5 Tanda Kamu Berhadapan dengan Orang Pasif Agresif, Sadari!

- Komunikasi pasif agresif dapat merugikan kesehatan mental dan hubungan jangka panjang
- Ciri-ciri komunikator pasif-agresif antara lain sindiran, sinyal lewat sikap, dan sabotase halus
- Komunikator pasif agresif sering menyamarkan kritik dalam humor supaya bisa menghindari konfrontasi langsung
Pernah gak, sih, kamu ngobrol sama seseorang, tapi pulangnya justru malah merasa capek secara emosional? Atau kamu merasa dia ngomongnya ‘baik-baik aja’, tapi vibes-nya kayak menyindir? Bisa jadi kamu baru aja ketemu sama orang pasif agresif. Ini bukan soal drama-dramaan, tapi tentang cara orang menyampaikan emosi atau ketidaksetujuannya secara tidak langsung—dan sering kali menyebalkan, bikin kamu overthinking, bahkan mempertanyakan dirimu sendiri.
Gaya komunikasi pasif agresif ini bisa muncul di mana aja; di lingkungan kerja, tongkrongan, bahkan keluarga. Masalahnya, karena sifatnya yang gak langsung, kita sering gak sadar sedang jadi targetnya. Padahal dampaknya bisa serius, terutama buat kesehatan mental dan relasi jangka panjang. Nah, biar kamu lebih peka dan bisa pasang batasan yang sehat, yuk, kenali lima tanda orang pasif agresif!
1. Sering menjawab dengan sindiran halus yang bikin bingung

Misalnya kamu cerita soal kerjaan yang bikin stres, terus dia jawab, “Wah, kerja keras banget, ya, sampai gak sempat hidup.” Kalimat kayak gini sepintas terdengar biasa, bahkan lucu. Tapi ada rasa gak enak yang muncul setelahnya. Ini karena pesannya ambigu—di satu sisi kayak simpati, tapi di sisi lain terdengar mengejek. Komunikator pasif agresif sering pakai sindiran supaya gak kelihatan konfrontatif, tapi tetap bisa menyalurkan emosi negatifnya.
Bahaya dari pola ini adalah kamu jadi bingung sendiri; harusnya marah gak, ya? Padahal, kebingungan ini bagian dari dinamika pasif agresif yang bikin kamu merasa salah terus. Kalau kamu mulai merasa cemas setiap kali berinteraksi, itu sinyal untuk mengecek ulang apakah kamu sedang ada di dalam situasi komunikasi yang sehat?
2. Ngambek tapi gak ngaku, terus bikin suasana gak nyaman

Kamu mungkin pernah bertemu dengan orang yang tiba-tiba diam, padahal sebelumnya ngobrol seperti biasa saja. Ketika ditanya, jawabannya, “Gak, kok, aku gak apa-apa.” Tapi jelas-jelas ada yang salah. Ini salah satu ciri paling umum dari pasif agresif. Mereka gak mau langsung ngomong kalau ada yang bikin mereka kesal, tapi hanya memberi kode lewat sikap—kayak mengomel pelan, nada bicara dingin, atau memberikan silent treatment.
Masalahnya, komunikasi itu soal dua arah. Kalau satu pihak pasif agresif, pihak lain dipaksa untuk menebak-nebak dan akhirnya lelah sendiri. Dalam jangka panjang, ini bikin hubungan jadi gak transparan dan gak aman secara emosional. Kalau kamu merasa harus selalu ‘membaca pikiran’ orang lain, itu tandanya kamu butuh ruang komunikasi yang lebih jujur dan terbuka.
3. Suka mengulur waktu sebagai bentuk perlawanan diam-diam

Misalnya kamu minta bantuan atau kerja sama dan mereka bilang, “Iya, nanti aku kerjain.” Tapi ternyata molor terus, gak ada kabar, dan ujung-ujungnya kamu yang harus turun tangan. Ini bukan cuma soal malas, tapi bisa jadi bentuk sabotase halus. Komunikator pasif agresif kadang memilih ‘lambat-lambat’ sebagai cara untuk menunjukkan ketidaksetujuan—tanpa perlu ngomong terang-terangan.
Kalau ini terjadi berulang, kamu bisa merasa gak dihargai atau bahkan jadi mempertanyakan kemampuanmu sendiri dalam memimpin atau meminta bantuan. Padahal, masalahnya bukan di kamu. Kita perlu belajar mengenali pola ini, supaya bisa membedakan mana yang keteteran dan sengaja menahan progres.
4. Ngerendahin kamu secara halus tapi konsisten

Bisa lewat candaan yang tajam, komentar nyeleneh, atau perbandingan yang bikin kamu merasa kecil. “Ih, kamu sekarang rajin, ya, tumben.” Kalimat seperti ini kelihatannya harmless, tapi kalau sering muncul dan konsisten merendahkan usahamu, itu bukan cuma ‘bercanda’. Komunikator pasif agresif sering menyamarkan kritik dalam humor supaya bisa menghindari konfrontasi langsung tapi tetap bisa ‘menusuk’.
Efeknya? Lama-lama kamu bisa kehilangan kepercayaan diri, apalagi kalau itu datang dari orang dekat atau yang punya posisi berpengaruh. Kamu jadi mikir, “Jangan-jangan benar juga, ya, omongannya?” Padahal ini bentuk manipulasi halus yang perlu kamu waspadai. Validasi diri sendiri jadi penting banget dalam situasi kayak gini.
5. Selalu menghindar saat diajak ngobrol serius

Setiap kali kamu coba buka obrolan serius—baik itu tentang batasan, kesalahpahaman, atau perasaanmu—responnya malah menghindar. Entah ganti topik, bercanda terus, atau langsung ‘menghilang’. Ini strategi klasik pasif agresif yakni, menghindari konflik langsung dengan harapan masalahnya bisa hilang sendiri. Padahal, masalah yang gak diomongin, ya, gak akan selesai.
Komunikator pasif agresif merasa nyaman dengan ‘zona aman’ mereka yang bebas dari konfrontasi. Tapi kamu yang niatnya ingin menyelesaikan masalah justru terjebak dalam siklus frustasi. Jadi penting banget buat sadar kapan harus lanjut berusaha menjelaskan, dan kapan kamu perlu tarik diri untuk jaga mental sendiri.
Berurusan dengan orang pasif agresif memang menguras energi, terutama karena semuanya terasa gak jelas dan bikin kamu terus mikir, “Aku salah apa, ya?” Tapi kamu gak harus terus-terusan jadi korban dari pola komunikasi kayak gini. Penting buat tetap sadar, berani pasang batasan, dan pilih lingkungan yang komunikasinya sehat. Ingat, kamu berhak ada di ruang yang menghargai kejelasan, bukan yang bikin kamu merasa kecil lewat hal-hal yang ‘tidak dikatakan’. Kecerdasan emosional bukan tentang menghindari konflik, tapi tahu kapan dan bagaimana berbicara jujur dengan cara yang sehat.