Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Temuan Lab Keracunan MBG Sukabumi Tak Lazim, Ini Kata Ahli

Siswa di Kota Kupang menikmati MBG. (IDN Times/ Putra F. D. Bali Mula)
Siswa di Kota Kupang menikmati MBG. (IDN Times/ Putra F. D. Bali Mula)
Intinya sih...
  • Hasil laboratorium Dinas Kesehatan Sukabumi menemukan tiga jenis patogen berbeda pada menu makanan program MBG, termasuk jamur Coccidioides immitis.
  • Menurut ahli mikrobiologi, jamur Coccidioides immitis biasanya ditemukan di Amerika dan sangat jarang terdeteksi di Indonesia, apalagi dalam makanan.
  • Temuan lainnya adalah Macrococcus caseolyticus, yang bahkan dalam banyak literatur belum pernah dilaporkan menimbulkan penyakit pada manusia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setelah beberapa kali insiden dalam dua bulan terakhir akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Sukabumi, Dinas Kesehatan (Dinkes) Sukabumi pada Rabu (24/9/2025) merilis hasil laboratorium yang mengungkap adanya kontaminasi serius pada makanan MBG. Ini termasuk semangka yang terpapar jamur Coccidioides immitis, tempe orek yang dihuni bakteri Enterobacter cloacae, hingga telur dadar dengan jejak bakteri Macrococcus caseolyticus. Temuan ini menunjukkan praktik kebersihan yang jauh dari standar.

Temuan patogen ini membuat kasus keracunan MBG makin janggal karena tiga patogen tersebut jarang ditemukan pada makanan. Simak penjelasan ahli mikrobiologi klinis terkait temuan hasil laboratorium ini.

1. Temuan patogen yang tidak lazim

Dokter spesialis mikrobiologi klinik Dr. dr. Agung Dwi Wahyu Widodo, M.Si., M.Ked.Klin., Sp.MK(K). SMF mengaku heran dengan hasil laboratorium yang menemukan tiga jenis patogen berbeda pada menu makanan program MBG.

Menurutnya, jamur Coccidioides immitis biasanya ditemukan di Amerika dan sangat jarang terdeteksi di Indonesia, apalagi dalam makanan. Sementara itu, bakteri Enterobacter cloacae umumnya hidup di saluran pencernaan manusia dan lebih sering menyebabkan infeksi saluran kemih atau pernapasan, bukan diare.

Yang lebih mengejutkan, Macrococcus caseolyticus bahkan dalam banyak literatur belum pernah dilaporkan menimbulkan penyakit pada manusia.

Ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam menginterpretasikan hasil uji makanan.

"Karena kalau kita lihat, ini kan diambil dari makanan, kalau saya sarankan sebaiknya (sampel) diambil dari feses atau muntahan dari anak yang terinfeksi karena itu langsung dari sumbernya," jelas Dr. Agung saat dihubungi IDN Times pada Kamis (25/9/2025). Kalau dari makanan, takutnya ada kontaminasi-kontaminasi sehingga nanti hasilnya kacau. Kacau ini maksudnya adalah bisa jadi bukan penyebab langsung," tambahnya.

2. Bisa berdampak fatal

Siswa SDN Liliba Kota Kupang keracunan susu dan MBG tengah diinfus.
Para siswa SDN Liliba Kota Kupang keracunan susu dan MBG. (IDN Times/Putra Bali Mula)

Meski hasil laboratorium menemukan patogen yang jarang atau bahkan belum pernah dikaitkan dengan penyakit pada manusia, tetapi Dr. Agung menilai dampak klinis tetap perlu diwaspadai. Menurutnya, ratusan siswa yang sempat jatuh sakit umumnya membaik setelah mendapat penanganan standar berupa cairan infus.

"Saya bilang tadi kan jarang-jarang atau enggak pernah kita lihat menjadi penyebab (tiga patogen tersebut), ya dampaknya belum tahu pasti," ujarnya.

Namun, ia tidak menutup kemungkinan risiko kondisi fatal jika gejala seperti muntah dan diare berlangsung terus-menerus tanpa penanganan cepat.

"Apakah bisa menimbulkan kondisi fatal? Ya, bisa. Kalau dia muntah-muntah terus, diarenya juga terus-terusan, ya bahaya. Harus diberikan pertolongan agar tidak menjadi fatal," Dr. Agung menjelaskan.

3. Perlu evaluasi menyeluruh

Kasus keracunan massal dalam program MBG, Dr. Agung menekankan, tidak bisa disimpulkan hanya dari hasil uji makanan. Menurutnya, investigasi menyeluruh sangat penting dilakukan, dengan pengambilan sampel langsung dari feses atau muntahan korban agar hasilnya lebih akurat.

Ia secara khusus menyoroti temuan jamur Coccidioides immitis, yang menurutnya sangat tidak lazim ditemukan di Indonesia.

"Saya pribadi tidak pernah lihat ya. Mungkin bisa terbawa dari Amerika ke sini, tapi ini kan endemis di sana dan tidak endemis di sini," ujarnya.

Karena itu, ia menilai perlu ada evaluasi ulang terhadap metode pengujian dan penanganan kasus agar tidak terjadi kekeliruan dalam menentukan penyebab keracunan.

Kasus keracunan massal di Sukabumi ini menekankan bahwa keamanan pangan tidak cukup dijamin hanya dengan distribusi program, melainkan juga mutu higiene. Hasil laboratorium yang mengejutkan justru menjadi pengingat pentingnya pendekatan ilmiah yang menyeluruh agar penanganan tepat sasaran. Tanpa itu, program gizi yang seharusnya menyehatkan bisa berubah menjadi ancaman kesehatan publik.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us

Latest in Health

See More

Temuan Lab Keracunan MBG Sukabumi Tak Lazim, Ini Kata Ahli

26 Sep 2025, 00:29 WIBHealth