Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Darurat Kekerasan Aparat, Bivitri: Polisi Bukan Alat Kekuasaan!

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (IDN Times/Rochmanudin)
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (IDN Times/Rochmanudin)
Intinya sih...
  • Momentum reformasi Polri harus diciptakan, bukan menunggu momentum besar terjadi
  • Pentingnya memahami Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
  • Kondisi kekerasan polisi pada masyarakat menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip ideal
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Akademisi STHI Jentera, Bivitri Susanti mengatakan dalam aturan di Pasal 30 UUD 1945 menegaskan peran Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Namun, pelaksanaan di lapangan sering jauh dari ideal.

Dia menyoroti pentingnya memahami Polri sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan. Istilah ini juga berlaku bagi TNI dan BIN. Sayangnya, realitas menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip tersebut.

“Sebenarnya tujuannya adalah untuk mengatakan bahwa Kepolisian ini tidak boleh jadi alat kekuasaan. Sebenarnya,” kata dia dalam konferensi pers: Kekerasan Aparat Makin Darurat?, Senin (9/12/2024).

 

1. Kondisi yang ada jauh dari kenyataan

Ilustrasi penyelidikan polisi (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi penyelidikan polisi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia mengatakan, kondisi kekerasan polisi pada masyarakat yang ada ternyata menunjukkan sesuatu yang jauh dari kenyataan. Salah satunya adalah soal kekerasan yang dilakukan polisi bisa dijustifikasi atau tidak.

“Nah, karena sebenarnya kita disuguhkan yang tadi dinyatakan sebagai pertanyaan kunci, sebenarnya, bahwa yang kita lihat sekarang jauh dari kenyataan. Misalnya saja, kalau pertanyaannya adalah apakah secara hukum semua yang mereka lakukan itu bisa dijustifikasi? Jelas tidak," katanya.

2. Penggunaan senjata api yang tak sesuai SOP hingga gas air mata

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti ketika berbicara di program Real Talk. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti ketika berbicara di program Real Talk. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Salah satunya yang disoroti adalah penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Padahal dalam aturan yang ada semua tindakan sudah tertuang sangat detail dan disebut tak ada yang kurang.

"Dari segi peraturan perundang-undangan, SOP itu bentuknya Perkap, peraturan Kapolri, lengkapnya luar biasa. Penggunaan senjata, jadi enggak boleh karena senggolan motor saja terus seorang anak SMA didor, itu nggak boleh. Tembak polisi jelas tidak boleh," katanya.

Pasalnya, penggunaan senjata, mulai dari mengeluarkan peluru hingga memasukkannya saja harus dihitung sebelum dan setelah bertugas. Dia juga menyoroti penggunaan gas air mata dan water cannon juga yang kerap digunakan tanpa memperhatikan aturan. 

 

3. Momentum reformasi Polri harus diciptakan

Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit Prabowo (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit Prabowo (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Momentum upaya menciptakan reformasi Polri sebenarnya pernah ada, seperti saat kasus Ferdy Sambo terungkap. Namun, alih-alih menjadi pijakan perubahan, enam perwira yang terlibat justru mendapatkan kenaikan pangkat saat ini. Padahal momentum reformasi polri itu, kata Bivitri harus diciptakan, bukan menunggu momentum.

"Karena momentum besar itu sudah terjadi, misalnya kasus Sambo, yang kemudian kita baru saja baca kemarin dan hari ini, ternyata enam perwira yang terlibat dalam kasus Sambo bahkan sudah naik jabatan. Jadi bukan saja momentumnya hilang, tapi memang seperti tidak ada apa-apa. Jadi menyedihkan sekali," katanya.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Dwifantya Aquina
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us