Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Keadilan Buntu di Polres Pekalongan, Korban Rudapaksa Trauma Panjang

Ilustrasi TPPO. (IDN Times/Mardya Shakti)
Intinya sih...
  • Maria Goretti Etik Prawahyanti, kuasa hukum korban kekerasan seksual anak di bawah umur di Pekalongan, kecewa dengan lambannya proses hukum.
  • Kasus kekerasan seksual terhadap Melati masih tak kunjung selesai sejak dilaporkan pada 2020, karena kurangnya bukti dan pengaruh pelaku.
  • Korban mengalami trauma berkepanjangan dan tekanan dari masyarakat setelah usianya dicabuli oleh tetangga-tetangganya. Maria terus berjuang untuk memperjuangkan keadilan bagi korban.

Jakarta, IDN Times – Maria Goretti Etik Prawahyanti, seorang kuasa hukum yang mendampingi korban kekerasan seksual anak di bawah umur di Pekalongan, tak dapat menyembunyikan kekecewaannya. Sejak 2020, ia menyaksikan bagaimana kasus yang menimpa kliennya berjalan di tempat, seolah ada tembok tebal yang menghalangi keadilan.

Korban, sebut saja Melati, mengalami kekerasan seksual sejak usia belia, namun hingga kini keadilan bagi dirinya masih jauh dari harapan. Anak perempuan berusia 14 tahun di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, itu hingga kini trauma usai diduga dicabuli oleh tiga pria tetangganya yakni S (55), K (55), dan T (70).

Kasus ini pertama kali dilaporkan pada 22 Juli 2020 ke Polres Kajen dengan Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Nomor: STPP/46/VII/2020/SPKT. Namun, proses hukum berjalan lambat dan terkesan tidak serius.

Maria menegaskan bahwa laporan pertama sudah dibuat sejak 22 Juli 2020 di Polres Kajen dengan Nomor STPP/46/VII/2020/SPKT. Namun, hingga kini, kasus tersebut masih berjalan lambat.

"Sudah hampir empat tahun, tapi belum ada kejelasan terkait seluruh pelaku yang terlibat," ujarnya saat dihubungi IDN Times belum lama ini.

1. Salah satu diduga pelaku jemawa mengaku kebal hukum

Ilustrasi pengadilan. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Kasus ini bermula dari laporan keluarga korban pada 2020 ke Polres Pekalongan. Namun, bertahun-tahun berlalu, proses hukum tak kunjung menunjukkan titik terang. Setiap upaya yang dilakukan selalu terbentur alasan yang sama: kurang bukti. 

Maria mengungkapkan bahwa tiga pria yang diduga sebagai pelaku dikenal memiliki pengaruh kuat di lingkungan mereka, bahkan salah satu dari mereka dengan jemawa mengaku kebal hukum.

"Saya kebal hukum. Dilaporkan pun tidak akan ada efeknya," demikian Maria menirukan pengakuan yang didengar dari para saksi di lapangan. 

2. Bukti pengakuan seolah ada kesepakatan damai

Ilustrasi child grooming (IDN Times/Mardya Shakti)

Sejak Maria kembali menangani kasus ini pada Januari 2024, ia menemukan sebuah dokumen penting surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pelaku. 

Dalam surat tersebut, mereka mengakui telah memperkosa korban dan berjanji memberikan kompensasi rehabilitasi sebesar Rp75 juta. Namun, uang itu tak pernah diberikan.

Ironisnya, bukti pengakuan tertulis ini pun tak cukup untuk mendorong aparat penegak hukum di Polres Pekalongan memproses kasus ini lebih lanjut.

"Harusnya ini cukup kuat untuk membuktikan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Tapi tetap saja, penyidik menganggap bukti kurang kuat," kata Maria dengan nada kecewa.

Ia menduga surat ini justru digunakan sebagai alasan untuk menghentikan kasus, seolah ada kesepakatan damai. 

"Padahal, dalam hukum pidana, terutama kasus kekerasan seksual terhadap anak. tidak ada istilah perdamaian yang bisa menghentikan proses hukum," ucapnya.

3. Korban diusir hingga trauma berkepanjangan

Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Di sisi lain, korban harus menghadapi trauma yang berkepanjangan. Maria bercerita, saat pertama kali diperiksa polisi, korban mengalami tekanan psikologis yang luar biasa.

"Dia diperiksa hingga tengah malam, sampai mimisan. Penyidik bahkan membentaknya dan memperagakan adegan kekerasan seksual di depannya," ujar Maria geram.

Bukan hanya itu, korban juga mengalami tekanan dari masyarakat sekitar. Pada 2020, ia dan keluarganya diusir dari desa dengan alasan mencemarkan nama baik lingkungan.

"Bayangkan, korban malah dianggap merusak nama baik desa. Pakaian-pakaiannya dimasukkan ke dalam karung, lalu mereka diusir," kata Maria.

Kini, kondisi korban perlahan membaik berkat pendampingan intensif di sebuah pondok pesantren. Namun, luka fisik dan mentalnya masih belum sepenuhnya pulih. Ia masih mengalami pendarahan sejak kejadian itu, dan hingga kini belum ada kepastian mengenai kondisinya.

4. Maria tidak akan berhenti berjuang bela korban

Ilustrasi Keadilan Hukum. (Pixabay.com)

Maria tak akan berhenti berjuang. Ia terus berupaya agar kasus ini tidak menguap begitu saja. Saat ini, ia tengah mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komnas Perempuan.

"Saya ingin keadilan ditegakkan. Korban sudah cukup menderita. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal kemanusiaan," tegasnya.

Namun, dengan segala hambatan yang terus menghadang, harapan itu terasa begitu jauh. Sementara para pelaku masih melenggang bebas, korban terus berjuang untuk pulih dari luka yang mereka tinggalkan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Dini Suciatiningrum
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us