Eks Densus: Ledakan SMAN 72 Dipicu Anak Cari Pengakuan Lewat Aksi

- Pola ketidakadilan memicu aksi balasan destruktif
- Regulasi diperlukan untuk mengatur ruang siber tanpa membatasi kebebasan anak
- Pelaku peledakan di SMAN 72 Jakarta pernah lapor bullying tapi tak direspons sekolah
Jakarta, IDN Times - Eks Kepala Densus 88, Komjen Pol Marthinus Hukom membingkai kasus peledakan SMAN 72 Jakarta oleh siswa berinisial FH, lekat dengan teori struggle for recognition, yang menyiratkan seakan-akan pelaku ingin menunjukkan dirinya kuat.
Dia menjelaskan ketika anak mengalami perlakuan merendahkan, situasi tersebut dapat memicu rasa frustrasi dan perasaan tidak berdaya. Namun diekspresikan lewat kekerasan.
"Untuk strugle for recognition, anak-anak butuh pengakuan, jika mereka dibuli mereka bisa frustasi kecewa dengan situasi, dan mereka merasa sebagai anak yang lemah. Pada titik tertentu, mereka akan menunjukan bahwa mereka tidak selemah seperti itu, pada akhirnya mereka bisa melakukan kekerasan untuk menunjukan bahwa mereka bukan orang lemah," kata dia kepada IDN Times, Senin (17/11/2025).
1. Pola ketidakadilan yang memicu aksi balasan destruktif

Menurut Marthinus pola yang sama tidak hanya terjadi pada relasi antarindividu, tetapi juga terlihat pada berbagai konflik berskala lebih besar. Ketidakadilan dan serangan terhadap martabat, baik pada individu maupun kelompok, dapat memicu aksi balasan yang bersifat destruktif.
“Semua konflik-konflik di dunia juga memiliki konstruksi konsep yang sama. Adanya ketidakadilan dan penghinaan penyerangan terhadap martabat individu maupun kelompok, dan akhirnya pihak yang diperlakukan tidak adil itu melakukan perlawanan. Ini bentuk strugle for recognation,” kata dia.
2. Perlu membuat regulasi untuk mengatur bukan membatasi
Pengaturan di ruang siber dianggap penting, agar anak tetap aman tanpa membatasi kebebasan mereka. Regulasi dibutuhkan untuk memastikan mekanisme pengawasan berjalan jelas, terstruktur, dan berpihak pada perlindungan anak.
"Perlu membuat regulasi untuk mengatur bukan membatasi ya, tapi mengatur tentang pengawasan anak di ruang siber," kata dia.
3. Pernah lapor bullying tapi tak direspons sekolah

Sebelumnya, Marthinus mengungkapkan pelaku peledakan di SMAN 72 Jakarta sempat melapor kepada gurunya, mengenai aksi perundungan yang dialami sebelum peledakan bom rakitan itu. Dia menjelaskan informasi tersebut ia dapatkan langsung dari penyidik yang menangani kasus ini.
"Itu berdasarkan hasil investigasi lapangan terhadap pelaku, dan saya tidak akan berbicara tentang itu kalau saya tidak mendapatkan langsung dari penyidik," ujarnya.
Menurutnya dugaan tidak adanya respons dari pihak sekolah terkait laporan perundungan tersebut, menjadi pertanyaan penting yang harus dijawab pihak SMAN 72 Jakarta.
"Untuk mengenai tidak respons sekolah terhadap perundungan itu silakan ditanyakan ke sekolah," ujarnya.

















