisa mengeluarkan suara vokal yang jelas sehingga bisa dikenali dengan baik. Nah, dari fungsi inilah pertanyaan utama muncul. Jika kita terpaksa kehilangan lidah karena suatu kondisi, apakah kita jadi sulit atau bahkan tidak bisa berbicara?
2. Apakah pemotongan lidah berpengaruh besar pada kemampuan berbicara?

Secara garis besar, manusia bisa kehilangan lidah karena dua faktor. Pertama, kondisi kecacatan dimana seseorang terlahir tanpa lidah. Kedua, harus menjalani operasi pemotongan lidah karena kondisi medis tertentu. Pada faktor kedua itu, operasi pemotongan lidah disebut juga dengan nama glosektomi merupakan salah satu langkah yang terpaksa dilakukan oleh penderita kanker lidah. Tentunya ada sejumlah dampak yang dirasakan oleh orang-orang yang telah menjalani operasi ini.
Beberapa wawancara telah dilakukan untuk menjawab sejumlah pertanyaan pasca manusia kehilangan lidahnya. Jawaban mereka pun cukup identik antara satu sama lain. Kate Brown, misalnya, ketika diwawancara oleh UCSF Health, ia menjabarkan kalau pada fase awal pascaoperasi glosektomi, ia sangat kesulitan untuk mengonsumsi makanan, terutama yang berbentuk cairan. Selama beberapa bulan setelah operasi, ia harus memperoleh nutrisi dari selang sebelum mulai belajar makan dan minum dari yang paling cair hingga padat.
Kate juga menjelaskan kalau ia mengalami kesulitan berbicara pascaoperasi. Ia membutuhkan bantuan alat yang bisa membantu gema suara pada awalnya, namun perlahan ia turut belajar untuk berbicara secara normal.
Contoh kasus lain adalah Jeannie Hopper yang mengalami kanker oral sehingga terpaksa harus kehilangan setengah bagian lidahnya dan menambahkan alat yang disebut arm-tongue. Dalam wawancaranya bersama MD Anderson, ia turut menjelaskan kalau pada awalnya sangat sulit untuk makan secara normal dan harus menjalani terapi secara perlahan, mirip seperti kasus Kate Brown.
Setelah operasi pun Jeannie mengungkapkan bahwa ia menjadi agak cadel. Biarpun demikian, secara umum dirinya masih dapat berbicara dengan normal. Bahkan, ia masih dapat mengajar dan melakukan presentasi dengan baik walaupun telah kehilangan sebagian dari lidahnya.
Cerita terakhir berasal kasus manusia tanpa lidah sejak lahir. Namanya Kelly Rogers, seorang penderita aglosia bawaan yang artinya ia tidak memiliki lidah sejak lahir. Kondisi ini terbilang sangat langka karena saat ia menceritakan kisahnya pada The Guardian pada 2017 silam, baru ada 11 kasus yang tercatat secara resmi.
Dalam penuturannya, Kelly menjelaskan bahwa sebenarnya ia cukup beruntung karena dirinya tak kehilangan kemampuan bicara. Padahal, seharusnya orang-orang dengan kondisi ini sulit untuk berbicara secara normal. Selain itu, jalur pernafasan dan pencernaannya bisa berfungsi secara normal sehingga dirinya sama sekali tidak mengalami kendala, meski tak memiliki lidah sama sekali.
Dari kisah-kisah di atas, kita mendapatkan gambaran kasar soal apa dampak dari absennya lidah dari dalam mulut kita. Kehilangan kualitas dalam mengonsumsi makanan, bernafas, hingga berbicara ternyata memang bisa terjadi pada orang-orang yang mengalaminya. Akan tetapi, khusus pada bagian sulit berbicara, bukan berarti kita tidak bisa berbicara sama sekali setelah kehilangan lidah. Kita "hanya" jadi kesulitan untuk mengeluarkan huruf-huruf vokal tertentu.
Hal ini diperkuat dengan temuan pada jurnal berjudul, "An Amputated Tongue—The Consequences of a Human Bite" karya Constance Hardwick, Alice Cameron, dan James Puryer. Dituliskan bahwa beberapa pasien yang lidahnya sudah menjalani operasi merasa kesulitan berbicara, terutama menjadi cadel. Jadi, bukan berarti manusia akan kehilangan kemampuan berbicara secara utuh, melainkan menjadi sulit untuk berbicara ketika kehilangan lidah.
3. Penyakit-penyakit yang bisa diderita lidah

Kita sudah tahu soal pertanyaan utama dalam pembahasan ini. Lantas, sebenarnya pada kondisi apa saja manusia bisa kehilangan lidahnya? Beberapa di antaranya tentu sudah disebutkan sebelumnya, yakni kondisi langka karena terlahir tanpa lidah dan kanker yang menjangkiti lidah. Sebenarnya ada beberapa penyakit lain yang bisa lidah kita alami, walaupun tak semuanya akan mengakibatkan lidah harus dipotong.
Dilansir Healthline, ada penyakit yang disebut herpes Stomatitis. Penyakit herpes pada bagian oral ini berasal dari herpes simplex virus atau HSV-1 dan menyebabkan luka dingin pada lidah hingga menyebabkan gejala penyakit lain, semisal sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kepala, mual, demam, sampai nyeri-nyeri. Penyakit ini umumnya diderita anak-anak di bawah usia 6 tahun, tetapi juga bisa menjangkiti orang dewasa.
Kemudian, ada atrophic glossitis, sebuah penyakit dimana lidah kehilangan papila-nya sehingga lidah akan terasa halus. Dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah kehilangan indera pengecap rasa pada makanan, rasa terbakar, sakit, sampai mati rasa pada bagian lidah. Ada berbagai penyebab dari atropic glossitis, semisal kekurangan nutrisi, infeksi helicobacter pylori, hingga kekurangan air liur.
Selain dua contoh tersebut, ada pula berbagai penyakit lain yang bisa dirasakan lidah kita. Misalnya saja, macroglossia, penyakit kawasaki, sariawan, lidah pecah-pedah, maupun leukoplakia. Penyakit-penyakit ini tentu bisa diperiksakan pada dokter ahli supaya bisa ditangani dengan baik.
Jadi, kehilangan lidah tak berarti manusia menjadi tak bisa berbicara sama sekali. Memang pada dasarnya akan ada sejumlah efek yang dirasakan orang-orang yang kehilangan lidahnya, baik sebagian maupun seluruhnya. Akan tetapi, orang-orang tersebut pun membuktikan kalau kemampuan adaptasi manusia tetap sangat luar biasa sehingga dengan terapi dan latihan yang memadai, mereka bisa mengatasi kekurangan yang dimilikinya akibat kehilangan lidah.
Referensi
St. Joseph's Healthcare. "Major Glossectomy Surgery". Diakses pada Agustus 2024.
Hardwick C, Cameron A, Puryer J. An Amputated Tongue—The Consequences of a Human Bite. Reports. 2020; 3(3):19.
DW. "Stroke: When you lose your mother tongue". Diakses pada Agustus 2024.
Medical News Today. "Life after tongue cancer surgery: What to expect". Diakses pada Agustus 2024.