Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Studi Ini Ungkap Hubungan Vaksin mRNA COVID-19 dan Miokarditis

ilustrasi vaksin mRNA COVID-19.
ilustrasi vaksin mRNA COVID-19 (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Dua protein imun, CXCL10 dan IFN-gamma, terbukti menjadi pemicu utama miokarditis pascavaksinasi mRNA COVID-19, menurut temuan studi.
  • Risiko miokarditis akibat vaksin sangat rendah dan sebagian besar kasus pulih cepat, sementara COVID-19 itu sendiri jauh lebih berisiko.
  • Senyawa genistein dari kedelai menunjukkan potensi mengurangi peradangan pada jantung, membuka kemungkinan strategi perlindungan baru.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sebuah studi terbaru dari Stanford Medicine memberikan penjelasan biologis yang selama ini membingungkan para dokter, tentang mengapa sebagian kecil penerima vaksin mRNA COVID-19, terutama remaja dan pria muda, mengalami miokarditis (peradangan pada otot jantung). Temuan ini membuka pintu menuju strategi baru yang bisa mengurangi risiko tersebut, tanpa mengurangi manfaat besar vaksin.

Selama pandemi COVID-19, vaksin mRNA menjadi salah satu alat paling efektif untuk mengurangi tingkat kematian dan keparahan COVID-19. Namun, sama seperti vaksin lain, efek samping tetap mungkin terjadi. Yang membedakan, studi ini berhasil menelusuri mekanisme pemicunya hingga ke tingkat sel, menjelaskan bagaimana sistem imun terkadang bereaksi terlalu kuat.

Risiko miokarditis dari vaksin mRNA

Miokarditis pascavaksinasi kasusnya termasuk sangat jarang. Angkanya sekitar:

  • 1 dari 140.000 setelah dosis pertama.
  • 1 dari 32.000 setelah dosis kedua.
  • Pada pria usia ≤30 tahun, risikonya menjadi 1 dari 16.750.

Gejalanya biasanya muncul 1–3 hari setelah penyuntikan, seperti nyeri dada, sesak, demam, atau jantung berdebar. Pemeriksaan darah sering menunjukkan kadar troponin tinggi, tanda cedera sel otot jantung.

Kabar baiknya, sebagian besar kasus bersifat ringan dan pulih cepat. Tidak ada penyumbatan pembuluh darah seperti serangan jantung. Namun pada kasus yang berat, peradangan dapat menyebabkan rawat inap hingga kondisi kritis. Meski begitu, risiko miokarditis akibat COVID-19 sendiri 10 kali lebih tinggi dibanding akibat vaksin.

Bagaimana peradangan ini terjadi?

Miokarditis.
ilustrasi miokarditis (freepik.com/jcomp)

Tim peneliti Stanford menemukan bahwa prosesnya terjadi dalam dua tahap, melibatkan dua tipe sel imun dan dua protein utama yang menjadi “tersangka”:

  1. Makrofag melepas CXCL10

Makrofag adalah sel imun garis depan. Ketika dipaparkan pada vaksin mRNA, sel-sel ini menghasilkan banyak protein bernama CXCL10, sinyal kimia yang memicu respons imun lebih besar.

  1. Sel T menjawab dengan IFN-gamma

Sinyal dari makrofag memicu sel T melepaskan IFN-gamma, salah satu protein imun paling kuat. Kombinasi CXCL10 dan IFN-gamma inilah yang menciptakan badai kecil dalam jaringan jantung.
Akibatnya:

  • Sel otot jantung teriritasi dan rusak.
  • Neutrofil dan makrofag masuk ke jaringan jantung.
  • Muncul peradangan dan peningkatan troponin.

Blokade kedua protein ini pada model tikus mampu mengurangi kerusakan jantung tanpa menghilangkan efek perlindungan vaksin.

Para peneliti menguji mekanisme ini di laboratorium dengan menggunakan teknologi “cardiac spheroids”—struktur 3D mirip detak jantung mini yang dibuat dari sel manusia. Saat spheroid dipaparkan pada CXCL10 dan IFN-gamma, kapasitas memompa dan ritme detaknya menurun. Ketika kedua sinyal inflamasi ini diblokir, fungsi jantung kecil ini sebagian membaik.

Ini menunjukkan bahwa kombinasi kedua protein tersebut memang menjadi pemicu langsung stres dan cedera pada sel jantung.

Genistein: perlindungan dari senyawa kedelai

Menariknya, tim peneliti menemukan bahwa genistein, senyawa mirip estrogen yang terdapat pada kedelai, mampu mengurangi reaksi berlebihan ini dalam uji laboratorium dan pada tikus.

Genistein versi murni yang digunakan dalam riset memiliki kemampuan:

  • Mengurangi efek CXCL10 dan IFN-gamma.
  • Menekan stres pada jaringan jantung.
  • Mengurangi kerusakan sel setelah vaksinasi.

Peneliti menekankan bahwa genistein mudah ditemukan dalam makanan, tetapi bentuk yang digunakan dalam riset lebih murni dan dosisnya jauh lebih tinggi. Meski begitu, temuan ini memberi sinyal bahwa komponen makanan sehari-hari bisa membantu menyeimbangkan reaksi imun berlebih.

Studi ini menguatkan pemahaman bahwa vaksin mRNA tetap aman, risiko miokarditis sangat kecil, dan mekanismenya mulai dipahami sehingga dapat diturunkan di masa mendatang.

Peneliti juga mencurigai bahwa proses inflamasi serupa mungkin memengaruhi organ lain seperti paru-paru, hati, atau ginjal. Jika benar, strategi menekan CXCL10 dan IFN-gamma bisa menawarkan perlindungan tambahan bagi kelompok tertentu.

Penelitian lebih lanjut akan menentukan apakah pendekatan ini bisa diterapkan pada manusia dan bagaimana dampaknya terhadap keamanan vaksin generasi berikutnya.

Referensi

"Stanford Medicine study shows why mRNA-based COVID-19 vaccines can cause myocarditis." Stanford Medicine. Diakses Desember 2025.

Share
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us

Latest in Health

See More

7 Tips Menjaga Sistem Imun untuk Ibu Menyusui

11 Des 2025, 20:32 WIBHealth