Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Banjir TKA: Fakta atau Paranoia?

BANJIR. Ilustrasi banjir tenaga kerja asing ke Indonesia. Foto dokumentasi Kemnaker.go,id

JAKARTA, Indonesia — Isu membajirnya tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia kembali mengemuka. Kali ini, kajian Ombudsman RI menyebutkan, sejak 2016 terjadi lonjakan jumlah TKA ke Tanah Air. Menurut Ombudsman, rata-rata TKA yang masuk merupakan pekerja informal dan tidak memiliki kompetensi mumpuni. 

Seolah mendapat bahan bakar, isu tersebut langsung ditanggapi dengan 'penuh gairah' oleh kalangan politikus di Senayan, khususnya dari kubu oposisi pemerintah. Mewakili Gerindra, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meneken usulan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket TKA sebagai respons terbitnya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang TKA. Di sisi lain, pemerintah membantah Indonesia banjir TKA. 

Kajian Ombudsman

Hasil investigasi Ombudsman menemukan sejumlah kebijakan pemerintah terkait TKA yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Hasil investigasi tersebut diungkapkan Komisioner Ombudsman Laode Ida di Kantor Ombudsman, Kuningan, Jakarta Pusat, Kamis, 25 April 2018. 

Menurut Laode, ada sejumlah kebijakan pemerintah yang justru memicu banjir TKA, baik legal maupun ilegal. Pertama, terkait ‘kemudahan’ TKA dari China bekerja. Meskipun digaji lebih besar, investor China tampaknya lebih senang membawa pekerja dari negeri sendiri. Parahnya, kebanyakan pekerja merupakan buruh dan pekerja kasar. 

“Di Morowali, sekitar 200 supir angkutan barang adalah TKA. Itu yang terjadi. Masa orang kita jadi supir saja enggak bisa? Ini menyalahi aturan karena seharusnya TKA memiliki keahlian khusus dan menduduki level manajer ke atas,” ujarnya. 

Kedua, penghapusan kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA lewat Permenaker Nomor 35 Tahun 2015. Menurut Laode, hal itu turut memacu banjir TKA ke Tanah Air, khususnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. “Ini persoalan mendasar yang harusnya diselesaikan,” imbuh Laode.

Ketiga, terkait bebas visa bagi TKA. Kebijakan ini diteken Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016. Temuan Ombudsman di lapangan, menurut Laode, banyak TKA yang berpura-pura menjadi wisatawan, namun justru bekerja di dalam negeri secara ilegal. “Pengawasan imigrasi di bandara juga tidak siap untuk mengantisipasi hal ini. Harusnya di setiap Bandara harus ada deteksi awal terhadap TKA itu,” ujar Laode. 

Keempat, gaji pekerja asing yang jauh lebih besar daripada gaji pekerja lokal meskipun bekerja untuk posisi yang sama. Bahkan, menurut Laode, perbedaan gaji bisa mencapai 3 kali lipat. Terakhir, pengawasan yang lemah oleh Tim Pengawasan Orang Asing (PORA). “Ombudsman bahkan menemukan bahwa ada sejumlah perusahaan yang mempekerjakan TKA tanpa Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA),” ujar Laode. 

Reaksi Senayan

Politikus-politikus Senayan langsung bereaksi keras terhadap temuan Ombudsman ini. Dimotori Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, DPR menggulirkan rencana membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Perpres TKA. Fadli berdalih, Pansus dibutuhkan untuk menyelidiki persoalan membanjirnya TKA ke Indonesia. 

“Jumlah tenaga kerja asing yang masuk dalam setahun itu hampir dua kali lipat dari fakta resmi. Belum lagi data yang tidak resmi. Jika dibiarkan, Perpres TKA bakal menambah pekerja asing ilegal di Indonesia,” ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. 

Senada, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf membuka peluang dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Tenaga Kerja Asing (TKA). Menurut Dede, hingga kini masih banyak rekomendasi DPR yang tidak ditindaklanjuti pemerintah pascaterbitnya Perpres TKA. "Kami mendesak pemerintah menjalankan rekomendasi tersebut. Jika tidak bisa, maka bisa naik ke pansus," cetus politikus Partai Demokrat itu. 

Di sisi lain, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, menilai, pembentukan Pansus Angket TKA belum urgen. Sebagai jalan tengah, ia meminta Komisi IX DPR segera memanggil Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengklarifikasi temuan Ombudsman itu. “Mengingat hasil temuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik. Ini sekaligus untuk memberikan solusi bagi pelaksanaan Perpres TKA,”  kata Bamsoet 

Bantahan Pemerintah

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat per Maret 2018, ada sekitar 126 ribu TKA bekerja di Indonesia. Angka ini bertumbuh 69,85 persen jika dibandingkan posisi akhir 2016, yakni 74.813 orang. Namun demikian, Menaker Hanif Dhakiri mengatakan, jumlah TKA di Indonesia masih proporsional. 

“Jika dibandingkan dengan TKI kita di luar negeri juga jauh sekali. TKI kita di Malaysia saja mencapai 2.3 jutaan, Singapura 150 ribuan, Hongkong 150 ribuan, Macau 20 ribuan, Taiwan 200 ribuan. Belum TKI kita di Arab Saudi dan Timur Tengah, Asia Pacifik, Eropa dan Amerika. Jauh lebih besar jumlahnya dibanding TKA di Indonesia. Menurut survei World Bank dan BPS, TKI kita mencapai 9 juta orang di seluruh dunia,” ujar Hanif. 

Default Image IDN

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menganggap reaksi parlemen terkait naiknya jumlah TKA berlebihan. Ia menuding, isu tersebut sengaja ‘digoreng’ kubu oposisi untuk menggoyang pemerintahan Jokowi jelang Pilpres 2019.

“Sepertinya [Pansus Angket] lebih berat ke politis. Saya mantan Panglima TNI, saya tahu bagaimana harus mengamankan negara. Siapapun kepala negaranya, mulai dari Sukarno hingga sekarang tidak ada yang ingin mengorbankan negaranya untuk kepentingan lain,” kata Moeldoko seperti dilansir Antara. 

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut Perpres TKA tidak mengandung perubahan krusial jika dibandingkan dengan regulasi lama. Perpres itu hanya memuat perubahan teknis administrasi seperti surat izin atau visa bekerja. "Padahal sebetulnya adalah bagaimana menyederhanakan prosedur administrasi untuk tenaga kerja asing, eh jadi berbeda (informasi yang beredar). Inilah yang namanya politik," ujar Jokowi.

Apa kata pengamat?

Jauh sebelum isu Pansus Angket TKA digulirkan di Senayan, pakar komunikasi politik Effendi Ghazali sempat menyebut isu TKA bakal menjadi salah satu isu yang bakal dimainkan menjelang Pilpres 2019. “Bersama politisasi agama, isu serbuan tenaga kerja asing merupakan isu utama yang bakal ramai,” ujar dia saat berbincang dengan Rappler, bulan lalu. 

Hal itu diamini peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Adji Al Farabi. Ia menilai, polemik isu TKA bisa melemahkan elektabilitas Jokowi di Pilpres jika dimainkan dalam jangka panjang. “Salah satu masalah yang dianggap prioritas bagi masyarakat kan masalah lapangan kerja yang sulit, sehingga di satu sisi rakyat kita masih kesulitan mencari pekerjaan, di sisi lain dibuka keran masuknya tenaga kerja asing," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com

Di sisi lain, Direktur Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat (Lekat), Abdul Fatah, mengungkapkan, masuknya TKA ke Indonesia ialah suatu keniscayaan. Karena itu, publik tidak perlu paranoid menyikapinya. Terlebih, sejak 2005, Indonesia sudah memasuki era ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA mengubah wajah ASEAN menjadi kawasan bebas aliran barang, jasa, investasi, permodalan, dan tenaga kerja. 

Selain itu, menurut Fatah, Indonesia tidak perlu merasa dijajah China meskipun banyak warga negara China bekerja di Indonesia. Pasalnya, jumlah TKI yang bekerja di China justru lebih banyak daripada jumlah TKA asal China yang bekerja di Indonesia. 

“Sebanyak 252 ribu TKI bekerja di Taiwan. Apakah rakyat Taiwan merasa dijajah Indonesia? Tidak. Jumlah TKI yang bekerja di China 81 ribu orang, sementara TKI di Hongkong 153 ribu orang, di Macau 16 ribu orang, lantas apakah rakyat China, Hongkong dan Macau merasa dijajah oleh Indonesia? Tidak," tegasnya. 

—Rappler.com 

Share
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us