Bangun Koalisi Super Gemuk, PKS Kritik Jokowi

Jakarta, IDN Times - Partai Amanat Nasional (PAN) resmi masuk dalam koalisi pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyindir gemuknya koalisi.
"Tapi Pak Jokowi lucu, membangun koalisi super gemuk. Padahal di periode dua fokusnya ke kinerja bukan ke akomodasi," kata Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, saat dihubungi, Senin (30/8/2021).
1. Masyarakat bisa jadi oposisi

Mardani mengatakan oposisi yang ideal adalah yang memiliki jumlah seimbang dengan koalisi pemerintahan. Meski saat ini oposisi hanya menyisakan PKS dan Demokrat, Mardani tidak mempermasalahkannya.
Sebab, dia menilai elemen masyarakat juga bisa menjadi oposisi. Mardani lalu menegaskan PKS akan tetap menjadi oposisi untuk mengawasi pemerintah.
"Oposisi tidak perlu jumlah jika mampu menjadi penjaga kepentingan publik. Kerjasama dengan media dan kelompok penekanan (masyarakat) bisa menjadikan oposisi kecil bersuara lantang dan dapat simpati publik," kata Mardani.
"Perkara PAN gabung koalisi itu hak setiap partai politik. Tentu masing-masing punya strategi tapi PKS merasa bahwa power tends to corrupt. Kekuasaan itu cenderung menyimpang, absolute power corrupts absolutely. Makin besar kekuasaan makin besar peluang penyimpangannya. Karena itu oposisi adalah pilihan yang rasional, etis dan logis," ucap Mardani.
2. PKB pastikan check and balance berjalan

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum PKB sekaligus Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid mengatakan kompleks parlemen tidak mengenal oposisi. Dia mengatakan semua parpol tetap berkomitmen untuk melakukan check and balance.
"Di parlemen kita tidak mengenal sistem oposisi, hanya saja ada parpol yang tidak di kabinet. Kita semuanya berkomitmen agar check and balance tetap berjalan. Presiden juga bertanggung jawab langsung pada rakyat bukan kepada DPR/MPR. Daulat rakyat kita pastikan berjalan," ujar Jazilul.
3. Minimnya oposisi dinilai membahayakan demokrasi

Diberitakan sebelumnya, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Ujang Komarudin mengatakan kehadiran oposisi sangat penting. Oposisi diperlukan untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah. Namun minimnya jumlah oposisi dibanding koalisi, lanjutnya, bisa membuat pemerintah menjadi dominan atau memunculkan 'kepentingan'.
"Nah kalau oposisinya minimalis, kalau oposisinya meninggalkan dua kekuatan partai politik yaitu PKS dan Partai Demokrat saja, artinya itu koalisi pemerintah dominan," kata Ujang, Senin (30/8/2021).
"Tidak ada kontrol, tidak ada pengawasan dari partai oposisi. Oleh karena itu tidak ada check and balances itu, tidak ada keseimbangan kekuasaan itu, tidak ada kontrol dan pengawasan dari oposisi itu. Ini yang berbahaya dari konteks berdemokrasi, gitu," dia menambahkan.
Senada dengan Ujang, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan komposisi oposisi dan koalisi pemerintahan tidak seimbang. Minimnya jumlah oposisi dia nilai menjadikan pengawasan lebih sulit dilakukan.
Meski jumlah oposisi dari parpol sedikit, Hendri ingin masyarakat harus optimis. Pengawasan, sambung dia, tetap bisa dilakukan. Dia lalu mengatakan masih ada pihak di luar parpol yang bisa menjadi oposisi, yakni media massa, civil society, dan masyarakat.
"Jadi gak apa-apa, ya mungkin inilah ujian dari rakyat Indonesia untuk terus memantau terjadinya atau penyelenggaraan pemerintahan, dan menjadi pengawas pengawasan pemerintahan secara langsung tanpa melalui wakil-wakilnya di DPR, gitu," ucap Hendri.