Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Alasan UU Pengadilan Militer Wajib Direvisi: Vonis Ringan dan Transparansi

Pengadilan Militer
Ilustrasi persidangan di Pengadilan Militer Palembang. (IDN Times/Rangga Erfizal)
Intinya sih...
  • Sertu Riza Pahlivi hanya divonis 10 bulan penjara dan diwajibkan membayar restitusi Rp12,7 juta.
  • Koalisi Masyarakat Sipil sebut citra dan solidaritas korps didahulukan dibanding keadilan.
  • Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak agar UU tentang Peradilan Militer direvisi, untuk mengadili anggota TNI di peradilan umum.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah lembaga sosial masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyesalkan serangkaian putusan ringan pada prajurit TNI yang disidang di pengadilan militer. Padahal, tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI bukan masuk kategori tindak pidana umum.

Salah satu vonis ringan yang menjadi sorotan publik adalah vonis di tingkat kasasi bagi tiga terpidana dari TNI Angkatan Laut (AL). Tiga eks prajurit TNI AL itu terlibat kasus pembunuhan bos rental mobil, Ilyas Abdurrahman, yang terjadi pada Januari 2025.

Dua dari tiga eks prajurit TNI AL, mendapat keringanan hukuman, dari bui seumur hidup menjadi 15 tahun bui. Sedangkan, satu eks prajurit TNI AL lainnya divonis lebih ringan satu tahun menjadi tiga tahun bui.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyentil putusan yang diambil hakim agung, karena proses peradilan tertutup dan tak dijelaskan Mahkamah Agung (MA) dasar hukum pengubahan vonis. Meskipun, MA menyebut pengajuan kasasi yang disampaikan tiga eks prajurit TNI AL itu ditolak.

"Proses peradilan yang tertutup seperti ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan," ujar Julius dalam keterangan tertulis, Selasa (21/10/2025).

PBHI masuk dalam LSM yang menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipi. Padahal, kasus tersebut menjadi sorotan publik pada awal 2025. Dua eks prajurit TNI AL, Bambang Apri Atmojo dan Akbar Adli semula divonis bui seumur hidup. Tetapi di tingkat kasasi, hakim agung mengubah hukumannya menjadi 15 tahun bui.

1. Sertu Riza Pahlivi divonis 10 bulan penjara

Kasus prajurit TNI di Mahkamah Militer
Sertu Riza saat menjalani sidang vonis (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Sementara, ketimpangan vonis juga terjadi pada kasus pembunuhan pelajar SMP berinisial MHS, 15 tahun. Pengadilan Militer I-02, Medan pada Senin (20/10/2025) hanya menjatuhkan vonis 10 bulan bui bagi Sertu Riza Pahlivi. Selain itu, Sertu Riza juga diwajibkan membayar restitusi kepada pemohon, Lenny Damanik (ibu MHS) sebesar Rp12,7 juta.

Vonis ringan itu memicu kemarahan dan kritik dari publik, sebab putusan itu lebih ringan dari hukuman terhadap kasus-kasus pidana ringan seperti pencurian. Julius menilai ada sejumlah kejanggalan selama proses peradilan.

"Dalam pertimbangannya, hakim menyebut korban tidak memiliki bekas luka sesuai keterangan saksi. Hal ini kian memperkuat pandangan bahwa proses militer merupakan ruang tertutup yang tak dapat disentuh, dan tak memenuhi standar transparansi serta akuntabilitas," ujar Julius.

Hal itu semakin menunjukkan bahwa keadilan bagi warga sipil korban kekerasan militer masih jauh dari harapan.

2. Koalisi Masyarakat Sipil kritik citra dan solidaritas korps didahulukan dibanding keadilan

Pengadilan Militer
Tiga prajurit TNI Angkatan Laut (AL) yang menjadi terdakwa penembakan bos rental mobil menjalani sidang tuntutan. (IDN Times/Santi Dewi)

Lebih lanjut, Koalisi Masyarakat Sipil melihat adanya pola yang berulang, yakni ketika pelaku tindak kejahatan berasal dari institusi militer, maka proses hukum menjadi tertutup. Selain itu, perlakuan tidak setara akan terjadi dan hukuman yang dijatuhkan tidak proporsional.

"Hukum tampak tunduk pada seragam dan pangkat, bukan pada keadilan. Keadilan sering dikorbankan demi melindungi citra dan solidaritas korps (esprit de corps) yang disalahartikan sebagai loyalitas membabi buta antar-anggota militer," kata Julius.

Prinsip solidaritas korps itu justru menjadi mekanisme perlindungan internal yang menghambat akuntabilitas, dan menghentikan upaya reformasi sektor keamanan di tubuh militer. Padahal, solidaritas korps seharusnya dipakai untuk menegakkan profesionalisme dan disiplin.

"Akibatnya, institusi militer semakin lemah di bawah kontrol sipil dan warga sipil yang menjadi korban justru sulit mendapat keadilan," tutur dia.

3. Koalisi Masyarakat Sipil desak agar UU tentang Peradilan Militer direvisi

Prajurit TNI
Prajurit TNI di HUT ke-80 TNI di Monas, Minggu (5/10/2025) (IDN Times/Dini S)

Melihat kenyataan itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan DPR RI, agar segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.

"Seluruh tindak pidana umum yang dilakukan dan melibatkan anggota TNI harus diadili di peradilan umum," kata Julius.

Selain itu, Panglima TNI agar melakukan upaya-upaya pencegahan pelanggaran di lingkaran prajuritnya. Upaya pencegahan itu, antara lain kontrol terhadap senjata api yang dibawa prajurit TNI, dan melakukan evaluasi terhadap kondisi psikologis setiap prajurit secara rutin.

"Tanpa revisi UU Peradilan Militer, maka impunitas terhadap kejahatan anggota TNI akan terjadi sekaligus melanggengkan keberulangan perbuatan oleh anggota TNI lainnya," tutur Julius.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, putusan-putusan problematik bukan akibat insiden tunggal, melainkan bagian dari pola sistemik: impunitas melekat dalam mekanisme peradilan militer dan sistem keamanan yang belum sepenuhnya diselaraskan dengan prinsip negara hukum dan HAM.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

Daftar Susunan Komite Pengarah NEK: Zulhas Ketua, Airlangga-AHY Wakil

22 Okt 2025, 00:12 WIBNews