Komnas Soroti Kasus Pemerkosaan Napi Perempuan: Evaluasi Sistem!

- Komnas Perempuan soroti kekerasan pada narapidana perempuan, seperti kasus permerkosaan di Rutan Kepolisian Resor Pacitan oleh petugas.
- Komnas Perempuan menerima 308 pengaduan kekerasan berbasis gender di ranah negara, dengan 106 kasus terkait PBH dan 15 kasus terkait kekerasan seksual.
- Lapas perempuan di Indonesia masih menghadapi masalah serius seperti kelebihan kapasitas, minimnya layanan kesehatan reproduksi dan mental, serta akses terbatas bagi ibu hamil dan menyusui.
Jakarta, IDN TImes - Komnas Perempuan menyoroti berbagai kerentanan dan kekerasan yang bisa dialami oleh narapidana perempuan. Salah satunya adalah permerkosaan berulang sebanyak empat kali pada tahanan perempuan berinsial PW di Rutan Kepolisian Resor (Polres) Pacitan.
Pelaku adalah Iptu LC Penjabat Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Kasat Tahti) di Polres Pacitan. Hal ini, kata dia, akan berdampak pada proses pembinaan dan rehabilitasi korban yg merupakan PBH yang akan dilakukan di lapas. Oleh karena itu, penting untuk memastikan rutan dan lapas bebas dari penyiksaan dan kekerasan seksual. Hal ini turut jadi refleksi peringatan Hari Pemasyarakatan, 27 April 2025.
“Selain kasus yang terjadi di Polres Pacitan, pengaduan mengenai keamanan rutan dan lapas ini sudah banyak di terima oleh Komnas Perempuan, oleh karenanya sistem keamanan perlu diaudit, seperti mengevaluasi apakah CCTV sudah diterapkan, pengawasan, pemeriksaan sudah berjalan optimal," kata Wakil Ketua Transisi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti dalam keterangannya, Senin (28/4/2025).
1. Catat ada 106 kasus kekerasan pada perempuan yang berkonflik dengan hukum

Merujuk pada Informasi Data Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan jumlah narapidana perempuan saat ini ada 10,098 orang. Pada 2024 Komnas Perempuan menerima pengaduan kekerasan berbasis gender (KBG) di ranah negara sebanyak 308 kasus. Sebanyak 106 kasus di antaranya terkait dengan perempuan yang berkonflik dengan hukum (PBH).
Kemudian 15 lainnya adalah seksual dan penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia pada proses penyidikan, dalam bentuk penelanjangan, hingga pemerkosaan untuk memaksa, menekan, mengintimidasi bahkan menyiksa agar PBH memberikan keterangan yang diinginkan penyidik.
“Hal ini sangat memprihatinkan, dan harus dihentikan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Sri Agustini.
2. Relasi kuasa dan potensi kekerasan seksual

Ratna menjelaskan, upaya-upaya serius dan langkah sistematis untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan dan penyiksaan di lingkungan rutan dan lapas harus segera dilakukan. Adanya relasi kuasa yang kental antara petugas/pejabat dengan para tahanan perempuan berpotensi menimbulkan peluang pelanggaran hukum seperti kekerasan fisik, psikis hingga kekerasan seksual.
"Fakta kasus memperlihatkan, kekerasan seksual yang dialami oleh tahanan perempuan justru dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa dan wewenang yang seharusnya menjadi pelindung mereka,” kata dia.
3. Kelebihan kapasitas hingga keterbatasan fasilitas ramah perempuan

Komnas Perempuan menyoroti lapas perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan serius yang berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar narapidana perempuan. Kelebihan kapasitas, keterbatasan fasilitas yang responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan, serta minimnya layanan kesehatan reproduksi dan kesehatan mental mencerminkan perlunya peningkatan standar perlindungan berbasis gender.
Kondisi serupa juga terjadi pada ibu hamil dan ibu menyusui ternyata masih menghadapi akses terbatas terhadap layanan yang bermartabat dan ramah hak asasi.
4. Menegakkan hak asasi perempuan dalam sistem pemasyarakatan Indonesia

Komnas Perempuan menyatakan, Hari Pemasyarakatan Indonesia harus dimanfaatkan jadi upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan menegakkan hak asasi perempuan, termasuk mengatasi kekerasan seksual dan penyiksaan terhadap tahanan perempuan.
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, peran lembaga pemasyarakatan sangat penting mulai dari pra-adjudikasi hingga pasca-adjudikasi, dengan melaksanakan pelayanan yang menghormati hak perempuan. Tindakan tegas harus diambil terhadap aparat yang melakukan kekerasan terhadap tahanan perempuan sesuai dengan UU TPKS dan UU Konvensi Anti Penyiksaan. Meratifikasi Optional Protocol dan mematuhi "Bangkok Rules" juga penting untuk memastikan perlakuan manusiawi bagi tahanan perempuan.