Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di Palu

Kisah unik sekaligus memilukan di Palu

Jakarta, IDN Times - Mendengar kata gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, apa yang ada di pikiran kamu? Mungkin sebagian di antara kamu merasa ngeri, sedih, atau trauma. Apalagi jika ikut merasakan dan melihat langsung saat bencana melanda.

Begitu juga saya, yang ditugaskan meliput pasca-gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan Sigi, dari tempat saya bekerja, IDN Times. Penasaran bagaimana perjalanan saya selama meliput di sana? Yuk simak berikut ini.

1. Pengalaman pertama meliput bencana

Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di PaluIDN Times/Rehuel Willy Aditya

Pagi itu, Sabtu (29/9), ketika saya sedang menikmati libur akhir pekan sambil asyik keliling perumahan, untuk sekadar memanaskan kendaraan yang lama tak pernah dipakai, tiba-tiba saya mendapatkan telepon dari editor senior saya. Dengan nada tergesa-gesa dan tidak tega, ia berbicara tentang penugasan saya ke Palu.

“Fit, lo ditugasin sama Mbak Uni buat ke Palu. Mau ya? Tiketnya lagi diurus Puput (sekretaris redaksi)," ujar Ita di ujung telepon. 

“Oke Mba Ita, gue siap-siap,” jawabku tanpa pikir panjang dengan rasa senang bercampur takut.

Hari itu juga saya langsung berangkat ke Palu menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdana Kusuma pukul 19.55 WIB, dengan terlebih dahulu singgah di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Keesokan harinya, Minggu (30/9), saya tiba di Poso dan melanjutkan perjalanan menggunakan jalur darat menuju Palu, karena tak ada pesawat langsung menuju ke Bandara Mutiara SIS Al-jufrie, Palu. Bandara di Palu itu rusak. 

Tidak ada penerbangan. Landasan pacu dan sistem Air Traffic Controller (ACT) atau pemandu lalu lintas udara rusak setelah guncangan gempa.

2. Sulitnya menuju Kota Palu pasca-gempa dan tsunami

Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di PaluIDN Times/Rehuel Willy Aditya

Tak ada yang dikenal dan mengenal. Saya harus mencari teman baru setibanya di Poso, untuk melanjutkan perjalanan darat ke Palu. Mata ini terus memperhatikan orang-orang di sekitar saya, hingga akhirnya saya bertemu Lana di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar yang sedang menelepon istrinya di Palu.

“Aku sudah di Makassar, sebentar lagi pesawatku flight ke Poso. Nanti akan ada yang jemput di sana. Tunggu aku ya,” ucap Lana kepada istrinya melalui sambungan telepon yang terputus-putus.

Lana yang saya sapa "mas Lana" itu adalah pegawai Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) wilayah Palu. Sementara, saat gempa dan tsunami melanda Palu, lulusan STAN angkatan 2005 ini sedang melakukan perjalanan dinas di Jakarta.

Saya yang berada persis di sebelah Lana, langsung berbalik arah ke hadapan dia, untuk mengajak berkenalan. Tanpa pikir panjang, saya mengajak dia jalan bareng untuk melanjutkan perjalanan darat dari Poso ke Palu yang jaraknya kurang lebih 200 kilometer. Dengan senang hati, Lana mengiyakan ajakan saya. 

Setibanya di Bandara Poso sekitar pukul 11.00 Wita, Lana yang sudah membuat janji dengan temannya tiba-tiba kehilangan komunikasi, karena jaringan telepon selular terganggu. Kami berdua terpaksa harus memutar otak untuk bisa melanjutkan perjalanan. 

Hingga akhirnya kami bertemu Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Kabupaten Poso Rama Tandawuya yang juga hendak ke Palu untuk mencari istrinya di sana. Saat bencana melanda Palu, ia sedang dinas di Jakarta. Kami menumpang mobil Rama yang dijemput sopirnya.

Sepanjang perjalanan ke Palu, mata ini terus menyaksikan ribuan orang akan meninggalkan kota yang sudah luluh lantak dilanda gempa dan disapu gelombang tsunami itu. Sepeda motor dan mobil lalu lalang karena jalan penghubung antara Palu dan Poso sudah kembali normal dan bisa dilintasi. Takut bercampur sedih rasanya melihat wajah mereka.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam, kami akhirnya tiba di Palu pukul 19.30 Wita. Kota ini terlihat seperti kota mati. Tidak ada listrik, gelap-gulita, rumah dan bangunan rata dengan tanah. Bahkan, saya melihat ada kapal nelayan terdampar di pinggir jalan, karena disapu gelombang tsunami yang begitu dahsyat.

Karena hari sudah malam, saya diajak Lana menginap di kompleks dinas pejabat BPKP untuk sementara waktu, sambil terus berkomunikasi dengan teman-teman media lain yang telah tiba terlebih dahulu. Saya pun disambut hangat oleh rekan-rekan kerja sebaya Lana, yang rata-rata orang asli Jakarta. Makanan dan minuman di tempat ini terjamin. Saya pun tidur di tenda yang telah disediakan.

“Fitang, kalau lo butuh apa-apa bilang aja, ya. Di sini ada temen-temen gue, nanti minta tolong mereka saja. Gue udah titipin lo ke mereka,” kata Lana, sembari berjabat tangan dan meninggalkan saya, karena harus menjemput istrinya yang sudah satu minggu ia tinggalkan.

3. Situasi di Kota Palu pasca-gempa dan tsunami tidak kondusif

Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di PaluIDN Times/Rehuel Willy Aditya

Keesokan harinya, Senin (1/10), saya diantarkan teman Lana bernama Icad, ke Korem 132/Tadulako yang berada di Jalan Sudirman. Menurut informasi, di sana merupakan media center dan tempat singgah para jurnalis yang datang dari Jakarta. Setibanya di Korem, saya disambut teriakan ratusan warga Palu yang kelaparan dan meminta bantuan makanan.

“Bantu kami Pak, jangan kau biarkan kami mati kelaparan. Rumah kami, tempat tinggal kami sudah hancur, sekarang kami kelaparan,” teriak seorang ibu yang antre ingin mengambil bantuan sembako.

Korem 132/Tadulako memang merupakan tempat utama penyaluran logistik bagi masyarakat terdampak bencana di Palu. Penyerahan bantuan hanya satu pintu di tempat tersebut. Masyarakat yang ingin mengambil bantuan harus menyertakan surat dari kepala desa, serta didampingi Babinsa setempat. 

Namun, hal itu dianggap tidak efektif karena kepala desa dan Babinsa wilayah mereka, ada yang menjadi korban bencana dan ada juga yang telah mengungsi ke daerah yang lebih aman.

4. Sulitnya mendapatkan makan dan minum

Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di PaluIDN Times/Rehuel Willy Asitama

Bukan hanya warga Palu, awak media juga merasakan hal yang sama. Kondisi di Kota Palu yang lumpuh membuat pasokan makanan ke kota ini terhambat. Distribusi bantuan terganggu karena jalanan rusak.

Saat itu, saya melihat dua kantung plastik besar berwarna hitam yang berisi tumpukan nasi bungkus, yang khusus disediakan untuk awak media dari Korem 132/Tadulako. Saya girang bukan main, karena telah menahan lapar sejak semalam. Saya menyesal, sudah sok "jual mahal" saat ditawari makan oleh teman-teman Lana saat di rumah dinas pejabat BPKP.

“Kalau mau makan, nasi di plastik itu Tang, ambil aja,” kata Bil Wahid, jurnalis dari media daring.

Saya bergegas mengambil nasi bungkus itu. Isinya sederhana, nasi putih dan telur rebus. Tapi, saya masih bersyukur masih bisa sarapan. Saya lebih beruntung dari mereka yang terdampak bencana.

“Lo yakin mau makan? Di sini gak ada air minum,” celetuk Bil Wahid.

Kondisi yang sangat memperihatinkan, ternyata di tempat itu tidak ada air minum. Saya terpaksa makan tanpa minum. Kering tenggorokan kami, namun tetap harus terus mencari informasi terkait bencana yang menimpa saudara kita di Kota Palu dan sekitarnya.

Bukan hanya makan dan minum, kami juga kesulitan mendapat air bersih untuk sekadar membilas badan yang kotor karena telah beraktivitas seharian. Kondisi tersebut saya rasakan setidaknya empat hari pasca-bencana di Palu. 

Usai sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Saya bersama teman-teman jurnalis lain sepakat meliput agenda penguburan massal korban bencana gema dan tsunami sesi pertama di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Poboya Indah yang berada di bukit dan berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Palu.

Bau tak sedap mengiringi pemakaman jenazah. Kantong-kantong jenazah satu persatu diturunkan prajurit TNI dan polisi dari mobil truk pengangkut jenazah. Tak terlihat keluarga korban pada saat prosesi pemakaman massal tersebut berlangsung.

Masker dilapisi tisu basah atau teh celup merupakan perlengkapan yang wajib saya kenakan saat meliput evakuasi korban. Cara itu diyakini dapat menetralisir udara yang kami hirup.

5. Menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menuju ke lokasi peliputan

Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di PaluIDN Times/Rehuel Willy Asitama

Setiap pagi sekitar pukul 08.00 Wita, saya bersama teman-teman jurnalis selalu berkumpul di halaman Korem 132/Tadulako, untuk mencari agenda peliputan. Tak jarang dari mereka juga telah mendapatkan arahan dari kantor mereka masing-masing.

Untuk menuju ke lokasi peliputan, kami harus menempuh jarak belasan hingga puluhan kilometer. Di perjalanan, kami selalu memperhatikan mobil atau truk kosong yang melintas, dan berharap searah dengan tujuan tempat peliputan kami. Bermodal lambaian tangan, kami biasanya mendapat tumpangan gratis.

Beruntung, setiap kami meminta tumpangan warga di Palu memberikan tumpangan gratis. Seperti Budi, yang menawarkan kami tumpangan di mobil bak terbukanya saat kami hendak meliput ke Pelabuhan Pantoloan, salah satu tempat terdampak tsunami cukup parah. 

Budi sejatinya korban terdampak bencana Palu. Tempat usaha mebelnya yang telah ia rintis sejak puluhan tahun ludes disapu gelombang tsunami. Belasan karyawannya terpaksa dirumahkan sementara hingga kondisi ekonomi di Palu pulih.

Pria berusia 43 tahun itu tak hanya mengantarkan kami ke pelabuhan, ia juga menawarkan diri mengantar kami ke sejumlah lokasi yang akan kami liput. Padahal, jarak dari rumahnya di Kelurahan Layana, Kecamatan Mantikulore, ke tempat penginapan kami sekitar sembilan kilometer.

“Ini nomor handphone saya, kalau butuh apa-apa atau diantar ke mana, hubungin saya saja,” ujar Budi, usai mengantar kami meliput.

Tidak mudah memang mencari informasi bencana di Palu, namun di sisi lain itu merupakan kebanggaan kami bisa memberikan informasi kepada masyarakat. 

6. Bercanda dengan sesama teman jurnalis menjadi hiburan di tengah peliputan

Sepenggal Cerita dan Kenangan Meliput Bencana di PaluIDN Times/Rehuel Willy Asitama

Sepulangnya kami dari tempat peliputan, kami biasanya berkumpul di halaman Korem sambil melepas lelah. Sesekali kami saling bergurau sebagai hiburan kami.

“Tang, besok pergi lo ke kelurahan. KTP lo udah jadi katanya. Kelamaan di sini, jadi dibikinin KTP lo,” celetuk Ronald, jurnalis Radio Elshinta, disambut tawa teman-teman jurnalis lainnya. Saya yang jadi bahan guyonan itu hanya mesam-mesem saja.

Itulah sepenggal cerita saya selama meliput pasca-gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Delapan hari di sana membuat saya sadar betapa beruntungnya kami semua di sini yang bisa makan, tidur, dan beraktivitas dengan nyaman. 

Semoga bencana yang terjadi di Palu dan sekitarnya membuat kita membuka mata untuk sama-sama saling berintrospeksi, dan bergandengan tangan untuk membantu satu sama lain. Mari juga mendoakan mereka yang menjadi korban agar dikuatkan dan kondisi segera bisa pulih.

Baca Juga: Kerugian Dampak Gempa dan Tsunami di Palu Mencapai Rp13,82 Triliun

Topik:

  • Rochmanudin
  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya