- Stroke.
- Ensefalopati neonatal (gangguan otak pada bayi baru lahir).
- Migrain.
- Alzheimer dan demensia lainnya.
- Neuropati akibat diabetes.
- Meningitis.
- Epilepsi idiopatik.
- Komplikasi neurologis akibat kelahiran prematur.
- Gangguan spektrum autisme.
- Kanker sistem saraf.
WHO: 11 Juta Orang Meninggal Setiap Tahun akibat Gangguan Neurologis

- WHO mencatat lebih dari 11 juta kematian setiap tahunnya akibat gangguan neurologis yang memengaruhi 3 miliar orang di dunia.
- Negara berpendapatan rendah memiliki 82 kali lebih sedikit neurolog dibanding negara maju. Akibatnya, diagnosis dan pengobatan sering kali terlambat.
- Selain itu, hanya 25 persen negara (49 negara) yang memasukkan gangguan neurologis ke dalam cakupan jaminan kesehatan nasional.
Dunia sedang menghadapi krisis kesehatan otak, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan. Dalam laporan Global Status Report on Neurology terbaru, WHO menyebut gangguan neurologis telah menewaskan lebih dari 11 juta orang setiap tahun dan memengaruhi lebih dari 3 miliar orang di dunia, atau setara dengan 40 persen populasi global.
Sayangnya, dari 194 negara anggota WHO, kurang dari sepertiga yang memiliki kebijakan nasional untuk menangani masalah ini. Hanya 63 negara (32 persen) yang memiliki rencana resmi untuk mengatasi penyakit neurologis, dan hanya 34 negara (18 persen) yang memiliki pendanaan khusus untuk itu.
“Lebih dari satu dari tiga orang di dunia hidup dengan kondisi yang memengaruhi otaknya,” kata Dr. Jeremy Farrar, Asisten Direktur Jenderal WHO, dalam sebuah rilis. “Padahal, banyak gangguan ini bisa dicegah atau diobati. Namun, layanan kesehatan masih sulit dijangkau, terutama di wilayah pedesaan atau terpencil.”
Kondisi neurologis yang paling banyak menyebabkan kematian dan disabilitas
Menurut data WHO tahun 2021, sepuluh gangguan neurologis utama yang paling banyak menyebabkan kematian dan disabilitas adalah:
Selain merupakan masalah medis, gangguan tersebut juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi. Banyak pasien dan keluarga mereka menghadapi stigma, kehilangan pekerjaan, hingga beban biaya yang berat karena kurangnya dukungan sistem kesehatan.
Kesenjangan layanan kesehatan otak global masih tinggi

Laporan WHO juga mengungkap ketimpangan besar antara negara kaya dan miskin.
Negara berpendapatan rendah memiliki 82 kali lebih sedikit neurolog dibanding negara maju. Akibatnya, diagnosis dan pengobatan sering kali terlambat, bahkan banyak kasus tidak pernah dilakukan sama sekali.
Selain itu, hanya 25 persen negara (49 negara) yang memasukkan gangguan neurologis ke dalam cakupan jaminan kesehatan nasional. Fasilitas penting seperti unit stroke, layanan rehabilitasi, atau perawatan paliatif lebih banyak tersedia di kota besar, meninggalkan masyarakat pedesaan tanpa akses terhadap perawatan penting.
Ada pula faktor kurangnya dukungan bagi pengasuh dan riset.
Gangguan otak sering memerlukan perawatan seumur hidup. Namun, hanya 46 negara yang memiliki layanan bagi pengasuh pasien, dan 44 negara yang punya perlindungan hukum bagi mereka. Akibatnya, banyak pengasuh informal, biasanya perempuan, harus menanggung beban berat tanpa pengakuan maupun dukungan finansial.
Masalah lainnya adalah lemahnya sistem informasi kesehatan dan minimnya dana riset, terutama di negara berkembang. Tanpa data dan penelitian yang memadai, sulit bagi pemerintah untuk merancang kebijakan berbasis bukti.
WHO menyerukan tindakan global yang lebih kuat dan terkoordinasi untuk memperluas akses terhadap layanan neurologi dan memastikan otak manusia mendapat perhatian setara dengan organ tubuh lainnya.
“Kita harus menempatkan pasien dan keluarganya sebagai pusat perhatian,” tegas Dr. Farrar. “Kesehatan otak adalah investasi, bukan beban.”