Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Amnesty Indonesia: Kebebasan Sipil Alami Erosi Usai 27 Tahun Reformasi

Momen tentara ABRI berupaya mengamankan kerusuhan yang terjadi saat tahun 1998. (Tangkapan layar Buku Politik Huru Hara Mei 1998)
Momen tentara ABRI berupaya mengamankan kerusuhan yang terjadi saat tahun 1998. (Tangkapan layar Buku Politik Huru Hara Mei 1998)
Intinya sih...
  • Amnesty Internasional Indonesia (AII) mencatat penurunan kebebasan sipil dan politik di Indonesia seiring peringatan 27 tahun Reformasi.
  • Freedom House mencatat penurunan tajam dalam kebebasan sipil dan hak politik, sedangkan World Press Freedom Index menunjukkan penurunan Indeks Kebebasan Pers.
  • AII mendesak negara agar kembali menjadikan HAM sebagai prioritas utama untuk menyelamatkan reformasi dan mewujudkan keadilan sosial berbasis partisipasi publik yang inklusif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Amnesty Internasional Indonesia (AII) memberikan catatan penting terkait peringatan 27 tahun Reformasi yang diperingati pada pertengahan Mei. Organisasi yang fokus pada isu HAM itu menilai, sudah terjadi erosi kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia ketika 27 tahun Reformasi berlalu. Sejumlah indikator sudah menunjukkan secara jelas hal itu. 

"Indikator pertama, Freedom House mencatat penurunan tajam dalam kebebasan sipil dan hak politik, di mana indeks demokrasi Indonesia turun dari skor 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024," ujar Direktur AII, Usman Hamid dalam keterangan tertulis, Rabu (21/5/2025). 

Indikator lainnya yang juga menunjukkan penurunan yaitu World Press Freedom Index 2025 yang dirilis pada 3 Mei 2025 lalu menunjukkan, Indeks Kebebasan Pers di Indonesia juga kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara. Economist Intelligence Unit (EIU) juga masih menilai Indonesia sebagai demokrasi yang cacat. Laporan terbaru dari V-Dem Institute mencatat Indonesia tergelincir dari status demokrasi elektoral menjadi otokrasi elektoral. 

Sejumlah penurunan itu, kata Usman, karena Indonesia dianggap menjauhi cita-cita reformasi dengan melemahnya supremasi hukum, HAM, otonomi daerah, hingga jaminan kebebasan sipil maupun pers. 

"Jangankan tragedi 1965/1966 atau tragedi Tanjung Priok 1984, penembakan mahasiswa Trisakti, pembakaran anak-anak miskin kota dan pemerkosaan massal pada Mei 1998 yang tidak terlalu lama (terjadi) saja masih luput dari supremasi hukum. Ini tragedi luar biasa yang dilupakan," katanya. 

1. Erosi kebebasan politik terlihat dari penangkapan mahasiswi ITB

Suasana kampus ITB (IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Suasana kampus ITB (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Lebih lanjut, AII juga mencatat adanya erosi kebebasan politik yang terlihat pada kasus-kasus serangan terhadap kebebasan sipil atau pers. Kasus terakhir, kata Usman, personel Polri menangkap mahasiswi seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat meme Jokowi dengan Prabowo menggunakan teknologi AI malah terancam dibui 12 tahun dan denda Rp12 miliar. 

"Begitu juga dengan kebebasan berkesenian yang terancam dialami oleh pelukis Yos Soeprapto di Jakarta, teater 'Wawancara dengan Mulyono' di Bandung dan lagu yang dirilis oleh Band Sukatani asal Purbalingga turut menunjukkan adanya erosi kebebasan politik," kata Usman. 

Ia menambahkan pada periode 2019 hingga 2024 ada 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Total ada 563 korban yang dijerat dengan UU tersebut. 

"Pelaku didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dan 271 korban) dan laporan pemerintah daerah (63 kasus dan 68 korban). Terakhir, aparat menangkap mahasiswa Universitas Diponegoro dengan pasal penyekapan ketika menggelar Aksi MayDay," tutur dia. 

Ia mengatakan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) perlu direvisi kembali. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan sejumlah putusan penting pada April lalu. Salah satunya mengecualikan institusi pemerintah, profesi, dan jabatan dari pihak yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik. 

"Ini merupakan modalitas positif yang membawa harapan," tutur dia. 

2. Tentara lebih banyak merangsek masuk ke ruang sipil

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)
Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)

Sementara, dalam pandangan Deputi Direktur Amnesty International Indonesia (AII), Wirya Adiwena mengatakan salah satu penyebab terjadinya erosi kebebasan politik adalah mundurnya supremasi sipil. Hal itu sudah ditandai dengan adanya revisi Undang-Undang TNI nomor 34 tahun 2004.

"Revisi UU TNI memperluas peran militer dalam urusan sipil bahkan mengarah kepada melemahnya supremasi sipil dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Contohnya, kini militer mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa dengan dalih 'monitoring wilayah' seperti di dalam kasus UIN Walisongo di Semarang, Universitas Indonesia dan Universitas Udayana di Bali," ujar Wirya. 

Padahal, kampus, kata Wirya, merupakan tempat kebebasan untuk berpikir kritis, berdialog dan menumbuhkan keragaman gagasan. 

"Kehadiran militer apalagi tanpa dasar hukum yang jelas dapat menciptakan iklim ketakutan, sensor diri dan pembungkaman ekspresi kritis. Itu merupakan praktik otoriter di era dulu," imbuhnya. 

3. Reformasi 1998 kini berada di titik nadir

Ilustrasi Presiden Soeharto. (IDN Times/Alvita Wibowo)
Ilustrasi Presiden Soeharto. (IDN Times/Alvita Wibowo)

Fakta-fakta tersebut, kata Wirya, tak bisa disangkal bahwa era reformasi yang dulu diperjuangkan dengan peluh, darah dan air mata kini malah ada di titik nadir. Bahkan, tidak mengejutkan bila ada yang merasa kini reformasi yang dulu diperjuangkan, sudah mati. 

"Rezim otoriter memang sudah mati 27 tahun lalu tapi warisan otoriter tetap dapat hidup dalam kebijakan dan praktik negara. Pemimpin otoriter masa lalu memang gagal diadili. Jangan sampai kini dijadikan pahlwan nasional dan sejarah kekejamannya dihapuskan dari ingatan kolektif," ujar Wirya. 

Meski terkesan sudah ada di titik nadir, tetapi Amnesty tetap melihat masih ada harapan untuk menyelamatkan reformasi agar marwahnya kembali tinggi. Maka, Amnesty International Indonesia mendesak negara agar kembali menjadikan HAM sebagai prioritas utama.

"Bukan hanya agar menjamin kebebasan politik seperti berekspresi dan berkumpul tanpa ancaman tetapi juga mewujudkan keadilan sosial melalui kebijakan sosial ekonomi berbasis partisipasi publik yang bermakna dan inklusif," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Sunariyah Sunariyah
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us