Gugat Status Bencana Sumatra, Arjana: Ini Bukan Serangan ke Pemerintah

- Prabowo dapat dianggap melanggar hukum dengan tidak menetapkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional
- Pemerintah didorong untuk membuat kebijakan asuransi bencana dan perlindungan bagi pengusaha mikro dan kecil
- Arjana berkomitmen untuk terus kawal gugatan hingga keluar putusan PTUN, menepis upaya intimidasi yang ia terima
Jakarta, IDN Times - Advokat muda Arjana Bagaskara menepis anggapan gugatan warga negara (citizen law suit) yang dilayangkannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menyerang pemerintah. Ia menegaskan, gugatan dilayangkan murni karena dorongan hati nurani dan ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh warga di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara yang tertimpa bencana.
"Selain itu, gugatan ini juga bertujuan memberikan masukan kepada pemerintah bahwa banjir Sumatra bukan bencana hidrometeorologi melainkan antropogenik karena ada faktor kelalaian manusia. Sehingga banjir yang terjadi begitu masif, menghabiskan begitu banyak harta benda dan ribuan nyawa tidak bersalah melayang begitu saja," ujar Arjana kepada IDN Times di PTUN Jakarta Timur, Senin (15/12/2025).
Gugatan Arjana sudah didaftarkan pada dua pekan lalu dengan nomor perkara 415/G/TF/2025/PTUN.JKT. Ada empat pihak yang digugat oleh Arjana yakni Presiden Prabowo Subianto (tergugat I), Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (tergugat II), Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (tergugat III), dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto (tergugat IV). Namun, dalam sidang perdana yang digelar hari ini hanya tiga tergugat yang hadir.
"Dari keempat pihak yang digugat dihadiri oleh tiga pihak. Satu yang tidak hadir dari Kementerian Keuangan dan akan dipanggi lagi pada sidang berikutnya, 22 Desember 2025," katanya.
Prabowo sendiri, kata Arjana, diwakili oleh pejabat dari Kementerian Sekretariat Negara.
1. Perbuatan Prabowo dapat dianggap melawan hukum

Lebih lanjut, Arjana menjelaskan, di dalam sidang perdana yang digelar Senin siang, memiliki agenda pemeriksaan dokumen gugatan. Ada sejumlah poin yang perlu direvisi. Salah satunya kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang belum menetapkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional merupakan perbuatan melawan hukum.
"Bila tidak menetapkan status bencana nasional maka dapat dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 mengenai penanggulangan bencana," ujar Arjana ketika dikonfirmasi oleh IDN Times.
Namun, ia tidak mencantumkan di dalam gugatannya bahwa pemerintah harus memberikan sejumlah ganti rugi kepada warga di tiga provinsi yang terdampak. Arjana juga menjelaskan, situasi banjir di Sumatra sudah memenuhi lima indikator di dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana.
Kelima indikator tersebut yakni kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, dan jumlah korban.
2. Pemerintah didorong buat kebijakan asuransi bencana

Arjana turut memberikan masukan kepada pemerintah dalam menangani bencana selanjutnya yang dapat terjadi di Tanah Air. Salah satunya pemerintah harus membuat aturan baru mengenai asuransi kebencanaan. Kebijakan itu telah dibuat oleh Pemerintah Jepang dan Taiwan.
"Pemerintah harus menggodok peraturan terkait asuransi bencana supaya pemerintah tidak terbebani dari segi anggaran. Jadi, harus ada manajemen dan mitigasi risiko sebelum bencana terjadi," kata dia.
Masukan lainnya yakni terkait force majeur. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1244 dan 1245, bila pemerintah tidak juga menetapkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional, maka turut berdampak kepada para pengusaha di tiga provinsi tersebut.
"Para pengusaha di tiga provinsi itu yang mungkin memiliki utang di perbankan, kalau tidak ditetapkan sebagai bencana nasional maka bagaimana mereka bisa melunasi kredit dan utang-utangnya kepada lembaga jasa keuangan. Usaha mikro dan kecil harus dilindungi," tutur Arjana.
Masukan ketiga yakni terkait penerapan prinsip ESG (Environmental, Social and Governance) bagi semua korporasi. Dalam pandangan Arjana, korporasi-korporasi itu di dalam aktivitas bisnisnya perlu mengedepankan prinsip untuk menjaga tata kelola lingkungan.
"Tidak cukup hanya memiliki AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan). Tetapi juga perlu menerapkan prinsip-prinsip ESG dalam kebijakan korporasi," katanya.
Masukan keempat dari Arjana yakni seandainya gugatannya dikabulkan oleh hakim PTUN, maka diharapkan bantuan bisa didistribusikan lebih cepat dan merata kepada masyarakat. "Gugatan ini bukan ditujukan untuk menyerang pemerintah, tetapi untuk memberikan masukan bahwa bencana ini merupakan bencana antropogenik yang seharusnya bisa diantisipasi dari awal," tutur dia.
3. Arjana berkomitmen kawal gugatan hingga keluar putusan PTUN

Ketika ditanyakan apakah ada upaya intimidasi yang ia terima agar gugatannya dicabut di tengah jalan, Arjana menepisnya. "Sejauh ini saya aman, tindakan saya tidak diintervensi atau diintimidasi. Saya dan keluarga, secara pribadi dalam keadaan aman," katanya.
Ia pun berkomitmen akan terus melayangkan gugatan tersebut ke PTUN hingga keluar putusan. "Gak ada sih niatan untuk mencabut (gugatan) di tengah persidangan nanti," ujar Arjana.
Sidang gugatan status bencana nasional untuk banjir Sumatra akan dilanjutkan di PTUN Jakarta pada Senin (22/12/2025).

















