Disaksikan Bocah-bocah, MR Merintih Menahan Perih

Oleh Habil Razali
BANDA ACEH, Indonesia—Perempuan berinisial MR itu tampak lemah saat dua polisi syariat memboyongnya dari dalam masjid. Kedua tangannya menarik erat bagian bawah jilbab untuk menutupi seluruh wajahnya, kecuali bagian mata yang tampak sembab. Tanpa alas kaki, perempuan berusia 24 tahun itu berjalan menuju panggung utama.
Teriakan penonton terdengar keras dan meriah saat MR berada di tengah panggung. Penonton mengangkat tinggi-tinggi telepon genggam mereka: merekam dan memotret.
MR bukan penyanyi dangdut. Dia bukan hendak beraksi di panggung seukuran 3x4 meter itu. Perempuan malang itu, hendak menjalani eksekusi uqubat cambuk di halaman Masjid Jamik Lueng Bata, Desa Batoh, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada Jumat pagi, 20 April 2018.
MR divonis hukuman cambuk sebanyak 15 kali karena melanggar qanun jinayat tentang jarimah, atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam. Empat cambukan diambil dari masa hukuman selama 4 bulan yang telah ia jalani. Jadi, total hanya 11 cambukan yang tersisa.
Menurut hakim, MR terbukti menyelenggarakan dan menyediakan fasilitas, mempromosikan tindak pidana khalwat. Pertengahan Oktober 2017 lalu, MR bersama temannya ditangkap di sebuah hotel di pinggiran Kota Banda Aceh. Dia merupakan satu dari sejumlah pekerja seks komersial (PSK) dalam kasus prostitusi berbasis online yang ditangkap pihak kepolisian.
Di bagian tengah panggung, MR kemudian didudukkan. Saat algojo mulai mencambuk, suara rintihan terdengar dari mulut MR. Matanya berair. Tangannya terus menutupi wajah dengan jilbab. Warga yang dibatasi pagar di sekeliling panggung terus bersorak. Hingga akhirnya cambukan ke-11, MR dipapah turun dari panggung, lalu kembali masuk ke masjid.
Setelah MR, giliran NA yang bersiap untuk dicambuk. Perempuan berusia 22 tahun itu rekan seprofesi MR. Keduanya merupakan pelaku prostitusi online yang ditangkap di sebuah hotel di Banda Aceh. Sama dengan MR, NA dihukum 11 kali cambuk karena melanggar qanun jinayat.
Berulangkali nama NA telah dipanggil. Penonton berteriak dan tertawa saat mendengar nama dia. Namun, perempuan itu belum juga muncul. Setelah dipanggil untuk kedua kalinya, baru NA keluar dari masjid sambil menangis. Petugas memapahnya menuju panggung eksekusi. Warga berebutan mengabadikan melalui telepon genggam.
Setiba di atas panggung, NA masih menangis. Petugas berusaha menenangkan dan menanyakan apakah dia siap menerima cambukan. Tidak lama, NA mengangguk kepala, pertanda siap. Petugas kemudian memberi aba-aba kepada algojo yang telah siap dengan rotan di tangan kanannya. "Algojo siap? Satu..!" perintah petugas.

Cambuk rotan pun langsung menghempas punggung NA. Hingga hitungan ke-empat, NA masih tegar meskipun tangannya gemetaran. Air mata berlinang dari matanya yang memerah. Pada cambukan kelima, perempuan itu mengangkat tangannya karena tidak sanggup.
Petugas kesehatan yang siaga di atas panggung dengan cepat memeriksanya dan memberikan air mineral. "Na mangat? (Ada enak?)" ujar salah seorang di antara kerumunan saat melihat hal itu. Penonton yang lain bersorak dan tertawa. Selang dua menit, cambukan dilanjutkan hingga usai.
Pelaksanaan hukum cambuk terhadap dua pelaku prostitusi online itu bersamaan dengan pencambukan enam terdakwa lain dengan tuntutan melakukan pelanggaran ikhtilat, di antaranya Yus, sebanyak 11 kali cambukan, Zuh 17 kali, PA 22 kali, RA 11 kali, EM 17 kali, dan RM 22 kali.
Eksekusi cambuk digelar sejak pukul 10:00 WIB hingga menjelang salat Jumat. Di antara kerumunan warga, terlihat sejumlah bocah yang masih mengenakan seragam sekolah berdiri di atas pagar yang tidak terpaut jauh dari panggung. Padahal petugas berulang kali memberikan imbauan melarang anak-anak berumur di bawah 18 tahun berada di lokasi.
Usai pelaksanaan hukuman, Wakil Walikota Banda Aceh Zainal Arifin mengatakan, pelaksanaan hukuman cambuk merupakan komitmen pemerintah daerah untuk menerapkan syariat Islam. Menurutnya, pelaksanaan hukuman sesuai syariat penting agar ajaran Islam akan terus eksis, hidup, dan berkembang.
"Semoga menjadi ikhtiar bagi kita semua yang menyaksikan dan berefek jera bagi pelaku. Yang menyaksikan langsung maupun di Youtube dan di internet-internet. Oleh karenanya, kami berharap agar pelaku setelah ini dapat bertobat dan tidak mengulangi perbuatannya," kata Zainal.
Kepada warga yang menonton, Zainal mengingatkan, agar hukuman cambuk tidak dijadikan ajang untuk mengejek dan menertawakan pelaku. "Tapi, sebagai bahan ajaran bagi kita semua. Bahwa semua yang kita lakukan ada konsekuensinya."
Salahi Pergub
Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap MR dan NA sebenarnya menyalahi Peraturan gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Disebutkan dalam Pergub yang diterbitkan pada 12 April 2018 itu, pelaksanaan cambuk wajib dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan (LP) sehingga tidak menjadi tontonan warga. Namun Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, belum pernah menjelaskan kapan aturan itu bakal resmi diberlakukan.
Zainal berkilah, Pemkot Banda Aceh tetap menggelar prosesi cambuk sesuai dengan peraturan yang telah ada dalam qanun jinayat. Dia berdalih, tidak berniat melawan Pergub. "Tetapi kita masih mengacu dan memegang pendapat ulama kita. Jadi menurut informasi, Pergub itu belum diatur tata laksana dan petunjuk teknisnya belum tahu seperti apa," imbuh Zainal.
Zainal menegaskan, sebelum aturan baru yang ditentukan dalam Pergub jelas mengatur tata laksana cambuk di LP, pihaknya tetap menggunakan aturan yang lama. "Kita tetap mengacu pada ulama. Kita duduk dengan ulama Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh. Kalau menurut MPU (Pergub) itu memenuhi syarat pelaksanaan syariat Islam, maka akan kita laksanakan. Kita mendengar fatwa ulama," katanya.
Tak Sepakat
Pernyataan Zainal senada dengan keinginan sejumlah elemen masyarakat di Banda Aceh. Kamis, 19 April lalu misalnya, massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Pembela Syariat (GRPS) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Aceh dan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Banda Aceh untuk menuntut penegakan syariat Islam secara kaffah dan menolak Pergub.
Dalam aksinya, massa membawa sejumlah spanduk dan poster, di antaranya bertuliskan “Rakyat Aceh Tolak Cambuk di Lapas dan “Kami tidak Tahu HAM, yang Kami Tahu Syariat Islam Harga Mati”. Ketika itu, adu mulut dan saling dorong sempat terjadi antara peserta aksi dan aparat keamanan saat perwakilan mahasiswa akan menyerahkan berkas tuntutan kepada perwakilan Pemprov Aceh.
“Tadinya aksi kami berjalan damai, dengan menuntut dicabutnya Pergub Nomor 5 soal pelaksanaan cambuk di dalam Lapas. Tadi mahasiswa mau menyampaikan aspirasi, namun ada yang menghalang–halangi hingga bentrok,” ujar Khairul Rizal, koordinator aksi, seperti dikutip dari Acehkita.com.
Hingga kini, hukuman cambuk masih dilaksanakan sebagai bagian dari qanun jinayat yang diterapkan di provinsi paling barat Indonesia itu. Sebelumnya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menegaskan, telah sepakat dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk memindahkan eksekusi hukuman cambuk ke LP.
Namun, bukan karena Pemprov merasa hukuman cambuk bakal berdampak negatif jika ditonton anak-anak. Alasannya ternyata lebih berbasis hitung-hitungan ekonomis. "Agar investor tidak fobia untuk menanam saham di Aceh. Ini juga dapat membantu peningkatan dan lajur ekonomi di sini," kata Irwandi seperti dikutip BBC Indonesia, pada 12 April lalu.
—Rappler.com