Ketua MK Puji Wamenkum Eddy, Rajin Hadiri Sidang Mewakili Presiden

- Ketua MK memuji Wamenkum Eddy yang rajin hadiri sidang mewakili Presiden
- Wamenkum sebut jabatan kapolri tidak bisa disamakan dengan menteri di kabinet
- Dalil permohonan diajukan para pemohon terkait pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI
Jakarta, IDN Times - Suasana sidang seketika cair ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus pimpinan sidang, Suhartoyo, memuji kehadiran Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej.
Wamenkum yang akrab dipanggil Eddy itu memang beberapa kali datang langsung menghadiri sejumlah perkara di sidang MK sebagai perwakilan dari presiden/pemerintah. Termasuk dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, pada Selasa (29/7/2025) siang.
1. Ketua MK puji dan apresiasi Wamenkum Eddy

Usai ahli yang dihadirkan Presiden membacakan sumpah, Suhartoyo meminta agar Wamenkum Eddy membacakan keterangan terlebih dulu. Ia pun melontarkan pujian dan mengapresiasi Wamenkum Eddy.
Padahal, dalam persidangan UU Polri kali ini, sebenarnya sudah cukup jika diwakili oleh Kepala Divisi Hukum Polri.
"Kita dengarkan dulu keterangan dari Presiden yang akan disampaikan Prof Eddy. Prof ini belakangan sangat rajin datang ke MK ini, kami apresiasi dari majelis ini. Hampir tiap hari. Padahal Pak Kadiv juga cukup seperti yang disampaikan persidangan sebelumnya, tapi silakan Pak Wamen kalau mau menyampaikan langsung," kata Suhartoyo sembari senyum.
Saat mengawali keterangan mewakili Presiden, Wamenkum Eddy pun mengucapkan terima kasih kepada Suhartoyo.
2. Wamenkum sebut jabatan kapolri tidak bisa disamakan dengan menteri di kabinet

Dalam paparannya, Eddy mengatakan, jabatan kapolri merupakan jabatan karier dalam struktur organisasi Polri yang tunduk pada batas usia pensiun dan mekanisme pembinaan kepegawaian.
Sehingga jabatan kapolri tidak dapat disamakan dengan jabatan menteri dalam kabinet pemerintahan yang mengikuti masa jabatan presiden, atau sewaktu-waktu dapat diberhentikan.
“Jabatan kapolri merupakan jabatan karier dalam struktur organisasi Polri yang tunduk pada batas usia pensiun dan mekanisme pembinaan kepegawaian, bukan jabatan politik seperti menteri yang mengikuti masa jabatan presiden,” ujar dia.
Eddy menjelaskan, perbedaan antara jabatan kapolri dan menteri tidak hanya terletak pada kedudukan fungsional, tetapi juga pada dasar hukum pengangkatannya. Menteri diangkat dan diberhentikan sepenuhnya atas hak prerogatif presiden, sedangkan kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Eddy menuturkan, terkait masa jabatan, UU Polri secara tegas telah mengatur batas usia pensiun anggota Polri, termasuk kapolri adalah 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun, berdasarkan kebutuhan organisasi. Dengan demikian, masa jabatan Kapolri tidak ditentukan oleh periode masa jabatan presiden.
“Tidak ada ketentuan dalam UU Polri yang menyatakan bahwa masa jabatan kapolri mengikuti masa jabatan presiden. Pemaknaan demikian tidak memiliki dasar hukum dan dapat menimbulkan ketidakpastian dalam manajemen organisasi Polri,” kata dia.
Selain itu, menurut Eddy, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, karena tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional secara nyata, spesifik, dan aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya norma yang diujikan. Para Pemohon tidak memiliki hubungan langsung sebagai pihak yang dirugikan secara konstitusional. Tidak ada bukti bahwa keberlakuan norma tersebut berdampak pada hak-hak konstitusional mereka.
3. Dalil permohonan yang diajukan para pemohon

Permohonan ini diajukan Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.
Mereka menguji Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (NRI). Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.”
Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan, “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”
Para Pemohon mengatakan frasa ‘disertai dengan alasannya’ dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.
Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.
Ketiganya memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah, antara lain: a. berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet; b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; c. permintaan sendiri; d. memasuki usia pensiun; e. berhalangan tetap; f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan para Pemohon memohon agar Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.