Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ini Perbedaan Isi UU TNI Tahun 2004 dengan UU Baru yang Direvisi 2025

Ilustrasi prajurit Kopassus TNI Angkatan Darat (AD) ketika berlatih untuk HUT TNI. (ANTARA FOTO/Fauzan)
Ilustrasi prajurit Kopassus TNI Angkatan Darat (AD) ketika berlatih untuk HUT TNI. (ANTARA FOTO/Fauzan)
Intinya sih...
  • Revisi UU TNI disahkan pada 20 Maret 2025, tetapi aksi unjuk rasa menentangnya masih terjadi.
  • Perubahan utama terdapat pada tugas pokok TNI, pengawasan sipil, dan perpanjangan usia pensiun prajurit.
  • Dampak dari revisi UU baru TNI termasuk kekhawatiran akan dwifungsi ABRI ala Orde Baru kembali bangkit.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Revisi Undang-Undang TNI memang sudah disahkan pada 20 Maret 2025 lalu di sidang paripurna. Tetapi, aksi unjuk rasa menentang pemberlakuan UU baru TNI masih tetap terjadi. Terakhir digelar aksi damai bertajuk 'Aksi Suara Ibu Indonesia' di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat pada 28 Maret 2025 lalu. 

Mereka meminta agar Undang-Undang TNI yang belum diteken oleh presiden agar segera dibatalkan. Para ibu itu menuntut agar prajurit TNI dikembalikan kepada tugas utamanya untuk membela Tanah Air dan bukan pejabat segelintir. Kewenangan TNI di dalam UU baru TNI diperluas, sehingga kekhawatiran publik dwifungsi ABRI ala Orde Baru kembali bangkit, masih tinggi. 

Apakah benar dwifungsi ABRI ala Orde baru kembali bangkit lewat UU baru yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu? Mari kita bedah isi perbedaan UU baru TNI dengan yang disahkan pada 2004 lalu.

Naskah RUU TNI yang diketok pada 20 Maret 2025 IDN Times peroleh dari situs resmi DPR. Dokumen itu akhirnya diunggah di situs parlemen setelah diributkan oleh publik lantaran sejak awal pembahasan naskah tersebut tak jelas keberadaannya. 

1. Pasal 7: Operasi militer selain perang tak lagi membutuhkan persetujuan DPR

Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 7. (Dokumen UU TNI)
Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 7. (Dokumen UU TNI)

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina mencatat sejak awal draf RUU TNI berseliweran, ada tujuh pasal yang berubah di UU baru TNI. Salah satunya adalah pasal 7 yang menyangkut tugas pokok TNI. 

Di UU lama yang disahkan pada 2004 poin b yang menyangkut Operasi Militer Selain Perang (OMSP), tugas TNI ada 14. Sedangkan, di dalam UU baru yang disahkan pada 2025, tugas TNI selain perang menjadi 16. Dua tugas tambahannya yakni membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. 

Perubahan lainnya di dalam UU baru TNI pasal 7 ada di ayat 4. Di dalam UU lama tertulis tugas TNI yang menyangkut berperang atau di luar perang, membutuhkan keputusan politik. Dalam hal ini keputusan itu baru dapat diambil dengan persetujuan pemerintah dan DPR.

Sedangkan, di dalam UU baru, tugas TNI di luar berperang tak lagi perlu kebijakan dan keputusan politik negara. Artinya, presiden bisa langsung mengerahkan prajurit TNI di luar tugas berperang tanpa perlu ada persetujuan dari parlemen. 

Menurut Gina, ketiadaan persetujuan dari parlemen dalam hal pengerahan prajurit TNI dianggap menghilangkan kontrol warga sipil. "Karena pengerahan tentara untuk tugas militer selain perang kan tetap butuh kontrol sipil. Karena dia kan gak bisa sembarangan ya. Dia (prajurit TNI) terbiasa pegang senjata untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga butuh kontrol sipil," ujar Gina melalui pesan suara kepada IDN Times pada Minggu (6/4/2025). 

Gina mengakui sejak di undang-undang TNI tahun 2004, poin kontrol sipil terhadap pengerahan prajurit TNI memang kurang berjalan dengan baik. Namun, bukan berarti poin pengawasan itu harus dihapus. 

"Pasal ini (pengawasan dan kontrol sipil) harus tetap hidup. Bila itu selama ini tidak berjalan, maka itu masalah implementasi oleh komisi I DPR," tutur dia. 

Ia menggaris bawahi keputusan politik negara harus melibatkan kebijakan presiden dan DPR. Konsep DPR di Tanah Air menjadi representasi rakyat. "DPR sebagai reprensentasi rakyat harus dimintai pertimbangan dan persetujuannya," imbuhnya. 

Soal kewenangan TNI di ranah siber juga ikut dipersoalkan. Digital Democracy Resilience Network (DDRN) mengatakan perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif dan militeristik. Dampaknya, hal ini akan membatasi ruang gerak sipil. 

Namun, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Brigjen TNI Kristomei Sianturi membantah dengan perluasan kewenangan di dunia siber maka prajurit TNI akan memberangus kebebasan berekspresi warga sipil. "Gak lah, tugas kami bukan untuk hack percakapan di ponsel Anda. Bukan tugas kami itu. Ngapain juga? Tugas kami lebih besar dari itu," ujar Kristomei kepada IDN Times ketika berkunjung ke kantor IDN Media HQ pada 26 Maret 2025 lalu. 

2. Pasal 8: Tugas TNI AD akhirnya tetap dibatasi di wilayah pertahanan di darat

Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 8. (Dokumen UU TNI)
Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 8. (Dokumen UU TNI)

Salah satu poin lain yang akhirnya kembali diubah usai diributkan oleh publik menyangkut pasal 8 menyangkut dalam tugas TNI Angkatan Darat (AD). Di dalam naskah lama RUU TNI pasal 8 ayat (b) tertulis 'Angkatan Darat melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah darat, termasuk perbatasan dengan negara lain.' Sedangkan, di dalam UU TNI tahun 2004, pasal 8 ayat (b) tertulis 'Angkatan Darat bertugas melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain.'

Perbedaan awal di dalam naskah RUU TNI dikhawatirkan prajurit TNI bisa beroperasi urusan keamanan di mana saja di wilayah darat. Bukan cuma di perbatasan negara yang berbatasan darat dengan Indonesia, tetapi juga di kota. Bahkan, mereka juga bisa dikerahkan di tempat-tempat yang dianggap rawan. 

Namun, berdasarkan naskah RUU yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu dan telah diunggah di situs resmi DPR, maka kekhawatiran itu bisa sedikit mereda. Sebab, redaksinya pasal 8 ayat (b) berbunyi 'Angkatan Darat melaksanakan tugas TNI dalam menjaga wilayah pertahanan di darat termasuk perbatasan dengan negara lain.'

3. Pasal 47: Penempatan prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di lebih banyak instansi sipil

Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 47. (Dokumen UU TNI)
Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 47. (Dokumen UU TNI)

Pasal lain yang ramai dibahas oleh publik yakni soal perbedaan penambahan institusi sipil yang boleh dimasuki oleh prajurit TNI aktif. Di dalam UU TNI tahun 2004, ada 10 instansi sipil yang boleh dimasuki oleh prajurit TNI aktif. Tetapi, di dalam UU baru TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu, instansi sipil bertambah menjadi 14. 

Instansi sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif berdasarkan UU baru TNI yaitul; Kementerian atau lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, Pertahanan negara, Dewan Pertahanan Nasional; kesekretariatan negara (mencakup urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden), intelijen negara, siber dan atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamah Agung. 

Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Brigjen TNI Kristomei Sianturi menjelaskan penambahan empat instansi sipil itu sesungguhnya bukan hal baru. Justru menjadi payung hukum bagi para prajurit TNI yang sudah lebih dulu ditugaskan di instansi sipil itu. Artinya, mereka sudah ditugaskan di luar dari 10 instansi sipil yang diatur di UU TNI tahun 2004 lalu. 

"Saat ini, prajurit TNI aktif sudah ada yang bertugas di sana sehingga kami mengesahkan posisi mereka di situ. Karena memang kementerian-kementerian atau lembaga itu tadi memang membutuhkan kehadiran prajurit aktif di situ," ujar Kristomei kepada IDN Times di kantor IDN Media HQ pada 26 Maret 2025 lalu. 

Ia juga memastikan TNI tidak akan mengambil lapangan pekerjaan warga sipil. Sebab, penempatan prajurit TNI di 14 instansi sipil itu sudah melewati permintaan dari lembaga yang bersangkutan lebih dulu. 

Poin lain yang juga dikritisi oleh masyarakat sipil yaitu soal masuknya prajurit TNI aktif di Badan Narkotika Nasional (BNN). Sekjen PBHI, Gina Sabrina, mengatakan tugas personel di BNN adalah penegakan hukum dan bukan dalam konteks pertahanan. 

"Ini menimbulkan kecurigaan bagi kami, apakah mereka akan dikaryakan," ujar Gina. 

"Kita harus ingat raison d'être-nya TNI. Mereka dididik untuk membunuh atau dibunuh. Maka, dalam hal menangkap pelaku penyalahgunaan narkotika, bisa-bisa dianggap musuh oleh TNI dan bisa dibunuh," imbuhnya. 

Ia pun mengatakan upaya pemberantasan narkoba yang dilakukan oleh prajurit TNI rentan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). 

4. Pasal 53: penambahan usia pensiun bagi enam pangkat di TNI

Perbandingan pasal 53 di dalam UU TNI lama dan revisi UU TNI yang sudah disahkan DPR. (Dokumen UU TNI)
Perbandingan pasal 53 di dalam UU TNI lama dan revisi UU TNI yang sudah disahkan DPR. (Dokumen UU TNI)

Poin lain yang juga jelas berubah di dalam UU baru TNI yakni soal penambahan usia pensiun. Penambahan usia pensiun itu untuk enam kelompok prajurit yakni bintara dan tamtama (55 tahun), perwira menengah (58 tahun), perwira tinggi bintang satu (60 tahun), perwira tinggi bintang dua (61 tahun), perwira tinggi bintang 3 (62 tahun), dan perwira tinggi bintang empat (63 tahun). 

Tetapi, di ayat 4 dan 5, tertulis usia pensiun perwira tinggi bintang empat dapat diperpanjang dua kali sesuai kebutuhan presiden. Nantinya, hal tersebut akan ditetapkan di dalam keputusan presiden. 

Di dalam ayat 5 tertulis bahwa satu kali perpanjang masa pensiun sama dengan satu tahun. Artinya, perwira tinggi bintang empat bisa pensiun di usia 65 tahun bila dibutuhkan oleh presiden. 

Sementara, di UU TNI tahun 2004, pengelompokan usia pensiun lebih sederhana. Bagi prajurit dengan pangkat bintara dan tamtama pensiun di usia 53 tahun. Sedangkan, prajurit perwira pensiun di usia 58 tahun. 

Penambahan usia pensiun ini justru menambah masalah yang sudah ada terkait perwira non-job di tubuh TNI. Berdasarkan data dari Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS) pada akhir 2023 perwira tinggi non-job minimal ada 120 orang. Sedangkan, prajurit pangkat kolonel yang non-job minimal ada 310 orang. 

Artinya, sebelum ada perpanjangan masa dinas pun sudah banyak perwira di TNI yang berstatus non-job, alias tidak memiliki jabatan struktural di militer. Dengan adanya perpanjangan usia pensiun dikhawatirkan akan menambah stagnasi karier atau bottleneck di kalangan perwira TNI. 

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan lantaran stagnasi karier di kalangan perwira TNI itu lah yang menjadi salah satu alasan jumlah instansi sipil untuk dapat dimasuki oleh prajurit TNI akti, semakin bertambah. 

5. Pasal 53: perwira yang sudah pensiun bisa dikerahkan sebagai Komponen Cadangan

Perbandingan pasal 53 di dalam UU TNI lama dan revisi UU TNI yang sudah disahkan DPR. (Dokumen UU TNI)
Perbandingan pasal 53 di dalam UU TNI lama dan revisi UU TNI yang sudah disahkan DPR. (Dokumen UU TNI)

Poin lain yang juga disinggung di dalam UU baru TNI yaitu perwira TNI yang sudah pensiun ternyata masih bisa direkrut sebagai perwira Komponen Cadangan dalam rangka untuk dimobilisasi. Poin itu tertulis di dalam pasal 53 ayat 6 dan 7. Komponen cadangan bisa dikerahkan dalam situasi darurat usai mendapatkan persetujuan dari presiden dan DPR. 

Syarat untuk bisa diikutkan dalam mobilisasi Komcad tidak dijelaskan secara gamblang di UU baru TNI. Persyaratannya akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP). 

Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, mempertanyakan hak keuangan yang diterima oleh pensiunan perwira TNI. "Haknya dia gimana? Apakah perwira TNI ini menerima dana pensiun dan gaji dari Komcad? Itu belum jelas," kata Gina. 

6. UU TNI yang Disahkan 20 Maret tidak buka dwifungsi di bidang politik

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)
Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)

Bila dilihat perbandingan isi UU TNI yang disahkan pada 2004 dengan revisinya yang diketok pada Maret 2025, dwifungsi di bidang politik memang tidak ada. Prajurit TNI aktif tetap tidak bisa mengikuti politik praktis dengan membentuk fraksi di parlemen atau mengikuti pilkada. 

Namun, di atas kertas, jumlah lembaga sipil yang boleh dimasuki oleh prajurit TNI aktif bertambah. Di sisi lain, presiden memiliki kekuatan lebih besar untuk mengerahkan prajurit TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP).

Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono mengatakan dalam OMSP penanggulangan bencana, tidak dibutuhkan proses bertele-tele dengan rapat lebih dulu di parlemen. Sebab, sifatnya darurat. 

Sedangkan, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengatakan selain revisi UU TNI, ada pula notakesepahaman antara pemprov dengan TNI dan BUMN atau BUMD. Salah satu yang disorot adalah perjanjian kerjasama antara Pemprov Jawa Barat dengan Mabes TNI AD. Dalam pandangannya, perjanjian itu mendapat justifikasi dengan adanya UU baru TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025. 

"Harusnya semua MoU ini dievaluasi penerapannya di lapangan. Apakah MoU-MoU ini masuk ke dalam tupoksi tentara. Pada praktiknya, tentara malah ikut menggusur rumah-rumah warga," kata Isnur pada Minggu (6/4/2025). 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Anata Siregar
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us