Bangga, Wanita Ini Jadi Doktor Spesialis Forensik Pertama di Asia

Siapa yang menyangka bahwa Kepala Sub Bidang Kedokteran Kepolisian (Dokpol) Bidang Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Polda Jawa Tengah, AKBP Sumy Hastry Purwanti akan menjadi polisi pertama di Asia yang menyandang gelar doktor spesialis forensik. Dia melakukan penelitian yang sangat berguna untuk kecepatan identifikasi jenazah. Salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan melihat suku dari DNA jenazah.

Penelitian yang dilakukannya berhasil mengantarkannya menjadi polisi bergelar doktor spesialis forensik pertama di Asia dan lulus cumlaude di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan IPK 3,89 pada tanggal 10 Maret lalu. Sumy berhasil menyelesaikan Program Studi Ilmu Kedokteran Jenjang Doktor (S3) dalam waktu tiga tahun 10 bulan. Sebetulnya di tingkat Asia sudah ada database DNA. Tapi lima suku ini belum ada.

Hastri merupakan polisi yang berpengalaman menjalankan tugas di bidang Disaster Victim Identification (DVI). Banyak kasus besar yang telah ditanganinya antara lain adalah tragedi bom Bali 1 tahun 2002, kecelakaan Malaysia Airlines MH-17 di Ukraina dan AirAsia QZ8501. Dia bahkan sering diminta bantuan hingga luar negeri karena keahliannya yang memang sudah tingkat dunia.
Penelitian terhadap 5 etnis terbesar di Indonesia

Dalam disertasinya, Hastry meneliti DNA mitokondria dari lima populasi di Indonesia yaitu Batak di Sumatera, Dayak di Kalimantan, Toraja di Sulawesi, Trunyan di Bali dan Suku Jawa di Pulau Jawa. Menurutnya, lima suku tersebut mewakili lima populasi besar yang ada di Indonesia.
Bagaimana perjuangan berat mengambil sampel DNA

Tidak mudah bagi Hastry untuk mendatangi lokasi-lokasi asli tempat mayat itu dimakamkan dan mengambil sample DNA mereka. Dia harus menuruti ritual di daerah setempat sebelum mengambil sampel DNA mayat-mayat tersebut. Awalnya memang tidak mudah, namun setelah dia memberikan penjelasan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, akhirnya diizinkan.

Dari 70 sampel yang diambil oleh Hastry, 50 sampel dapat terbaca DNA-nya. Usahanya melakukan penelitian selama setahun akhirnya membuahkan hasil. Kesimpulannya adalah meski semua DNA tidak ada yang sama, diketahui bahwa masyarakat Jawa, Batak dan Dayak memiliki kemiripan DNA sedangkan Toraja dan Trunyan memiliki perbedaan sendiri.

Jadi bisa dilihat dari DNA mitokondria mayat yang diteliti merupakan suku tertentu. Hal ini dikarenakan pola pewarisan dari ibu memiliki perbandingan genetika 1: 33 atau bisa diturunkan sampai 33 generasi.
Hasil penelitiannya itu tentu saja berguna bagi ilmu forensik di Indonesia. Selanjutnya hasil penelitian tersebut akan dimasukkan dalam database DNA suku-suku di Indonesia. Sehingga proses identifikasi korban kejahatan atau musibah dan bahkan tersangka pidana bisa lebih cepat.