Intrik Koalisi Gendut Ala Prabowo, Siap-Siap Demokrasi Kian Keropos?

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Pasangan Prabowo-Gibran berhasil mengoleksi 96.214.691 suara atau 58,6 persen, setelah menyapu bersih suara di 36 provinsi. Dengan demikian, pasangan ini memenangkan kontestasi Pilpres 2024 hanya dalam satu putaran.
Adapun, hasil Pilpres 2024 dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) KPU tentang Penetapan Hasil Pemilu pada Tingkat Nasional yang ditandatangani ketujuh komisioner KPU RI. SK tersebut, saat ini menjadi objek gugatan bagi peserta pemilu yang mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), yang dijadwalkan rampung pada 22 April 2024.
Kendati Prabowo-Gibran belum resmi menjadi capres-wapres terpilih, namun pasangan ini tengah berupaya mendekati sejumlah partai politik di luar koalisinya untuk bergabung ke dalam koalisi besar, demi mewujudkan agenda-agenda politik penting bagi kedua belah pihak.
Prabowo berencana membangun komunikasi politik bersama lawan politiknya pada Pemilu 2024, misalnya PPP, PKS, NasDem, dan bahkan PDIP. Menariknya, saat bertandang ke markas NasDem, Ketua Umumnya Surya Paloh, menggelar karpet merah untuk menyambut kedatangan Prabowo. Tak heran bila pertemuan tersebut memunculkan spekulasi politik, NasDem akan merapat ke barisan Prabowo.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburahman mengatakan, Prabowo memang berkeinginan merangkul semua lawan politiknya usai Pemilu 2024.
“Partai Gerindra adalah partai yang tidak memiliki hambatan dengan parpol manapun, tidak ada satu partaipun yang kita antikan,” kata dia, Selasa, 26 Maret 2024.
1. Prabowo akan mengulang pelajaran dari Jokowi

Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim, menilai sinyal pembentukan koalisi super gemuk dari Prabowo-Gerindra, akan mengulang pelajaran dari Presiden Jokowi selama hampir 10 tahun terakhir ini.
Koalisi super majority bertujuan mengunci dan memuluskan dukungan di parlemen, untuk program-program Prabowo-Gibran yang akan dijalankan selama mereka berkuasa.
Belum lagi janji politik Prabowo-Gibran memang sangat costly, misalnya, anggaran makan siang gratis. Merujuk hitung-hitungan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, paling tidak, program makan siang gratis diproyeksikan membutuhkan anggaran hingga Rp400 triliun.
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan program makan siang gratis dianggarkan Rp15 ribu per anak, belum janji politik lainnya, yaitu pemberian susu gratis. Kebutuhan anggaran ini pun sudah mulai dibahas dan direncanakan untuk masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2025).
Kennedy menilai, insentif pembentukan koalisi super gemuk memang sangat besar dalam sistem politik Indonesia sekarang, karena akan mencegah situasi saling sandera oleh partai koalisi pendukung terhadap pemerintah.
Dapat dibayangkan, bila dukungan koalisi di parlemen bisa mencapai di atas 75 persen, maka kerentanan terhadap salah satu partai menyandera pemerintah mendatang sangat besar.
“Bisa dibayangkan jika dukungan koalisi Prabowo di parlemen mencapai di atas 75 persen dibandingkan hanya simple majority di 52 persen, kerentanan terhadap salah satu partai menyandera pemerintah mendatang sangat besar,” kata Kennedy kepada IDN Times, Minggu (31/3/2024).
2. Demokrasi menjadi keropos, check and balances melemah
Kendati Prabowo dan Gerindra akan membentuk koalisi super gemuk, namun Kennedy masih skeptis dengan pelebelan kembalinya Orde Baru semu di pemerintahan mendatang.
Menurutnya, tantangan Indonesia ke depan bukan Orde Baru semu, melainkan sistem demokrasi semu. Situasi di mana secara prosedural sistem politik masih tampak demokratis di permukaan dengan adanya ritual pemilihan langsung, tapi secara substansi keropos dan demokrasi menjadi semakin mundur.
“Ditambah kultur lemahnya checks and balances terhadap pemerintahan akibat rentannya parpol terkooptasi oleh kepentingan segelintir elite,” kata Kennedy.
3. Semua parpol masih abu-abu soal oposisi atau gabung pemerintah

Adapun, peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Buditri, menjelaskan kombinasi sistem presidensial dan multipartai sehingga presiden terpilih punya kecenderungan membangun koalisi gendut, demi mengamankan posisi politiknya dan melancarkan seluruh rencana kerja di pemerintahannya.
Koalisi gendut sudah menjadi tren sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan berlanjut pada era pemerintahan Presiden Jokowi.
Pada Pemilu 2024, menurut Aisah, nyaris tak ada partai yang sejak awal berkomitmen menjadi oposisi. Semua masih abu-abu, menunjukkan peluang bergabung koalisi meski belum pasti, dan bergantung pada lobi-lobi politik yang mereka sodorkan.
“Prabowo saya duga tidak akan punya tendensi berbeda dari langkah politik presiden sebelumnya,” ujarnya kepada IDN Times, Minggu (31/3/2024).
4. Prabowo butuh koalisi besar

Menurut Aisah, Prabowo membutuhkan koalisi besar bukan hanya melancarkan janji politiknya, tapi juga dalam rangka memperkuat posisi politiknya.
Terutama, Presiden Jokowi juga memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan ke depan. Apalagi, disokong Partai Golkar, dengan partai yang memiliki kursi terbesar dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Apalagi dengan back up Golkar yang memiliki kursi terbesar dalam koalisi yang sudah ada saat ini,” ujar dia.
5. Kaolisi gemuk mengancam demokrasi
Aisah berpandangan, koalisi gendut yang hendak diwujudkan Prabowo dan Gerindra akan mengancam rakyat Indonesia dan jalannya demokrasi di negeri ini.
Musababnya, tanpa adanya oposisi, check and balances akan menjadi keropos di parlemen, lembaga yang berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan dan berfungsi sebagai pengawas pemerintah.
“Peluang pemerintah yang tiran semakin kuat, dan tentu yang menjadi korban adalah rakyat,” ujar Aisah.
Oleh sebab itu, Aisah kembali mengingatkan masa kelam Orde Baru agar tidak dilupakan. Koalisi gendut berdampak buruk bagi kepentingan rakyat luas.
“Sehingga mendukung koalisi gendut artinya mengkhianati rakyat,” ujar dia.
Aisah mengatakan, semua partai saat ini masih menimbang berbagai keuntungan bagi partai dan kelompoknya, bukan untuk kepeningan rakyat.
“Karena kalau untuk kepentingan rakyat, maka seharusnya sudah sejak awal tegas untuk pentingnya menjadi oposisi di parlemen,” ucap dia.
6. Puan hanya tersenyum usai ditanya kans gabung koalisi

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, menyampaikan keputusan bergabung kaolisi atau tidak, akan menunggu arahan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri.
Menurutnya, keputusan PDIP bergabung koalisi atau tidak, merupakan kewenangan penuh Megawati sesuai keputusan kongres partai.
“Kalau ketum kemudian memutuskan kita akan ada pada posisi x, misalnya, ya kita akan akan ikut itu,” ucap Bambang.
Sementara, Ketua DPP PDIP Puan Maharani tersenyum ketika ditanya kans partainya merapat ke Gerindra usai Pemilu 2024. Bila ini terjadi, rekonsiliasi politik kembali terwujud pada Pemilu 2024, sebagaimana Presiden Jokowi kala itu merangkul Gerindra ke dalam kabinet pemerintahan.
"Iya gak ya (akan seperti 2019 lalu ketika Jokowi ajak Prabowo gabung)?" kata Puan, sambil tersenyum di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024.
7. Gerindra beri garansi check and balances bakal tetap kokoh

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengklaim, meskipun Prabowo berkeinginan merangkul semua parpol bergabung ke dalam pemerintahannya, tapi proses check and balances tetap akan berlangsug. Dia mengatakan, proses penyeimbang akan terjadi antar-institusi.
Menurut dia, proses check and balances akan lebih konkret menyasar ke program-program yang sedang dijalankan pemerintah.
Habiburokhman menganggap, selama ini pengawasan juga tetap berlangsung. Dia menyontohkan, anggota DPR RI yang berasal dari partai pendukung pemerintah tetap bersikap kritis kepada pemerintahan yang sedang berlangsung.
“Kritisnya itu langsung konkret ke persoalan-persoalan yang konkret. Gak ngawang-ngawang. Jadi kritikan yang disampaikan itu langsung bisa berbuah solusi. Itulah yang terjadi dari 2019 ke 2024,” ujar dia.