Aliansi Perempuan: Soeharto Tak Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

- Tubuh dan pemikiran perempuan dikekang lewat ideologi “Ibuisme Negara”
- Prabowo disebut sentralistis dan mengabaikan partisipasi masyarakat
- Sebut narasi menyesatkan tentang kepahlawanan Soeharto
Jakarta, IDN Times - Aliansi Perempuan Indonesia (API) mengecam dan menolak penetapan gelar pahlawan Presiden RI ke-2, Jenderal Besar HM Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto.
API juga menegaskan Soeharto tidak layak menyandang gelar tersebut karena Soeharto disebut sebagai simbol represi, kekerasan, dan pembungkaman politik selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya.
"Sejarah negeri kita telah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Jenderal Soeharto telah mempraktikkan pendekatan kekuasaan represif militeristik yang membunuh, merampas kemerdekaan, menyiksa warga negara yang kritis, melarang peredaran buku-buku sejarah yang kritis dan melakukan pembredelan terhadap media," tulis API dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
1. Tubuh dan pemikiran perempuan dikekang lewat ideologi “Ibuisme Negara”

API mengatakan, Soeharto dan rezim Orde Baru, melalui berbagai operasi militer, telah menghancurkan gerakan politik dan organisasi perempuan. Tubuh dan pemikiran perempuan dikekang lewat ideologi “Ibuisme Negara” yang menempatkan perempuan semata-mata sebagai pelengkap laki-laki dan pengurus rumah tangga.
"Ideologi yang membatasi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga ideal ini telah menyingkirkan perempuan dari ruang politik dan ekonomi, sekaligus memaksa perempuan menopang ekonomi keluarga dengan kerja tanpa jaminan, upah layak, maupun pengakuan hukum. Sistem penindasan inilah yang kemudian melahirkan generasi pekerja rumah tangga dan buruh migran yang terus bertahan hingga kini," ungkap API.
2. Prabowo disebut sentralistis dan mengabaikan partisipasi masyarakat

Pada Senin, 10 November 2025 gelar pahlawan diberikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Pemberian gelar ini dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara.
Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari gerakan tokoh kemanusiaan, sejarawan, akademisi, dan aktivis, dalam waktu singkat berhasil menghimpun lebih dari 500 tanda tangan sebagai bentuk penolakan terhadap pemberian gelar tersebut.
Pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, yang sebelumnya gagal disahkan pada pemerintahan-pemerintahan terdahulu namun kini ditetapkan oleh Presiden Prabowo, merupakan langkah mundur bagi demokrasi hari-hari ini.
"Keputusan ini sekaligus mempertegas sikap Presiden Prabowo yang mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin yang sentralistis dan mengabaikan partisipasi serta aspirasi masyarakat," tulis API.
3. Sebut narasi menyesatkan tentang kepahlawanan Soeharto

Dalam momentum Hari Pahlawan, mereka juga menyoroti sederet kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama rezim Orde Baru dan menuntut negara mengusut tuntas seluruh pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan.
"Kami menolak narasi menyesatkan tentang kepahlawanan Soeharto dan akan terus menegaskan bahwa Soeharto bukanlah pahlawan," ungkap API.
4. Pemerintah belum tunjukkan penanganan kasus HAM

Mereka menilai pemerintah belum menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan akuntabilitas hukum atas berbagai kasus, seperti pembunuhan Marsinah, perkosaan massal Mei 1998, penghilangan orang secara paksa 1997–1998, penembakan misterius 1982–1985, hingga tragedi Semanggi I dan II. Mereka juga menyoroti kekerasan di wilayah konflik seperti Aceh, Papua, dan Poso yang meninggalkan luka panjang bagi korban.
Selain itu, rezim Soeharto dianggap telah memperburuk kondisi sosial-ekonomi rakyat, terutama perempuan, melalui kebijakan revolusi hijau yang menyebabkan ketergantungan petani dan pemiskinan struktural. Kontrol terhadap tubuh perempuan melalui program kontrasepsi paksa dan ideologisasi peran domestik juga menjadi bentuk penindasan.


















