Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kesimpulan Uji Formil UU TNI Diserahkan ke MK, Ini Poin yang Dibahas

IMG-20250806-WA0002.jpg
Pihak pemohon perkara nomor 81/PUU-XXIII/2025 soal uji formil UU TNI ke MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menyerahkan kesimpulan perkara nomor 81/PUU-XXIII/2025 terkait Uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Penyerahan kesimpulan tersebut dilakukan secara langsung ke Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025). Tahapan ini sebagai langkah terakhir sebelum MK memutus perkara tersebut.

"Penyerahan kesimpulan ini adalah upaya untuk menyimpulkan serta meluruskan berbagai fakta-fakta dan keterangan yang terungkap selama enam kali sidang pemeriksaan mulai dari 23 Juni 2025 hingga 28 Juli 2025," kata kuasa hukum pemohon, Gina Sabrina dalam keterangan tertulis.

1. Pemohon punya legal standing

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam kesimpulan tersebut, ditegaskan bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan karena kerugian konstitusional yang diderita akibat proses pembahasan Revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup, senyap, dan tidak dapat diakses publik.

"Selain itu, permohonan yang diajukan juga masih dalam tenggat waktu yang diperbolehkan untuk mengajukan permohonan uji formil menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 yakni tidak kurang dari 45 (empat puluh lima) hari pasca pengundangan," ungkap Gina.

2. Poin penting yang diajukan pemohon dalam kesimpulan

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Gina menjelaskan, beberapa poin penting berkaitan dengan pokok permohonan yang diajukan dalam kesimpulan tersebut. Pertama, terkait perencanaan dan penyusunan Revisi UU TNI secara terang dilakukan dengan melanggar prosedur serta tidak sesuai dengan putusan MK terdahulu.

Dalam persidangan DPR dan Pemerintah berdalih agenda Revisi UU TNI merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 sehingga dibutuhkan perubahan segera dengan mekanisme fast track legislation, namun dalam perjalanannya terungkap Revisi UU TNI tidak masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka sebagaimana Keputusan DPR Nomor: 64/DPR RI/2024-2025. Padahal perubahan undang-undang sebagai tindak lanjut dari Putusan MK harus dimuat dalam Daftar Kumulatif Terbuka yang juga dimuat dalam Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas Prioritas.

Pemohon menilai tidak masuknya Revisi UU TNI dalam Daftar Kumulatif Terbuka ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Tata Tertib DPR. Lebih lanjut, dalam agenda Revisi UU TNI ditemukan adanya perluasan pasal yang diubah, tidak hanya berkaitan dengan usia pensiun namun juga mengenai kebijakan strategi pertahanan, OMSP, tugas tiga matra TNI dan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.

"Adapun alasan yang dikemukakan DPR bahwa Revisi UU TNI merupakan carry over dari periode sebelumnya sendiri juga gagal diargumentasikan secara lengkap dan dibuktikan oleh DPR. Sementara mekanisme Prolegnas Prioritas Tahun 2024 juga tidak terbukti sebab pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI belum dihentikan di tahap pembahasan di Badan Legislasi DPR RI bahkan sebelum proses pembahasan DIM antara DPR dan pemerintah," ujar Gina.

Kemudian kedua, proses pembahasan Revisi UU TNI sengaja dilakukan secara tertutup tanpa akses publik terhadap dokumen perubahan undang-undang.

Dalam persidangan terungkap beberapa fakta bahwa pembahasan Revisi UU TNI sengaja dilakukan secara tertutup. Hal ini merujuk dari bukti pemohon di mana rapat-rapat panitia kerja dilakukan secara tertutup, termasuk konsinyering draf RUU yang dilakukan di hotel pada hari libur, tanpa akses siaran langsung yang berdampak pada tertutupnya akses publik untuk memberikan masukan dan analisa kritis terhadap draf Revisi UU TNI.

Selama persidangan juga tidak ada bukti yang bisa segera ditunjukkan oleh pihak DPR maupun pemerintah mengenai proses pembahasan baik notulensi, daftar hadir, termasuk bukti publikasi naskah akademik dan draf RUU TNI meskipun telah diminta oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

Di sisi lain, pemohon juga mendapati kesengajaan dari DPR RI terhadap tidak dibukanya dokumen baik berupa naskah akademik maupun draf RUU TNI. Hal ini terbukti dari pernyataan Dave Laksono (Anggota Komisi 1 DPR RI) untuk menghindari kegaduhan publik serta didukung oleh bukti tangkapan layar Pemohon mengenai proses Revisi UU TNI yang hanya mempublikasikan 2 (dua) proses yakni dimulai dan selesainya di situs laman DPR RI.

Ketiga, UU TNI sengaja tidak langsung dipublikasikan pasca disahkan selama 56 hari. Pemohon menyebut, presiden dan DPR RI sengaja menahan dokumen Revisi UU TNI dan tidak langsung membuka akses dokumen Revisi UU TNI kepada publik pasca diundangkan. Padahal Pasal 89 dan Pasal 95 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah secara jelas mewajibkan penyebarluasan dokumen saat RUU telah diundangkan dalam lembaran negara. Pasca pengesahan Revisi UU TNI tidak pernah ditemukan secara utuh dalam website DPR ataupun kanal-kanal resmi pembentuk undang-undang lainnya hingga 56 hari pasca pengundangan.

3. MK diminta nyatakan UU TNI inkonstitusional

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dengan berbagai alasan itu, pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU menurut UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah perlu menyatakan bahwa undang-undang a quo adalah inkonstitusional.

"Di tengah kondisi politik yang memanas, di mana terdapat 'ancaman' bagi Mahkamah Konstitusi yang hendak memutus perkara oleh lembaga-lembaga negara lain, maka Mahkamah harus menunjukkan diri sebagai lembaga yudisial yang imparsial, independen, dan tegas dalam memutus pengujian undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," imbuh Gina.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us