Jelang Ramadan Masih Punya Utang Puasa? Ini Ketentuan Bayar Fidyah

Jakarta, IDN Times - Hanya tinggal beberapa pekan lagi umat Muslim akan menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Bulan puasa menjadi saat yang paling ditunggu dan dirindukan umat Muslim sebelum menyambut Idulfitri.
Bagi mereka yang memiliki utang puasa, diharuskan untuk meng-qadha puasa sebelum tiba Ramadan berikutnya. Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadan—padahal ia memungkinkan untuk segera meng-qadha— sampai datang Ramadan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan meng-qadha puasa Ramadan.
Berikut ini adalah lafal niat qadha puasa Ramadan:
وَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”
Lalu, seperti apa syarat dan aturan membayar fidyah? Berikut penjelasannya seperti dikutip dari situs nu.or.id.
1. Ketentuan fidyah

Menurut pendapat al-ashah, orang yang menunda qadha puasa Ramadan—padahal ia memungkinkan untuk segera meng-qadha—sampai datang Ramadan berikutnya, fidyah baginya berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun.
Misalnya, orang punya tanggungan qadha puasa sehari pada Ramadan 2021, ia tidak kunjung meng-qadha sampai masuk Ramadan tahun 2022, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.
Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan meng-qadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan meng-qadha puasa.
2. Kepada siapa fidyah diberikan?

Fidyah wajib diberikan kepada fakir atau miskin, tidak diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain, terlebih kepada orang kaya. Alokasi fidyah berbeda dengan zakat, karena nash Al-Qur’an dalam konteks fidyah hanya menyebut miskin “fa fidyatun tha‘âmu miskin” (QS al-Baqarah ayat 184). Sedangkan fakir dianalogikan dengan miskin dengan pola qiyas aulawi (qiyas yang lebih utama), sebab kondisi fakir lebih parah daripada miskin.
Per satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang terpisah atau independen, oleh karenanya diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud untuk beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir atau miskin.
Misalnya, fidyah puasa orang mati 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada satu orang miskin. Berbeda halnya dengan satu mud untuk jatah pembayaran fidyah sehari, tidak diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Contohnya, untuk fidyah puasa wanita menyusui 1 hari, maka satu mud fidyah tidak boleh dibagi dua untuk diberikan kepada dua orang fakir. Begitu juga, fidyah puasa ibu hamil 2 hari tidak cukup diberikan kepada 4 orang miskin.
3. Niat fidyah

Berikut adalah contoh niat fidyah karena terlambat meng-qadha puasa Ramadan:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu an ukhrija hâdzihil fidyata ‘an ta’khîri qadhâ’i shaumi ramadhâna fardhan lillâhi ta’âlâ
Artinya: “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan meng-qadha puasa Ramadan, fardlu karena Allah”.
Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat. Waktu pelaksanaan fidyah minimal sudah memasuki malam hari (terbenamnya matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga dilakukan setelah waktu tersebut.
4. Penjelasan fidyah dengan uang
Fidyah dengan uang sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk fidyah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang, daging, tempe, dan lain-lain.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadis, misalnya ditunaikan dalam bentuk uang.