Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

BEM SI Kecam Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

BEM SI
Demo BEM SI terkait satu tahun Prabowo-Gibran di kawasan Monas, Jakarta, Senin (20/10/2025). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu)
Intinya sih...
  • Pemerintah mengabaikan catatan kelam pelanggaran HAM berat Muzammil menyoroti serangkaian tragedi kelam yang terjadi di era Soeharto.
  • Menormalisasi kekerasan dan korupsi sistematis Alasan kedua yang ditekankan adalah warisan kekerasan dan korupsi yang masif.
  • Pendapat mahasiswa lainnya tentang kenaikan Seoharto Senada dengan BEM SI, Staf Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI  Hana Gloriana Hutagalung juga turut menolak pengangkatan Soeharto menjadi salah satu pahlawan nasional.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Muzammil Ihsan, menegaskan penolakannya terhadap keputusan pemerintah yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Keputusan ini dinilai bukan hanya mencederai rasa keadilan rakyat, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah bangsa sendiri.

Menurut Muzammil, keputusan yang diambil pada 10 November lalu itu dinilai mengabaikan respons dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Ia menegaskan sejarah kelam pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan kekerasan sistematis selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru tidak boleh dilupakan begitu saja.

“Kami menolak dengan tegas keputusan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Keputusan ini bukan hanya mencederai rasa keadilan rakyat, tetapi juga mengkhianati sejarah bangsa sendiri,” kata Muzammil kepada IDN Times melalui aplikasi berbalas pesan, Selasa (11/11/2025).


1. Mengabaikan catatan kelam pelanggaran HAM berat

Ilustrasi pelanggaran HAM (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi pelanggaran HAM (IDN Times/Aditya Pratama)

Muzammil menyoroti serangkaian tragedi kelam yang terjadi di era Soeharto. Ia menyebutkan peristiwa seperti Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, hingga kekerasan di Aceh seperti Tragedi Rumah Geudong. 

Selain itu, ia juga mengingatkan pada Tragedi Trisakti 1998 yang menewaskan mahasiswa pejuang reformasi serta penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Bagi BEM SI, semua peristiwa ini adalah luka kolektif bangsa yang belum sembuh, dan mengangkat pelakunya sebagai pahlawan sama saja menutup mata terhadap penderitaan korban.

“Memberi gelar pahlawan kepada sosok yang bertanggung jawab atas begitu banyak pelanggaran dan penderitaan rakyat berarti menormalisasi ketidakadilan dan menutup mata terhadap penderitaan korban,” ujarnya


2. Menormalisasi kekerasan dan korupsi sistematis

Ilustrasi korupsi (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi korupsi (IDN Times/Aditya Pratama)

Alasan kedua yang ditekankan adalah warisan kekerasan dan korupsi yang masif. Muzammil menyebut pembunuhan massal 1965-1966, Pembantaian Santa Cruz di Timor Timur (1991), dan kekerasan di Papua sebagai bagian dari catatan kekerasan sistematis. Di sisi ekonomi, ia menyoroti kasus korupsi yang disebut sebagai terbesar di dunia dengan kerugian negara diperkirakan 15-35 miliar dolar AS. Pemberian gelar pahlawan kepada sosok dengan rekam jejak demikian dinilai menormalisasi ketidakadilan dan mengkhianati rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan ketakutan pada masanya.

“Bila pemerintah benar-benar ingin menulis buku biografi pahlawan nasional, maka biarlah isinya diisi oleh tokoh-tokoh yang benar-benar memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan mereka yang menodai nilai-nilai itu,” kata Muzammil.

3. Pendapat BEM UI tentang gelar Pahlawan untuk Soeharto

WhatsApp Image 2025-10-20 at 16.51.31 (1).jpeg
Penyebutan 8 Tuntutan BEM UI bertajuk Asta Cita Rakyat dalam demo setahun Prabowo-Gribran. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Senada dengan BEM SI, Staf Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI Hana Gloriana Hutagalung juga turut menolak pengangkatan Soeharto menjadi salah satu pahlawan nasional. Menurutnya, pemerintahan Soeharto identik dengan rezim yang otoriter dan membatasi kebebasan sipil dan juga politik.

“Di tengah masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum dituntaskan sama negara, harusnya seseorang yang terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM menjadi pahlawan merupakan hal yang sangat kontradiktif,” ujar Hana kepada IDN Times melalui aplikasi berbalas pesan, Selasa (11/11/2025).

Hana menambahkan, pemerintah seharusnya lebih berhati-hati agar tidak terjadi distorsi sejarah atau glorifikasi terhadap sosok yang justru terlibat dalam sejarah pelanggaran ham dan praktik korupsi, terutama jika ada wacana untuk penulisan kembali tentang pemerkosaan massal yang terjadi.

“Terutama ini konteksnya adalah ketika menjadi pahlawan nasional gitu. Itu sama aja dengan kita mengkhianati nilai-nilai keadilan dan juga demokrasi yang diperjuangkan oleh korban,” kata Hana.


Sebelumnya, di hari Senin tanggal (10/11/2025) Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh dari berbagai daerah dan latar perjuangan. Salah satunya adalah Presiden ke-2 RI Jenderal Besar TNI Soeharto. Pengangkatan tersebut menuai berbagai respons dari masyarakat. Salah satunya adalah Aliansi Perempuan Indonesia (API) yang mengecam diangkatnya Soeharto menjadi pahlawan nasional. 

"Sejarah negeri kita telah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Jenderal Soeharto telah mempraktikkan pendekatan kekuasaan represif militeristik yang membunuh, merampas kemerdekaan, menyiksa warga negara yang kritis, melarang peredaran buku-buku sejarah yang kritis dan melakukan pembredelan terhadap media," tulis API dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).


Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
Delvia Y Oktaviani
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us

Latest in News

See More

31 Narapidana Tewas dalam Kerusuhan di Penjara Ekuador

12 Nov 2025, 02:42 WIBNews