Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ketua Bawaslu Tegaskan Perkara Etik di DKPP Harus Ada Kedaluwarsa

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat ditemui di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyoroti perlunya kedaluwarsa perkara kode etik penyelenggara pemilu
  • Bagja menekankan perlunya batas waktu penanganan perkara yang saat ini belum diatur

Jakarta, IDN Times - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mengatakan, perkara mengenai kode etik penyelenggara pemilu harus memiliki kedaluwarsa.

Hal tersebut disampaikan Bagja saat ditanya mengenai munculnya wacana Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dibubarkan.

Bagja menilai, masyarakat harus memiliki akses terhadap permasalahan maupun proses perkara terkait pemilu dan pilkada. Namun perlu diatur pula mengenai batas waktu penanganan perkara yang saat ini masih belum diatur.

Ia pun menyoroti dampak dari tidak diaturnya batas waktu penanganan perkara terkait kode etik penyelenggara pemilu. Misalnya, masih ada perkara yang kejadiannya sudah terjadi sekitar dua tahun lalu

"Sekarang kita lihat bahwa proses yang sedang berjalan itu baik dan juga masyarakat punya akses terhadap permasalahan yang ada di pemilihan umum dan pilkada. Nah yang perlu diatur ke depan adalah bagaimana, ini perkara sudah dua tahun yang lalu, tiga tahun yang lalu, tiba-tiba dimasukkan ke (DKPP). Jadi tidak ada masa kedaluwarsanya di kode etik ini," kata dia saat ditemui di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025).

1. Perlu diakomodir dalam UU Pemilu

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat ditemui di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Bagja mengatakan, batas waktu penanganan perkara kode etik ini semestinya bisa diakomodir dalam Revisi Undang-Undang Pemilu atau Pilkada.

"Itu yang perlu diatur ke depan yang bisa, saya kira bisa dilakukan oleh teman-teman DKPP atau Komisi II DPR, pemerintah untuk perubahan dalam undang-undang pemilu atau pilkada," kata dia.

"Sehingga kemudian punya batasan dalam melakukan pendaftaran pelanggaran kode etik. Kalau kemudian tidak ada batasan waktu misalnya, nanti pemilu tahun 2019 bisa diadukan di 2024, itu juga jadi persoalan nanti," sambung dia.

2. Ketua Komisi II DPR kritisi keberadaan DKPP hingga analogikan malaikat pencabut nyawa

Lambang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang terpajang di Kantor DKPP (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan, banyak jajaran penyelanggara pemilu di daerah meminta bantuan perlindungannya karena takut dipanggil DKPP.

Hal tersebut disampaikan Rifqinizamy saat membahas mengenai tidak adanya hukum acara penanganan sengketa pemilu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

Ia pun menyoroti keberadaan DKPP sebagai lembaga kode etik penyelenggara pemilu yang tidak bisa diprotes atau diadukan. Sebab, DKPP tidak punya Mahkamah Etik DKPP.

Rifqinizamy menganalogikan DKPP sebagai malaikat pencabut nyawa. Menurutnya, ke depan harus ada hukum acara sengketa pemilu.

"Jadi di DKPP ini sudah kita duplikasi dari malaikat pencabut nyawa yang abstrak itu menjadi malaikat pencabut nyawa yang konkret dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Jujur pak, mungkin bapak-bapak ini dalam setiap sujud penyelenggara pemilu kita masuk dalam doa mereka agar kami dihindarkan dari putusan-putusan DKPP," ucap dia.

"Ini kan harus kita susun hukum acaranya, Pak Ketua KPU ya. Pak ketua KPU ketawa karena tidak pernah dihukum, hukumnya kecil-kecil, ringan-ringan," sambungnya sembari tertawa.

3. Ketua Komisi II DPR harap ada hukum acara yang jelas dalam sengketa pemilu

Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda. (Dok. DPR RI)

Dalam kesempatan itu, Rifqinizamy mendorong agar dibuat hukum acara yang jelas dalam menangani sengketa pemilu. Dengan begitu, semua pihak yang berkaitan dengan perkara tersebut memiliki kepastian.

"Karena itu, bapak ibu sekalian, kami merindukan betul, ke depan kita punya hukum acara sengketa pemilu. Agar, pertama kita semua punya kepastian, satu objek sengketa yang sama itu jangan dibawa ke mana-mana yang kemungkinan putusannya akan berbeda," jelasnya.

Ia lantas menyayangkan penanganan sengketa pemilu yang terjadi belakangan ini. Dugaan kecurangan ditangani oleh DKPP secara terbuka. Kemudian fakta dalam putusan penanganan pelanggaran kode etik itu dibawa ke ranah peradilan lainnya.

"Saya misalnya ketahuan curang dalam pemilu legislatif. Dibawa ke Bawaslu mental. Tiba-tiba sudah saya dilantik, dibawa ke DKPP saya gak dihukum tapi KPU-nya yang dihukum, karena putusan di DKPP dibacakan secara terbuka. Muncullah berbagai macam fakta atas putusan itu, dibawalah digoreng putusan ini nanti ke mana-mana ke makamah partai, peradilan umum lah, karena Bawaslu sudah gak bisa lagi. Akhirnya apa saya yang duduk nih udah jadi Ketua Komisi II nggak tenang saya kerja. Karena tidak ada hukum acara yang membatasi kapan masa kedaluwarsa saya yang ada di DKPP," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us