Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Efek Samping Penggunaan Antidepresan Jangka Panjang

ilustrasi antidepresan (pexels.com/Anna Tarazevich)
ilustrasi antidepresan (pexels.com/Anna Tarazevich)
Intinya sih...
  • Dalam beberapa kasus, beberapa pasien mungkin disarankan untuk menggunakan antidepresan dalam jangka panjang atau bahkan tanpa batas waktu.
  • Jika kamu diresepkan antidepresan untuk jangka waktu lama, ketahui dan diskusikan bersama dokter mengenai potensi efek sampingnya.
  • Waspadai gejala putus obat, kenaikan berat badan, disfungsi seksual, masalah pada toleransi respons obat, masalah regulasi gula darah, dan pikiran untuk bunuh diri.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Antidepresan adalah obat resep meredakan gejala depresi dan kecemasan. Contohnya adalah SSRI seperti fluoxetine dan SNRI seperti duloxetine. Meskipun antidepresan mungkin tidak menyembuhkan depresi, tetapi penggunaannya dapat mengurangi gejalanya.

Awalnya digunakan untuk mengobati gangguan depresi mayor, antidepresan kini dapat digunakan untuk mengelola gejala berbagai kondisi kesehatan, termasuk gangguan makan, gangguan bipolar, gangguan kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan hiperaktivitas defisit perhatian (ADHD), neuropati, dan nyeri kronis.

Antidepresan bekerja dengan meningkatkan neurotransmitter di otak. Para ahli percaya bahwa zat kimia otak ini bertanggung jawab atas perubahan suasana hati dan perilaku.

Kalau diresepkan antidepresan dan merasa lebih baik setelah mengonsumsinya, kamu mungkin bertanya-tanya berapa lama harus menggunakan obat ini atau apakah menghentikannya.

Secara umum, penggunaan antidepresan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor: jenis obat yang diresepkan, dosis, frekuensi episode gejala, dan risiko kambuh.

Perawatan dengan antidepresan umumnya berlangsung setidaknya 6 bulan setelah pasien mulai merasa lebih baik. Beberapa orang dengan depresi berulang mungkin disarankan untuk menjalani terapi antidepresan dalam jangka panjang atau bahkan mungkin tanpa batas waktu.

Jika kamu diresepkan antidepresan untuk jangka waktu lama, ketahui dan diskusikan bersama dokter mengenai potensi efek sampingnya.

Menurut sebuah studi, 85 persen kualitas hidup orang membaik setelah mengonsumsi antidepresan. Namun, meskipun banyak pasien merasakan manfaatnya, tetapi tidak sedikit juga yang merasa terganggu oleh efek samping yang dirasakan, termasuk gejala putus obat (withdrawal), disfungsi seksual, penambahan berat badan, mati rasa secara emosional, kecanduan, dan pikiran untuk bunuh diri.

Di bawah ini akan dibahas beberapa risiko mengonsumsi antidepresan.

1. Putus obat

Dalam studi tahun 2016, sekitar 74 persen orang mengatakan mereka menderita gejala putus obat dan membutuhkan lebih banyak informasi dan dukungan untuk menghentikan penggunaan antidepresan.

Beberapa mengatakan mereka tidak akan pernah mengonsumsi antidepresan jika mereka tahu tentang efek putus obat. 

Gejala putus obat antidepresan dapat terjadi apabila kamu tiba-tiba menghentikan penggunaannya, terutama jika obat ini telah dikonsumsi selama lebih dari empat hingga enam minggu.

Gejala antidepressant withdrawal terkadang disebut sindrom penghentian penggunaan antidepresan (antidepressant discontinuation syndrome) dan biasanya berlangsung selama beberapa minggu.

Antidepresan tertentu lebih mungkin menyebabkan gejala penghentian penggunaan daripada yang lain. Obat-obatan yang dipecah (dimetabolisme) dengan cepat oleh tubuh lebih mungkin menyebabkan gejala putus obat antidepresan daripada yang lain.

SSRI dan SNRI adalah antidepresan yang paling mungkin menyebabkan gejala putus obat. Antidepresan dengan risiko putus obat yang tinggi yaitu: desvenlafaxine, fluvoxamine, paroxetine, dan venlafaxine.

2. Disfungsi seksual

ilustrasi disfungsi seksual (unsplash.com/Maksym Tymchyk 🇺🇦)
ilustrasi disfungsi seksual (unsplash.com/Maksym Tymchyk 🇺🇦)

Disfungsi seksual umumnya dikaitkan dengan penggunaan antidepresan dalam jangka panjang. Ini dapat berdampak buruk pada hubungan, kesehatan mental, dan pemulihan.

Beberapa orang mungkin memilih untuk menerima masalah seksual ini karena manfaat lain yang dirasakan dari penggunaan antidepresan. Jika tidak mau, konsultasikan dengan dokter tentang kemungkinan perubahan dosis atau jenis obat.

Bersikap jujur tentang kekhawatiran akan menghasilkan penilaian yang lebih baik terhadap kondisi, sehingga menghasilkan perawatan yang lebih baik.

Intervensi nonfarmakologis seperti terapi seks, terapi perilaku kognitif, dan pengobatan homeopati dapat dipertimbangkan.

3. Kenaikan berat badan

Penggunaan antidepresan yang berkelanjutan dikaitkan dengan penambahan berat badan. Jumlah bobot yang naik ini dapat bervariasi pada setiap kasus.

Antidepresan trisiklik dan inhibitor monoamine oksidase generasi lama lebih mungkin menyebabkan penambahan berat badan pada pasien dibandingkan dengan SSRI yang baru, tetapi secara umum, antidepresan telah terbukti berkontribusi terhadap masalah kesehatan jangka panjang, seperti obesitas.

Studi menunjukkan risiko jangka panjang kenaikan berat badan akibat antidepresan yang mengubah reseptor serotonin bisa secara signifikan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, kemungkinan karena perbedaan dalam cara penggunaan serotonin.

Jika kamu sedang menjalani perawatan dengan antidepresan dan mengalami kenaikan berat badan yang tidak diinginkan, bicarakan dengan dokter tentang penyesuaian apa pun yang dapat dilakukan pada pola makan atau program olahraga untuk mengatasi penambahan berat badan.

4. Masalah pada toleransi respons obat

ilustrasi minum obat TB (pexels.com/Michelle Leman)
ilustrasi minum obat TB (pexels.com/Michelle Leman)

Beberapa orang mungkin mengembangkan toleransi terhadap efek antidepresan dari waktu ke waktu, sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai manfaat terapeutik yang sama.

Istilah farmakologis yang digunakan untuk penurunan progresif sebagai respons terhadap dosis obat adalah takifilaksis (tachyphylaxis), dan penelitian menunjukkan ini memengaruhi 9 hingga 33 persen pengguna antidepresan.

Peningkatan dosis antidepresan dapat menyebabkan kecanduan/ketergantungan fisik pada pasien, dengan 45 persen dalam studi tahun 2016 meyakini bahwa mereka memiliki tingkat kecanduan tertentu.

Sebagai alternatif untuk meningkatkan dosis, dokter mungkin mengganti antidepresan lain dengan mekanisme kerja yang berbeda.

5. Pikiran bunuh diri

Pikiran untuk bunuh diri merupakan risiko jangka panjang dari penggunaan antidepresan, dengan sebuah penelitian menunjukkan bahwa 36 persen pasien mengalami pikiran untuk bunuh diri selama pengobatan.

Pikiran untuk bunuh diri biasanya muncul pada awal pengobatan antidepresan, dengan orang dewasa muda sebagai kelompok yang paling berisiko.

Jika kamu memiliki pikiran untuk bunuh diri, segera hubungi orang terdekat, profesional medis, atau hubungi hotline pencegahan bunuh diri dan layanan kesehatan mental melalui layanan SEJIWA pada nomor 119 ext 8, atau bisa juga lewat WhatsApp di nomor 0813 8007 3120.

6. Efek pada gula darah dan diabetes

ilustrasi minum obat (pexels.com/Artem Podrez/)
ilustrasi minum obat (pexels.com/Artem Podrez/)

Ada beberapa penelitian yang telah mencatat hubungan antara penggunaan antidepresan dan masalah regulasi gula darah, termasuk diabetes tipe 2.

Sebuah tinjauan sistematis dalam jurnal Diabetes Care edisi 2013 meneliti hubungan ini. Para peneliti mengamati 22 penelitian, termasuk beberapa penelitian dengan peserta lebih dari 4.000 orang. Temuannya:

  • Antidepresan dapat memperburuk kontrol gula darah karena dapat menyebabkan kenaikan berat badan yang signifikan.
  • SSRI dan nortriptyline ​​dilaporkan memperburuk kontrol gula darah pada pasien diabetes.
  • Antidepresan trisiklik menyebabkan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) pada manusia.
  • Pada tikus, antidepresan trisiklik menyebabkan kondisi yang disebut hiperinsulinemia, yaitu saat darah mengandung terlalu banyak insulin dibandingkan dengan jumlah gula.

Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menentukan apakah antidepresan meningkatkan risiko diabetes pada orang yang tidak mengidapnya saat mereka mulai mengonsumsi obat tersebut.

Tim peneliti menyimpulkan bahwa beberapa antidepresan memengaruhi regulasi gula darah dan obat tersebut dapat menjadi faktor risiko diabetes. Namun, penelitian yang lebih besar dan lebih baru yang mereka teliti menunjukkan bahwa risikonya kecil.

Namun, mereka mengatakan bahwa dosis yang lebih tinggi tampaknya terkait dengan risiko yang lebih besar. Selain itu, dalam beberapa kasus, orang yang terkena diabetes tipe 2 saat mengonsumsi antidepresan akan merasakan penyakitnya menghilang saat mereka berhenti mengonsumsi obat tersebut.

Para peneliti juga mencatat bahwa orang yang didiagnosis menderita diabetes lebih mungkin diberi resep antidepresan, tetapi hubungannya tidak jelas.

Jika memiliki diabetes, dokter mungkin ingin menyesuaikan pengobatan diabetes saat kamu mengonsumsi antidepresan untuk memastikan kadar gula darah tetap dalam kisaran yang sehat. Juga, sangat disarankan untuk fokus pada penurunan berat badan dan olahraga karena kedua hal tersebut berperan dalam diabetes, dan antidepresan dapat menyebabkan kenaikan berat badan.

Mengelola efek penggunaan antidepresan jangka panjang

Mengelola penggunaan antidepresan jangka panjang memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terbuka antara dokter dan pasien. 

Langkah-langkah di bawah ini disarankan dalam pengelolaan penggunaan antidepresan jangka panjang:

  • Tetap berkomunikasi dengan penyedia layanan kesehatan. Terus berkomunikasi dengan dokter untuk memantau kemajuan kamu dan menilai efek samping yang kamu alami. Dokter dapat menyesuaikan dosis obat atau mengganti obat dengan jenis yang lain.
  • Jangan pernah menghentikan penggunaan antidepresan sendiri. Gunakan antidepresan persis seperti yang diresepkan oleh dokter. Menghentikan pengobatan sebelum waktunya dapat menyebabkan gejala putus obat, yang dapat memperburuk kondisi.
  • Terapi bicara. Banyak orang memilih untuk menggabungkan pengobatan dengan terapi bicara, seperti terapi perilaku kognitif. Terapi dapat efektif jika dikombinasikan dengan antidepresan, memberikan strategi penanganan untuk membantu pasien mengatasi kondisi mereka.
  • Perubahan gaya hidup. Menerapkan program latihan dan teknik manajemen stres, seperti meditasi dan mindfulness, dapat menjadi kunci untuk menjaga kesehatan dalam kehidupan pasien. Perubahan pola makan, bila dikombinasikan dengan olahraga, dapat membantu mengatasi kenaikan berat badan sebagai efek samping dari beberapa antidepresan.

Sebelum mengonsumsi antidepresan, diskusikan dengan psikiater tentang kemungkinan efek samping penggunaan jangka panjangnya. Kemungkinan kamu perlu mencoba beberapa obat sebelum menemukan antidepresan yang paling pas.

Selama mengonsumsi antidepresan, waspada terhadap efek samping, dan pertimbangkan seberapa signifikan efek samping yang dirasakan dibandingkan dengan seberapa besar obat tersebut membantu kondisi kamu.

Jangan mengentikan pengobatan secara tiba-tiba atau menggunakan obat dalam jumlah besar. Libatkan dokter dalam setiap keputusan yang kamu buat terkait penggunaan antidepresan.

Referensi

Cartwright, Claire, Kerry Gibson, et al. “Long-term antidepressant use: patient perspectives of benefits and adverse effects.” Patient Preference and Adherence Volume 10 (July 1, 2016): 1401–7.
WebMD. Diakses pada Oktober 2024. How Long Should You Take Antidepressants?
Mayo Clinic. Diakses pada Oktober 2024. Antidepressants: Selecting one that's right for you.
WebMD. Diakses pada Oktober 2024. What Are the Side Effects of Antidepressants?
Skånland, Sigrid S., and Artur Cieślar-Pobuda. “Off-label uses of drugs for depression.” European Journal of Pharmacology 865 (October 15, 2019): 172732.
National Health Service. Diakses pada Oktober 2024. Overview - Antidepressants.
National Institute for Health and Care Research. Diakses pada Oktober 2024. Almost half of those on long-term antidepressants can stop without relapsing.
WebMD. Diakses pada Oktober 2024. Antidepressant Withdrawal.
Higgins, Agnes. “Antidepressant-associated sexual dysfunction: impact, effects, and treatment.” Drug Healthcare and Patient Safety, September 1, 2010, 141.
Gafoor, Rafael, Helen P Booth, and Martin C Gulliford. “Antidepressant utilisation and incidence of weight gain during 10 years’ follow-up: population based cohort study.” BMJ, May 23, 2018, k1951.
Katz, Gregory. “Tachyphylaxis/tolerance to antidepressants in treatment of dysthymia: Results of a retrospective naturalistic chart review study.” Psychiatry and Clinical Neurosciences 65, no. 5 (August 1, 2011): 499–504.
Noordam, Raymond, Nikkie Aarts, et al. “Sex-Specific Association Between Antidepressant Use and Body Weight in a Population-Based Study in Older Adults.” The Journal of Clinical Psychiatry 76, no. 06 (June 24, 2015): e745–51. 
Verywell Health. Diakses pada Oktober 2024. Long-Term Effects of Antidepressants.
Paige, Ellie, Rosemary Korda, et al. “A record linkage study of antidepressant medication use and weight change in Australian adults.” Australian & New Zealand Journal of Psychiatry 49, no. 11 (October 1, 2015): 1029–39.
Barnard, Katharine, Robert C. Peveler, and Richard I.G. Holt. “Antidepressant Medication as a Risk Factor for Type 2 Diabetes and Impaired Glucose Regulation.” Diabetes Care 36, no. 10 (September 14, 2013): 3337–45.
MentalHealth. Diakses pada Oktober 2024. Long-term risks of antidepressants.
SimplyPsychology. Diakses pada Oktober 2024. Long-Term Use of Antidepressants.
WebMD. Diakses pada Oktober 2024. Managing the Side Effects of Depression Treatment.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us