Koalisi Sipil: 27 Tahun Reformasi Diwarnai TNI Balik ke Ruang Sipil

- Koalisi masyarakat sipil menyoroti kemunduran demokrasi Indonesia setelah reformasi, terutama terkait intervensi militer dalam ranah sipil.
- Kegagalan revisi UU Peradilan Militer dan preteli aturan yang mencegah intervensi militer kembali ke ranah sipil.
- Tuntutan koalisi agar TNI dikembalikan ke barak, reformasi peradilan militer, dan penolakan pemberian status pahlawan kepada Soeharto.
Jakarta, IDN Times - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga masyarakat sipil (LSM) memberikan catatan penting soal momen peringatan 27 tahun reformasi. Salah satu momen penting tahun 1998 ditandai berakhirnya era Orde Baru yang otoritarian dan telah berlangsung selama 32 tahun.
Hari itu, juga menandakan mulainya proses demokratisi di Indonesia yang kemudian dikenal dengan Era Reformasi. Momen itu ditandai dengan menguatnya peran-peran masyarakat sipil dalam kancah politik di Indonesia. Puncak reformasi ditandai dengan dihapuskannya dwifungsi ABRI oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Tetapi, 27 tahun kemudian kondisi demokrasi di Indonesia justru menunjukkan kemunduran yang mengkhawatirkan. "Salah satu indikatornya yakni semakin menguatnya intervensi militer dalam ranah sipil yang tercermin dari disahkannya revisi Undang-Undang TNI pada 20 Maret 2025 lalu," ujar koalisi sipil di dalam pernyataan tertulis pada Rabu (21/5/2025).
Indikasi lainnya bahwa kondisi demokrasi di Tanah Air semakin mundur yaitu para terduga pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu malah menikmati impunitas.
"Bahkan, kini mereka menempati posisi strategis di lingkaran elit pemerintahan dan politik nasional," tutur mereka.
1. Setelah 27 tahun reformasi berlalu, TNI semakin merangsek ke area sipil

Lebih lanjut, koalisi masyarakat sipil juga mencatat di era reformasi ini justru terjadi kegagalan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang nomor 31 tahun 1997 mengenai Peradilan Militer. Padahal, hal tersebut merupakan amanat TAP MPR nomor VII tahun 2000 dan mandat UU nomor 34 tahun 2004 mengenai TNI.
"Lebih buruknya lagi, aturan-aturan yang secara normatif diterapkan untuk mencegah militer kembali ke ranah sipil malah dipreteli melalui revisi UU TNI. Intervensi TNI ke ranah sipil bahkan dijustifikasi dengan ragam alasan yang tak sesuai dengan semangat reformasi," kata koalisi.
Hal itu ditandai dengan adanya penambahan jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tak lagi membutuhkan persetujuan dari DPR hingga penambahan usia pensiun bagi para elite militer.
"Kini secara praktis TNI semakin merangsek masuk ke dalam kehidupan sipil di tengah belum jelasnya perbantuan TNI yang harusnya diatur melalui perundang-undangan," beber koalisi.
Bahkan, dalam catatan IDN Times, sejumlah prajurit aktif TNI yang duduk di instansi sipil di luar dari yang ditentukan di dalam UU baru TNI, belum juga mundur. Salah satunya Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya yang masih rangkap jabatan sebagai Direktur Utama Badan Urusan Logistik. Hingga kini, ia diketahui belum mundur dari instansi militer.
2. Koalisi sipil minta TNI dikembalikan ke barak dan tidak di ranah sipil

Di dalam pernyataannya, koalisi masyarakat sipil juga menyampaikan sejumlah tuntutan pada peringatan 27 tahun reformasi. Salah satunya, mereka menuntut agar TNI dikembalikan ke barak dan menarik kembali militer dari ranah sipil.
"Kami juga mendesak agar pemerintah melanjutkan reformasi TNI dengan mereformasi peradilan militer dan undang-undang tentang tugas perbantuan," kata koalisi.
Mereka juga menentang pemberian status pahlawan kepada Presiden ke-2, Soeharto. Sebab, ia diduga kuat terlibat di dalam berbagai pelanggaran berat HAM di masa Orde Baru.
"Kami turut meminta agar pemerintah melanjutkan proses penyidikan kasus pelanggaran berat HAM yang saat ini terhenti di kejaksaan," tutur koalisi.
Proses reformasi di sektor keamanan, terutama reformasi TNI, Polri dan intelijen harus terus dilanjutkan. Tujuannya, agar aktor keamanan demokratik yang profesional dan sesuai cita-cita reformasi dapat tercapai.
3. TNI kembali merangsek ke ranah sipil dinilai ketakutan yang berlebihan

Sementara, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Jenderal Kristomei Sianturi menilai kekhawatiran koalisi masyarakat sipil bahwa TNI akan kembali merangsek ke ranah sipil seperti era Orde Baru adalah ketakutan yang berlebihan. Ia mengatakan pembatasan ruang gerak TNI sudah jelas tertulis di UU baru TNI.
"Tidak ada faksi ABRI kok (di parlemen)," ujar Kristomei pada Rabu (21/5).
Di sisi lain, kekhawatiran terkait dwifungsi ABRI juga dinilai tidak masuk akal. Sebab, bila ada prajurit aktif TNI ingin jadi kepala daerah, maka hal tersebut tidak bisa serta merta jadi kenyataan.
"Semuanya kan sudah ada aturan dan perundang-undangannya yang membatasi itu. Kalau re-militerisasi atau dwifungsi ABRI, itu gak ada," katanya.
Ia menambahkan sesuai aturan yang ada bila ada prajurit TNI ingin menduduki jabatan sipil di luar 14 instansi yang tertulis di dalam UU, maka mereka wajib pensiun.