Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Lingkungan Kerja Fleksibel Justru Jadi Pemicu Overworking

ilustrasi seseorang overworking
ilustrasi seseorang overworking (pexels.com/Yan Krukau)
Intinya sih...
  • Batas waktu kerja dan waktu pribadi menjadi kabur, membuat keseimbangan hidup terganggu.
  • Adanya tuntutan untuk selalu responsif di luar jam kerja, mengurangi waktu pribadi dan kualitas hubungan.
  • Merasa kesulitan mengatur prioritas tanpa struktur yang jelas, menurunkan produktivitas dan meningkatkan stres.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Lingkungan kerja fleksibel sering dipandang sebagai solusi modern yang membuat pekerjaan terasa lebih nyaman. Kita bisa menentukan waktu sendiri, bekerja dari mana saja, dan mengatur ritme kerja sesuai kebutuhan. Namun, di balik semua keuntungan itu, ada sisi lain yang justru berpotensi memicu beban kerja berlebih.

Fleksibilitas kadang membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur. Alih-alih memiliki ruang untuk beristirahat, kita sering terjebak dalam pola kerja yang tak ada habisnya. Berikut lima alasan lingkungan kerja fleksibel justru bisa mendorong terjadinya overworking.

1. Batas waktu kerja dan waktu pribadi menjadi kabur

ilustrasi bekerja keras (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)
ilustrasi bekerja keras (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Dalam sistem kerja fleksibel, jam kerja tidak selalu ditentukan secara kaku. Hal ini memang memberi kebebasan, tetapi sering membuat kita merasa harus selalu siap kapan saja ada tugas. Dalam jangka panjang, batas antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi tidak jelas.

Kondisi demikian membuat kita sering menunda istirahat atau bekerja lebih lama dari seharusnya. Apabila hal itu dibiarkan terus-menerus, maka tubuh dan pikiran akan mudah lelah tanpa kita sadari. Akhirnya, keseimbangan hidup pun terganggu meski niat awalnya hanya ingin lebih produktif.

2. Adanya tuntutan untuk selalu responsif

ilustrasi tuntutan selalu responsif
ilustrasi tuntutan selalu responsif (pexels.com/Arina Krasnikova)

Fleksibilitas dalam bekerja memang memberi kebebasan, tetapi sering diiringi ekspektasi untuk selalu cepat merespons pesan atau permintaan. Kondisi ini bisa membuat kita merasa tidak pernah benar-benar lepas dari pekerjaan, bahkan di luar jam kerja. Jika terus berlanjut, waktu pribadi semakin berkurang, rasa lelah menumpuk, dan kualitas hubungan dengan orang terdekat ikut terpengaruh.

Kebiasaan ini menciptakan rasa waspada berlebihan seakan pekerjaan tidak pernah selesai. Bahkan di luar jam kerja, pikiran tetap dipenuhi tanggung jawab. Alhasil, istirahat yang seharusnya jadi momen tenang justru dipakai untuk menunggu pesan baru.

3. Merasa kesulitan mengatur prioritas

ilustrasi sulit mengatur prioritas saat bekerja
ilustrasi sulit mengatur prioritas saat bekerja (pexels.com/Matheus Bertelli)

Fleksibilitas dalam bekerja dapat memberikan kita kebebasan untuk menyusun jadwal sendiri sesuai kebutuhan. Namun, ketiadaan struktur yang jelas justru bisa membuat sebagian orang merasa kewalahan. Mereka sering bingung menentukan mana pekerjaan yang harus diprioritaskan lebih dahulu.

Tanpa perencanaan yang matang, banyak tugas akhirnya menumpuk atau dikerjakan secara bersamaan. Hal ini tidak hanya mengurangi efektivitas, tetapi juga membuat hasil kerja kurang optimal. Jika berlangsung terus-menerus, kondisi ini bisa menurunkan produktivitas dan meningkatkan stres.

4. Perasaan bersalah saat memilih istirahat

ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/cottonbro studio)

Banyak pekerja dengan sistem kerja fleksibel merasa bersalah ketika mengambil waktu untuk beristirahat. Ketiadaan batas yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi membuat jeda sejenak dianggap sebagai tanda kurang produktif. Padahal, istirahat sangat penting untuk memulihkan energi dan menjaga konsentrasi tetap stabil.

Perasaan bersalah sering membuat kita bekerja lebih lama dari yang sebenarnya diperlukan. Jika dibiarkan terus, tubuh bisa terbiasa dengan pola kerja tanpa henti yang mengganggu kesehatan fisik maupun mental. Kepuasan kerja pun menurun karena selalu ada rasa kurang produktif meski sudah berusaha maksimal.

5. Tekanan untuk terlihat selalu produktif

ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/Kampus Production)
ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/Kampus Production)

Dalam lingkungan kerja yang fleksibel, hasil kerja lebih ditonjolkan daripada jam kerja. Meskipun positif, hal tersebut bisa membuat sebagian orang merasa harus selalu menunjukkan kinerja terbaik. Tekanan untuk terus produktif bisa membuat kita bekerja lebih keras dari kapasitas.

Jika tidak diimbangi dengan manajemen diri, tekanan itu dapat menimbulkan kelelahan jangka panjang. Sehingga kita sulit membedakan antara kerja cerdas dan kerja berlebihan. Pada akhirnya, fleksibilitas berubah menjadi jebakan yang membuat kita kehilangan kendali atas rutinitas sehari-hari.

Lingkungan kerja fleksibel memang membawa banyak keuntungan, terutama kebebasan dalam mengatur waktu. Namun, tanpa kesadaran untuk menetapkan batasan yang jelas, fleksibilitas bisa berbalik menjadi sumber kelelahan. Pada akhirnya, kitalah yang menentukan apakah fleksibilitas menjadi berkah atau justru beban.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us

Latest in Life

See More

[QUIZ] Kamu Lebih Mudah Tersentuh oleh Senyum atau Air Mata?

07 Sep 2025, 15:54 WIBLife