Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Komnas HAM: 8.786 Pekerja Terkena PHK, Pemerintah Diminta Perbaiki Kebijakan

Komnas HAM
Komnas HAM melangsungkan konferensi pers Kamis (5/6/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit?
Intinya sih...
  • Komnas HAM menekankan PHK harus menjadi pilihan terakhir setelah pemerintah, pemberi kerja, pekerja, dan serikat pekerja mengupayakan berbagai langkah lain.
  • Komnas HAM juga menyoroti dampak kebijakan pemerintah terhadap PHK massal, termasuk kebijakan impor dan efisiensi anggaran.
  • Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi, antara lain kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk menggunakan seluruh sumber daya mencegah PHK dan menjamin pemulihan hak pekerja.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komnas HAM mencatat sebanyak 134 pengaduan terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diterima sepanjang 2023 hingga Maret 2025, dengan jumlah korban mencapai 8.786 pekerja. Hal itu disampaikan oleh Komisioner Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Atnike Nova Sigiro.

Dia menjelaskan, model-model atau tipologi PHK ini indikasinya menunjukkan adanya beberapa bentuk PHK yang tidak sejalan dengan PHK yang sah menurut konsensi ILO.

"Sepanjang 2023 hingga Maret 2025, Komnas HAM telah menerima 134 pengaduan masyarakat terkait PHK dengan jumlah korban mencapai 8.786 orang pekerja," ujar Atnike saat konferensi pers, di Kantor Komnas HAM, Kamis (5/6/2025).

1. PHK harusnya jadi pilihan terakhir

BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan komitmennya dalam melindungi para pekerja dengan memberikan pelayanan khusus bagi karyawan PT Danbi Internasional yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). (Dok. BPJS Ketenagakerjaan)
BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan komitmennya dalam melindungi para pekerja dengan memberikan pelayanan khusus bagi karyawan PT Danbi Internasional yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). (Dok. BPJS Ketenagakerjaan)

Dia menekankan PHK harus menjadi pilihan terakhir setelah pemerintah, pemberi kerja, pekerja, dan serikat pekerja mengupayakan berbagai langkah lain.

“Jadi jangan langsung kalau belum mencari solusi sudah dilakukan PHK,” kata Atnike.

Menurut dia, PHK harus dilakukan dengan alasan sah, kompensasi layak, serta menjunjung tinggi norma hak asasi manusia.

2. Pengaruh kebijakan impor dan efisiensi pada PHK serta kerentanan pekerja perempuan

Proses produksi kasur di pabrik milik Vincen. IDN Times/Khusnul Hasana
Proses produksi kasur di pabrik milik Vincen. IDN Times/Khusnul Hasana

Komnas HAM juga menyoroti dampak kebijakan pemerintah terhadap PHK massal, termasuk kebijakan impor dan efisiensi anggaran. Dia menegaskan bahwa kebijakan harus progresif, tidak menurunkan kesejahteraan.

“Sehingga terjadi lagi PHK, pelanggaran upah, atau berkurangnya kesejahteraan pekerjaan,” katanya.

Komnas HAM juga menemukan adanya diskriminasi dalam PHK, terutama terhadap perempuan hamil. Perempuan, dalam kondisi itu dianggap tak produktif dan jadi sasaran PHK.

“Perempuan ini juga rentan sekali mengalami PHK terutama ketika sedang hamil, ini ternyata tidak bisa bekerja lebih produktif dan kemudian dijadikan sasaran yang rentan untuk menjadi atau pertama-tama di PHK dari pekerja-pekerja yang lain,” ungkap Atnike.

3. Sejumlah rekomendasi dari Komnas HAM

Potret pabrik Sunsweet di Chiang Mai, Thailand (IDN Times/Dewi Suci)
Potret pabrik Sunsweet di Chiang Mai, Thailand (IDN Times/Dewi Suci)

Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi, antara lain kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk menggunakan seluruh sumber daya mencegah PHK dan menjamin pemulihan hak pekerja. Prabowo juga diminta mendorong dialog sosial, revisi UU Ketenagakerjaan, dan mencabut praktik outsourcing.

“Kami juga merekomendasikan Presiden untuk segera mencabut regulasi dan menghapuskan praktek Tenaga Ahli Daya atau Outsourcing,” ujarnya.

Rekomendasi juga diberikan kepada DPR, Mahkamah Agung, Kapolri, pemerintah daerah, serta sektor bisnis dan serikat pekerja. Atnike menekankan pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia.

“Bukan sekadar penyelesaian administratif atau mediasi tetapi juga restitusi dan jaminan yang tidak berulangan,” katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us